Musuh Nyata

2068 Kata
Hujan turun deras malam itu. Langit seperti menumpahkan seluruh amarahnya ke bumi—kilat menyambar, dan suara guntur seolah mengiringi ketegangan yang merayap di bawah permukaan kota. Jalanan licin berkilat oleh lampu neon yang terpantul di genangan air. Josephine baru saja keluar dari rapat panjang bersama Rox, rapat yang dipenuhi tekanan dan kata-kata yang tidak selesai diucapkan. Ia hanya ingin pulang, meneguk segelas air, dan diam dalam kesunyian. Namun, malam itu seolah memiliki rencana lain. Mobilnya berhenti mendadak di tikungan jalan yang gelap. Suara air yang menabrak kaca jendela terdengar keras, berbaur dengan deru angin yang melolong seperti binatang lapar. Di kursi belakang, Josephine menatap ke depan, alisnya berkerut. 'Ada apa?" tanyanya dengan nada datar tapi penuh kewaspadaan. Beberapa pengawal dari mobil belakang turun dan berlari mendekat dengan jas hujan menempel di tubuh. "Tidak tahu, Nona. Mobilnya—" DORR! Suara tembakan memecah udara. Kaca depan mobil pecah dihantam peluru, serpihan kaca beterbangan mengenai wajah sopir dan tangan Josephine. Refleks, ia menunduk, tubuhnya menegang. Aroma logam dan asap mesiu bercampur dengan bau hujan. Suara tembakan lain menyusul, kini lebih dekat. Jeritan dan bentakan bersahut-sahutan di tengah gemuruh hujan. "Nona Josephine, keluar berlindung!" teriak salah satu pengawal. Josephine berlari keluar dari sisi kanan mobil, menembus hujan, mantel hitamnya menempel pada kulit. Ia berlindung di balik dinding bangunan tua di pinggir jalan—dindingnya lembap, catnya mengelupas, dan udara di sekitarnya berbau tanah dan karat. Dalam kegelapan, hanya cahaya petir sesekali yang menyingkap siluet tubuh para penyerang. Aroma darah dan feromon kuat memenuhi udara. Mereka bukan penjahat biasa. Serangan itu terlatih, terencana, dan diarahkan langsung padanya. Di antara detak jantungnya yang berpacu, Josephine menyadari satu hal target mereka adalah dirinya, bukan Rox, bukan perusahaan. "Sial, harusnya aku bersama Rox saja," gumamnya dalam hati, sambil merogoh tasnya mencari senjata. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya bereaksi pada feromon agresif yang dilepaskan oleh Alpha-Alpha musuh. Ia menggertakkan gigi, menahan efek biologis itu. Begitu ujung jarinya menyentuh senjata, ia mengangkatnya dengan cepat. Satu peluru, dua, tiga—suara letusan senjata bergema, menembus udara dingin. Ia menembak dengan presisi yang mematikan. Sepuluh musuh jatuh satu per satu di antara hujan dan kilatan petir. Tubuh-tubuh mereka berguling di aspal basah. Darah mengalir bercampur air hujan, menciptakan pola merah muda yang suram. Ketika suasana akhirnya hening, hanya tersisa desis hujan dan napas berat Josephine. Tangannya masih terangkat, namun matanya sudah kosong. Ia tahu, ini bukan serangan peringatan—ini eksekusi. Tiba-tiba rasa panas menjalar di punggungnya. Sebuah belati tertancap, tepat di bawah tulang belikat. Josephine terhuyung, menggigit bibir agar tidak mengerang. Ia menoleh cepat, namun sosok penyerangnya sudah lenyap di antara hujan. Ia hampir menarik pelatuk ke arah bayangan itu ketika suara familiar menerobos gemuruh. "Nona Josephine!" salah satu pengawal datang bersama anggota medis. Dengan cepat mereka mengapit tubuhnya yang mulai lemah. Josephine hanya berkata pelan, hampir seperti perintah terakhir, "tidak apa. Periksa apa ada korban jiwa." Mereka mengangguk, memahami bahwa prioritas Josephine bukan dirinya. Ia membiarkan tubuhnya dipapah menuju ambulans, matanya masih menatap ke arah gelap tempat musuh tadi menghilang. Hujan menutupi wajahnya, tapi bukan air yang membuatnya perih — melainkan rasa marah yang tertahan. Satu jam kemudian, Josephine duduk di ruang medis markas utama. Bau antiseptik memenuhi udara. Di luar, hujan belum juga berhenti, menetes di jendela seperti jarum waktu yang lambat. Bahu kirinya diperban, luka jahit di bawah kulit masih terasa berdenyut. Hyun berdiri di hadapannya, membersihkan luka itu tanpa banyak bicara. Gerakannya presisi dan cepat, namun dari rahang tegang dan pandangan matanya yang tajam, Josephine tahu pria itu menahan sesuatu. "Mereka itu bukan orang sembarangan," katanya akhirnya. Josephine tidak menjawab. Ia sudah tahu siapa musuhnya bahkan sebelum serangan dimulai. Beberapa hari lalu, pesan anonim datang kepadanya — tanda kecil dari kelompok lama yang dulu dikendalikan oleh GeneSol. "Dokter, apa mengenal orang-orang GeneSol?" tanyanya pelan. Hyun menghentikan tangannya sejenak, memutar arah pandang. Ia terlihat berpikir keras sebelum menjawab. "Gaya serangannya mirip kelompok yang dulu bekerja untuk Professor Julien. Tetapi GeneSol tidak mungkin melakukan hal yang terang-terangan seperti penyerangan ini." Josephine menghela napas panjang, menatap luka di bahunya. "Mereka masih berpikir bisa menyakitiku." "Tidak," Hyun membalas dengan nada serius. "Mereka ingin menakuti anda." Ia mendekat, meletakkan kedua tangannya di sandaran kursi Josephine, membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Mereka ingin kekuasaan kembali. Dan satu-satunya cara adalah menyingkirkan anda dari suksesor. Anda harus bertindak cepat." Josephine merasakan nafasnya menahan di tenggorokan. Tidak ada kesan intimidasi dari mata keemasan itu, namun jarak yang terlalu dekat membuat jantungnya berdegup tak teratur. Ia mengalihkan pandangan. "Apa maksud Dokter?" "Ambil alih mereka," jawab Hyun tanpa ragu. "Gantikan pemimpin lama dengan loyalitas. Jangan beri kesempatan untuk menyerang dua kali." Josephine memandangi para bawahannya di ruang sebelah, beberapa di antaranya terluka ringan. Mereka setia, tapi ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Ia menatap mereka dalam diam, lalu berbalik menatap Hyun lagi. "Aku tidak akan merebut kekuasaan. Aku tidak seperti mereka, Dokter Hyun. Aku memiliki cara lain." Hyun terdiam. Cahaya lampu putih memantul di matanya yang keemasan, membuatnya tampak seperti binatang yang ditahan di kandang — sabar tapi siap menerkam. "Anda tahu itu terlalu berbahaya kalau terus percaya dunia ini bisa diubah dengan moral." Josephine menatap lurus ke arahnya, suaranya rendah tapi mantap. "Moral bukan senjata," katanya. "Tapi tanpa moral, kita bukan siapa-siapa." Hening panjang menyelimuti ruangan itu. Seolah waktu berhenti diantara mereka. Hyun akhirnya mundur satu langkah, menunduk sedikit. "Anda tetap keras kepala," katanya pelan. Josephine tidak menjawab. Ia menatap keluar jendela, menonton kilatan petir membelah langit kota yang basah. Dalam pantulan kaca, wajahnya tampak pucat namun teguh — sosok yang terus berdiri, meski seluruh dunia mencoba menjatuhkannya. Dan malam itu, di antara hujan dan rasa nyeri yang belum reda, Josephine tahu satu hal pasti yaitu perang berikutnya tidak lagi hanya soal darah dan peluru, tapi tentang siapa yang sanggup tetap manusia di tengah dunia yang haus kuasa. Keesokan paginya, Josephine muncul di ruang rapat utama. Rox dan beberapa petinggi menatapnya dengan khawatir. Di luar, berita tentang 'serangan terhadap Penerus Agust muda' sudah tersebar. "Kita tidak akan membalas," katanya membuka rapat. "Kita akan mengubah sistem pendanaan mereka. Semua transaksi yang berhubungan dengan Genesol—bekukan." Salah satu direktur menatap tidak percaya. "Tapi mereka masih punya saham aktif di dua perusahaan senjata! Kalau anda hentikan arus uang, mereka akan melawan lebih keras!" Josephine menatapnya dingin. "Kalau mereka berani melawan, berarti mereka tidak belajar dari kegagalan hari ini." Keputusan itu sontak membuat seluruh ruangan hening. Bahkan Rox yang biasanya cerewet pun tidak membantah. Ia tahu, wajah dingin Josephine bukan tanda kebodohan—itu perhitungan matang. "Lalu. Apa yang anda lakukan jika mereka ingin kerja sama?" tanya Rox cenderung menguji. "Aku akan membuktikan kepada mereka kekuatan Omega yang tidak mereka bayangkan sebelumnya." Jelas Josephine tidak menyerah. Semua orang kagum, Josephine sudah membuktikan kinerja di perusahaan cabang yang telah diberikan Dev kepadanya. Butuh waktu seminggu hingga akhirnya keuangan mereka di berbagai tempat stabil. Josephine telah menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan tanpa kekerasan. Dan tanpa menggoda menggunakan feromon manis miliknya. "Nona Josephine. Kami setuju membekukan dana penelitian dan kerja sama ke GeneSol." Ujar manajer keuangan lalu dia menoleh ke arah Rox. "Ya. Sudah lama aku ingin memutuskan hubungan ke GeneSol kalau bukan karena penelitiannya sangat membantu bagi Direktur." Mereka akhirnya setuju. Josephine tersenyum, akhirnya setelah bekerja keras dan mendengarkan ajaran Jeremi, dia mendapatkan hasil. Tinggal pertemuan investor dan pemegang saham yang belum menunjukkan rasa percaya mereka. Rapat di kantor utama berjalan lancar hingga membuat Josephine ingin segera pulang. Sejak pagi ia menahan nyeri halus di bahu—apalagi dia belum bertemu Elara dan Elizah semenjak penyerangan. Namun keinginannya untuk beristirahat langsung surut begitu ia melihat Jeremi masih sibuk berdiri di dekat meja sekretariat, dikelilingi beberapa karyawan yang memegang berkas tebal. Lelaki itu terlihat penuh konsentrasi, beberapa helaian rambutnya jatuh saat ia menunduk memeriksa dokumen, membuatnya tampak lebih lelah dari biasanya. Di tengah keramaian kantor, Josephine melambatkan langkah. Sesuatu pada ekspresi Jeremi—kesabaran, keuletan, ketenangan—membuatnya enggan pergi begitu saja. Ia mendekat, menunggu momen ketika lelaki itu selesai berbicara dengan staf. "Sudah makan siang? Pak Jeremi?" tanya Josephine akhirnya, menghentikan langkahnya tepat ketika Jeremi hendak meninggalkan meja. "Ah. Kami sedang menyiapkan sesuai rencana rapat hari ini." Jeremi tersenyum, sebuah pemandangan yang jarang ia lihat. Josephine merasakan sesuatu dalam dirinya mengendur—bukan perasaan romantis, lebih seperti kelegaan bahwa orang sebaik Jeremi masih bisa tersenyum di tengah tekanan kerja yang menumpuk. Ia mengangguk, paham betapa mendesaknya keputusan hari ini. "Kalau begitu aku traktir makan siang ya?" tawar Josephine, cukup keras hingga para karyawan terdekat mendesah lega. Jeremi sempat terdiam, tetapi sebelum ia sempat menjawab, suara Rox memotong cepat. "Jeremi akan makan bersamaku. Sebaiknya kamu pulang istirahat, Elara akan marah padaku kalau luka di bahumu terbuka." Josephine memutar mata, membiarkan ketidaksukaan kecilnya terlihat. "Aku juga lapar, Paman." Tangan Jeremi yang tiba-tiba menahan lengan Rox ditangkap berbeda oleh Josephine. Ada keakraban di sana—atau justru ketidaknyamanan? Ia belum bisa menebak, namun nalurinya yang tajam mencatat semuanya. "Baiklah, setelah itu aku akan mengantarmu pulang." Putus Rox akhirnya. Para karyawan kembali menghela napas lega, beberapa langsung menuju kantin dengan semangat baru. Kantin perusahaan memang selalu terbuka gratis setiap kali Rox dan Josephine makan bersama—tradisi lama sejak mendiang Dion masih hidup. Tradisi yang terasa hangat, walau baginya selalu ada makna lain yang tidak pernah dijelaskan Rox. Mereka mengambil tempat duduk di sudut kantin. Josephine memperhatikan sejenak gerak-gerik Jeremi yang terlihat canggung, seperti seseorang yang tidak terbiasa menjadi pusat perhatian. "Ku dengar salah satu anakmu Alpha ya, Pak Jeremi?" tanya Josephine. "Ah, iya. Toni terindentifikasi Alpha kalau Tania sama sepertiku," jawab Jeremi, kini lebih santai menggunakan bahasa informal. Josephine menoleh pada Rox yang sejak tadi menatap Jeremi tanpa berkedip. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuat Josephine ingin mengusik sedikit. "Pasti berat ya karena keluargamu tidak ada yang Alpha," lanjutnya, mengamati reaksi sang Paman. "Ya... tapi banyak orang yang kukenal membantu kami." Ia mengangguk, merasa mendapatkan jawaban yang jujur dan bersih dari basa-basi. "Memang Paman Rox ini bisa diandalkan, iya 'kan?" Jeremi sontak terbatuk, hampir tersedak. Reaksi itu membuat Josephine menahan tawa. Rox memberikan segelas air dengan gerakan cepat dan tegas, namun lirikan tajamnya menuju Josephine begitu jelas. "Pak Jeremi tidak apa-apa?" Josephine menyodorkan tisu, yang segera diterima Jeremi dengan wajah memerah. "Terima kasih, Nona Josephine. Ah saya harus segera kembali." Ia berdiri tergesa, menarik mundur kursi lalu pergi tanpa menoleh. Josephine terkekeh kecil melihat punggungnya menghilang di antara kerumunan. "Paman, jangan marah dong." Ia memang sengaja—sedikit usil demi menguji sesuatu yang ia curigai sejak lama karena ada rasa yang tidak diucapkan antara Rox dan Jeremi, atau mungkin mereka sendiri tidak mengerti. "Jangan menjahili anak buah sendiri. Apalagi Jeremi sudah lama mengabdi di perusahaan kita." Josephine langsung mengangguk. "Tentu Paman." Ia menurunkan pandangan, membiarkan ekspresi menyesalnya terlihat jelas. Penyesalan itu memang tidak dibuat-buat; Josephine tahu batas antara bercanda dan melukai, dan tadi ia hanya sedikit mengusik, bukan berniat menusuk. Namun ia juga tahu Rox—Alpha keras kepala itu—sejak dulu memiliki kelembutan aneh yang hanya muncul saat ia menunjukkan ketulusan. Ketika Josephine menunduk seperti sekarang, Rox hampir selalu luluh, seolah melihat bayangan Dion di balik sikapnya. "Masalah hubungan diantara aku dan Jeremi hanya sebatas pekerjaan." Josephine mengangkat wajah perlahan, mempelajari raut wajah pamannya itu. Rox sangat jarang menjelaskan dirinya, apalagi menyangkut perasaan. Itu membuat penegasannya yang datar terdengar justru semakin mencurigakan. "Aku paham paman. Tetapi kalau benar Paman menyukai Jeremi jangan lakukan hal yang bisa memalukan derajat Paman sebagai Alpha." Ia sengaja mengucapkannya lembut, tanpa nada menyindir. Rox menatapnya lekat, suara rendahnya keluar seperti geraman menahan emosi. "Kamu seperti Dion." Dada Josephine menghangat—dan sedikit perih—sekaligus. Ia tidak tahu apakah itu sebuah pujian atau teguran, mungkin keduanya. Papanya selalu bilang bahwa kebenaran hanya lahir jika seseorang berani menyentuh luka. Josephine mengangkat dagunya sedikit, berusaha tetap tenang. "Kalau aku seperti Papa," pikirnya, "mungkin itu tidak buruk." Mereka akhirnya memutuskan pulang bersama tanpa menyadari ada sosok lain memperhatikan di sudut lain kantin. Salah satunya yang terlalu mencolok rambut kuning cerah yang sudah tertutupi hoodie, Hyun Gilbert. "Dia bahkan menolak membalas dendam," gumam salah satu dari mereka cukup pelan, nyaris tidak terdengar. “Omega seperti itu... tidak seharusnya ada di dunia ini. Tapi aku bersyukur dia ada.” Dan mungkin, untuk pertama kalinya, Hyun mengakui dalam hati di balik semua luka dan ambisi, ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan. Sesuatu yang belum ia beri nama. Sesuatu yang mungkin bisa disebut cinta—jika saja dunia tidak sekejam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN