Pagi itu langit tampak bersih, berbeda dari malam-malam tegang sebelumnya. Udara terasa ringan, seperti dunia baru saja menarik napas lega setelah malam panjang yang penuh kekhawatiran. Dari jendela kaca tinggi ruang kerja Josephine, angin pagi masuk perlahan, menggerakkan tirai putih tipis hingga bergoyang seperti gelombang halus. Kantor masih sepi hanya suara mesin pendingin ruangan dan ketukan samar pena dari lantai bawah sesekali terdengar.
Di atas meja panjang yang mendominasi ruangannya, laporan proyek, catatan finansial, dan lembaran kontrak menumpuk seperti dinding kecil yang menghalanginya dari istirahat. Josephine menelusuri satu per satu dengan gemas, menyelesaikan koreksi terakhir yang tertinggal semalam. Tapi perhatian matanya terus saja kembali pada satu benda kecil di sisi kanan meja terdapat sebuah kotak hitam berbalut pita keperakan.
Ia menatap kotak itu lama, seperti sedang menimbang apakah keputusannya benar. Ia tahu bukan tipe yang memberi hadiah untuk hal kecil—apalagi hadiah personal. Namun dua bulan terakhir, Machi bekerja melampaui batas normal. Bahkan Josephine sendiri menyadari ia hampir bergantung sepenuhnya pada ketelitian dan kesigapan Machi dalam mengurus Elizah. Dan entah sejak kapan, itu mulai terasa… penting.
Ia menutup map terakhir. Bunyi kecil klik dari map itu seperti penanda keputusan final.
Josephine berdiri, mengenakan mantel hitam panjangnya, menurunkan kancingnya satu per satu. Ketika ia membuka pintu, sekretarisnya hampir tersentak.
“Aku akan pergi keluar sebentar. Jangan beri tahu siapa pun.”
Nada suaranya tenang, tapi tegas. Sekretarisnya hanya sempat membuka bibir sebelum menutup kembali, jelas tidak berani menentang.
Josephine melangkah cepat ke parkiran bawah tanah, mengambil mobilnya tanpa pengawal. Sebuah keputusan yang tidak pernah ia ambil sembarangan. Tapi hari ini pikirannya terlalu penuh, dan ia membutuhkan ruang untuk bernapas.
Mobil melaju dengan stabil melewati jalanan kota. Josephine memastikan ia tidak menjauh terlalu jauh dan tahu batas aman, ia tahu Elara bisa memarahi siapa pun—bahkan Rox—jika Josephine kembali dengan bahu berdarah.
Setibanya di apartemen—tempat yang lebih sering ia tinggalkan daripada ditinggali—pintu terbuka sebelum ia sempat meraih gagang pintu.
“Sepertinya Kakak punya hobi menginap di kantor ya?” suara Elizah menyambutnya, disertai tatapan menyipit.
Josephine terkekeh dan mengelus rambut lembut adiknya yang baru bangun. “Pagi Elizah, kakakmu ini lapar.”
Elizah masih bersungut, tapi menarik Josephine masuk. Aroma feromon adiknya langsung menyergap, mengisi paru-paru Josephine dengan hangat yang membuat tubuhnya sedikit menggigil. Reaksi itu datang begitu saja—bukan ketertarikan, tapi respons alami tubuhnya yang merupakan omega.
Di ruang tengah, Machi sudah berdiri dengan pakaian kerja yang kusut. Tatapannya fokus pada layar tablet, rambutnya berantakan, dan bayangan hitam di bawah matanya memberi tahu Josephine bahwa lelaki itu pasti begadang. Ia bukan satu-satunya pekerja keras di rumah ini.
“Kerja keras seperti biasa, ya,” ucap Josephine pelan.
Machi menoleh terlalu cepat, hampir menjatuhkan tablet di tangannya. “Josephine?”
Josephine melangkah masuk diikuti Elizah. Ruangan dipenuhi aroma obat herbal dan sedikit jejak feromon Elizah yang menenangkan. Untuk sesaat, Josephine memejamkan mata, membiarkan napasnya menyatu dengan suasana rumah—tempat yang seharusnya memberi rasa tenang, tapi sering kali membuatnya lebih sadar bahwa ia masih jauh dari titik aman.
“Apa bahumu sudah sembuh?” tanya Machi, matanya langsung turun menilai kondisi Josephine.
Josephine mengangguk, lalu berkata, “Aku ke sini sekalian untuk melihat kemajuanmu.”
Ia mengangkat kotak kecil berwarna hitam itu, lalu meletakkannya di meja kaca ruang tengah. Pita keperakan di atasnya memantulkan cahaya seperti serpih bulan. Elizah mendekat, penasaran.
“Untuk kerja kerasmu selama dua bulan terakhir. Tanpamu aku tidak bisa melihat Elizah sehat seperti ini.”
Ada keheningan. Machi memandangi kotak itu lama, sebelum akhirnya menatap wajah Josephine. Tatapan itu bukan sekadar kaget—ada campuran bingung, canggung, bahkan sedikit takut. Bukan takut pada hadiah, tapi takut salah mengartikan niat Josephine.
“Kamu... tidak perlu melakukan ini. Aku hanya melakukan sesuai kemampuanku.”
“Kadang, seseorang tetap pantas diberi apresiasi,” Josephine tersenyum kecil. “Buka saja.”
Machi mengulurkan tangan perlahan, seperti memegang sesuatu yang terlalu berharga. Ia melepas pita dengan hati-hati, mengangkat tutup kotak itu. Cahaya pagi menyentuh isinya—batang emas berukir halus dengan pola keamanan kuno milik keluarga Josephine. Sebuah kalung liontin dari batang emas yang sering digunakan anggota Agust.
Elizah membungkuk sedikit, kagum. “Cantik sekali…”
“Ini... terlalu banyak,” Machi berbisik.
“Bukan hadiah,” Josephine membalas lembut. “Tanda kepercayaan. Kamu Beta pertama yang kubiarkan memegang sistem keamanan pribadiku.”
Ucapan itu membuat Machi terpaku. Nafasnya tersangkut sepersekian detik. Ada sesuatu berdenyut di dadanya—bukan sekadar bangga. Josephine dapat melihat bagaimana perubahan kecil terjadi di wajah Machi, ekspresi yang tanpa kata-kata mengatakan bahwa penghargaan Josephine berarti lebih dari apa pun.
“Aku tidak akan mengecewakanmu, Nona Josephine.”
“Jangan panggil aku begitu,” Josephine menegur pelan, meski nadanya tidak marah. Ada kehangatan samar dalam suaranya. “Setidaknya tidak di tempat kerja.”
Machi tertawa kecil, mengangkat tangan seolah menyerah. “Baik, Nyonya Bos.”
Josephine menggeleng, mencoba menutupi senyum yang muncul begitu saja. Dalam ruang kecil yang hangat itu, untuk pertama kalinya hari itu, beban di pundaknya terasa sedikit berkurang.
Seusai sarapan, Josephine berdiri dengan kemeja putih sederhana, rambutnya diikat rapi ke belakang. Machi berdiri di depannya, sedikit membungkuk saat menyerahkan laporan. Sekilas, pemandangan itu tampak biasa—dua orang berbincang dengan sikap profesional. Namun bagi siapa pun yang mengamati lebih dalam, ada sesuatu yang tak kasat mata di antara mereka.
Cara Machi menatapnya terlalu lembut untuk sekadar bawahan; cara Josephine menundukkan kepala sedikit, senyum kecil di bibirnya, terlalu manusiawi untuk seorang direktur yang biasanya dingin dan terukur.
Namun pemandangan hangat itu ternyata tidak luput dari perhatian orang lain.
“Dia lagi-lagi bersama kakak,” gumamnya, hampir seperti mengutuk.
Seseorang di belakangnya, Hyun, ikut memandang ke bawah tanpa ekspresi. Tubuhnya tegap bersandar pada pagar balkon, jas hitamnya membingkai siluet yang tenang. Namun di balik tatapan dingin itu, ada sesuatu yang bergejolak pelan. “Jelas sekali anda tidak percaya dengan Tuan Machi, Nona Elizah.”
Elizah menoleh cepat, matanya menyipit. “Kamu percaya dia juga, Dokter Hyun?”
Hyun diam sejenak. Ia tahu itu bukan pertanyaan, melainkan godaan yang sengaja dilemparkan untuk memecahkan dinding ketenangannya. “Tidak juga.”
Elizah mendengus, menyilangkan tangan lebih erat. “Machi bukan Beta. Aku tahu itu.”
Hyun menoleh pelan, menatap gadis itu dari sudut mata. “Dan kamu tidak suka dia dekat dengan kakakmu.”
“Tentu saja tidak!” suara Elizah meninggi. “Kamu tahu Josephine terlalu mudah mempercayai orang yang membuatnya merasa ‘setara’. Machi membuatnya lupa kalau dunia ini tidak sebaik itu.”
Kata-kata itu menancap dalam, lebih dari yang Elizah sadari. Hyun menatap adik Josephine dengan ketenangan khasnya. “Kalau begitu bagaimana dengan saya?”
Elizah menatap balik, lalu tersenyum miring. “Karena dokter belum melepas topeng mungkin itu layak dicoba.”
Lalu ia berbalik dan pergi, meninggalkan Hyun sendirian di balkon. Suara langkahnya memudar, tapi gema ucapannya tetap tinggal di udara, menggantung seperti racun halus.
Hyun menatap ke bawah sekali lagi, ke arah Josephine yang kini sedang berbicara sambil tersenyum—senyum yang jarang, senyum yang lembut dan menenangkan, sesuatu yang bahkan perang tak bisa hancurkan. Ia tak tahu kapan terakhir kali melihat senyum itu. Mungkin saat dunia mereka belum berubah menjadi permainan kuasa dan intrik yang berdarah.
Sesuatu terasa menegang di dadanya, seperti benang yang ditarik terlalu kuat. Ia juga bisa membuat Josephine tersenyum, ia tahu itu. Pernah ada masa ketika ia satu-satunya yang bisa menenangkan wanita itu di tengah badai politik dan tekanan keluarga. Tapi kini, melihat Machi di sana—terlalu dekat, terlalu nyaman—membuat sesuatu yang gelap bergolak di dalam dirinya.
Ia menatap lebih lama dari seharusnya. Machi menunduk sedikit saat Josephine menepuk bahunya, gerakannya ringan, hampir seperti ucapan terima kasih yang intim. Hyun tahu betul itu bukan pelanggaran etika. Tapi rasa sesak di dadanya tetap tumbuh seperti bara yang tak bisa dipadamkan.
Di benaknya, suara Elizah kembali bergaung. “Machi bukan Beta.”
Ya. Mungkin benar. Machi bukan Beta.
Ia menarik napas dalam. Seolah ingin menyingkirkan semua emosi itu, tapi gagal. Pandangannya tetap tertuju ke bawah, ke wanita yang dulu pernah ia selamatkan lebih dari sekali, tapi tak pernah benar-benar bisa ia miliki.
Ketika Josephine menoleh, entah kebetulan atau naluri, mata mereka bertemu. Dari jauh, sorot mata abu-abu miliknya menatap langsung ke arah Hyun di balkon. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti. Hyun segera menegakkan tubuh, menampilkan ketenangan yang sudah menjadi topengnya selama bertahun-tahun. Tapi detak jantungnya memukul d**a lebih keras daripada bunyi hujan yang mulai turun perlahan di atap kaca.
Josephine menunduk kembali, melanjutkan percakapan. Senyum itu muncul lagi. Senyum yang membuat Hyun ingin turun ke sana, menariknya menjauh, mengatakan bahwa dunia ini tidak aman untuk mempercayai siapa pun. Tapi ia tidak bergerak. Ia hanya menatap.
Dari sudut matanya, ia melihat pantulan dirinya di kaca balkon—rahang mengeras, tangan mengepal. Ia mencoba tersenyum, tapi bibirnya tak mau tunduk pada perintah.
“Elizah benar,” batinnya.
Namun ia tidak bisa menunjukkan itu. Tidak di dunia seperti ini, di mana perasaan adalah kelemahan dan kasih bisa menjadi pisau paling tajam. Jadi, ia menelan semuanya: amarah, cemburu, dan keinginan yang bahkan tak sempat ia beri nama.
Ia tahu Josephine bukan miliknya. Tidak pernah. Tapi bayangan senyum itu menempel di ingatan, hangat seperti luka yang belum sempat sembuh.
Beberapa jam kemudian, Josephine dan Machi duduk di kafe kecil di lantai bawah gedung apartemen sekedar mengisi waktu siang. Tempat itu sederhana—dindingnya berwarna krem pudar, lampu gantung redup berayun pelan diterpa angin dari ventilasi tua. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menghadirkan rasa damai yang nyaris asing bagi Josephine.
“Sudah lama kamu tidak makan dengan tenang,” kata Machi sambil menaruh secangkir latte di depannya.
Josephine menatap cangkir itu beberapa detik, memperhatikan uap yang menari di atas permukaan. “Aku lupa rasanya makan tanpa interupsi,” ujarnya lirih. Suaranya hampir tenggelam dalam dengung mesin kopi di belakang bar.
Sejak ia di bawah pelatihan Rox, jadwalnya tidak pernah mengenal jeda. Makan sambil membaca laporan, minum sambil memberi perintah, tidur sambil menghafal nama-nama yang harus ia percayai atau waspadai. Elara pernah menegurnya dengan tatapan khawatir, tapi Dev—sang kakek, sekaligus kepala besar organisasi—hanya menepuk bahunya. ‘Dunia tidak memberi istirahat bagi orang yang berdiri di atas,’ itu ingatan kalimat berasal dari Dev.
Dan Josephine, dengan segala kepatuhannya yang tenang, menerima itu sebagai kebenaran.
“Kalau begitu, anggap ini istirahat tenang,” sahut Machi dengan nada ringan, seolah keheningan yang mereka bagi adalah kemewahan.
Josephine mengangkat alisnya, senyum samar menghiasi bibirnya. “Kamu terlalu santai untuk seseorang yang hidup di bawah tekanan organisasi mafia.”
Machi tertawa kecil. “Kalau aku tegang setiap hari, aku sudah gila sejak mengenalmu.”
Obrolan itu sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Josephine merasa… hidup. Tidak dalam arti megah seperti kemenangan atau kuasa, tapi dalam makna yang lebih lembut—bahwa ia masih bisa tertawa. Bahwa ia masih manusia, bukan hanya simbol dingin yang diwariskan garis darahnya.
Ia memandangi Machi dengan rasa hangat yang tidak ia duga. Dulu, semua interaksinya dengan orang lain selalu diwarnai kalkulasi. Ia memikirkan siapa yang bisa ia percayai, siapa yang sebaiknya dijauhkan. Namun bersama Machi, segalanya terasa jujur. Tidak ada tujuan lain selain berbagi waktu.
Bagi Josephine, pertemuan itu seperti jeda dari peperangan yang tak pernah benar-benar berhenti.
Dari kejauhan, di luar kaca besar kafe, Hyun berdiri di sisi jalan. Mantelnya panjang, bayangannya memanjang di trotoar basah. Tangannya terselip di saku, matanya tajam namun nyaris hampa.