Dunia Yang Dilawan

1408 Kata
Josephine segera mengunci kamarnya. Suara klik dari kunci pintu terdengar nyaring di tengah keheningan malam yang mulai menekan. Lampu kamar menyala redup, memantulkan bayangan dirinya yang gelisah di cermin besar di sisi tempat tidur. Dadanya berdetak tidak karuan—cepat, tak beraturan, seperti detak jam rusak yang menolak diam. Ia berjalan cepat hingga suara langkahnya menimbulkan pantulan lembut di lantai kayu yang dingin. Setiap gerakannya tampak terburu, seperti seseorang yang sedang dikejar sesuatu yang tidak terlihat. Nafasnya naik turun, wajahnya memucat dengan rona merah samar di pipi. Tangan kirinya gemetar ketika membuka laci meja rias, lalu berpindah ke lemari kecil di sudut ruangan. Ia menyingkirkan beberapa botol parfum dan sekotak tisu, lalu meraih wadah logam kecil tempat ia biasa menyimpan obat. Tangannya bergetar hebat saat membukanya—hanya beberapa kapsul tersisa di dalamnya. Matanya membulat, nafasnya semakin berat. “Di mana obatnya!” serunya dengan nada frustasi. Ia menggebrak meja, membuat beberapa barang terjatuh. Suara pecahan kaca kecil terdengar saat botol parfum terguling. “Ah, b******k Hyun!” katanya lagi, kali ini dengan desahan marah yang disertai gemetar di ujung bibirnya. Tubuhnya seolah melawan reaksi yang datang dari dalam. Ia bersandar ke dinding, mencoba menenangkan diri, namun kulitnya terasa panas, jantungnya berdebar makin cepat. “Alpha itu terus menggoda dengan feromonnya,” gumamnya sambil menekan d**a sendiri, berusaha menahan sesuatu yang terasa begitu asing namun familiar. Udara di kamar terasa semakin tebal, setiap tarikan nafas membawa aroma samar dari feromonnya—aroma yang sekarang justru memperparah sensasi dalam tubuhnya. Josephine melihat stok obatnya yang sisa sedikit. Ia menggigit bibir, antara cemas dan marah pada dirinya sendiri karena lalai. Ia tahu efeknya bisa parah jika ia tidak segera menekan reaksi itu. Dengan tangan yang masih gemetar, ia meraih ponsel dari atas meja lalu menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. “Dokter, bisa resepkan dan kirim obat penghambat?” suaranya nyaris bergetar, tapi masih terdengar tegas. Ia berjalan ke arah jendela, membuka sedikit tirai, menatap langit malam yang pekat tanpa bintang. Beberapa detik hening berlalu sebelum ia menambahkan dengan nada tajam, “Aku tidak peduli. Cepat kirim hari ini!” Layar ponsel memantulkan wajahnya—lelah, murung, tapi matanya menyala dengan sisa kendali. Di dalam kamar, hanya napas berat Josephine yang memecah sunyi. Ia bersandar di tepi tempat tidur, menatap obat di tangannya. Hari ini benar-benar hari yang sial baginya. Keesokan hari. Kabar datang di tengah rapat dengan para pengurus baru. Ruangan yang semula tegang karena pembahasan laporan keuangan mendadak menjadi senyap ketika Jeremi, sekretaris utama yang jarang panik, masuk sambil membawa ponsel di tangan. “Josephine,” suaranya nyaris berbisik. “Elizah… dia—” Belum sempat kalimat itu selesai, Josephine sudah berdiri dari kursinya. “Apa yang terjadi dengan Elizah?” Jeremi menelan ludah. “Dia dibawa ke rumah sakit oleh klinik sekolah. Gejalanya… seperti heat. Tapi dokter belum memastikan apakah itu benar heat.” Beberapa kepala di ruangan langsung menoleh, sebagian tampak ingin berkomentar tapi tertahan oleh tatapan dingin Josephine. “Rapat selesai,” ucapnya datar. “Lanjutkan pembahasan besok.” Tanpa menunggu jawaban, Josephine mengambil jas dan berjalan keluar. Langkahnya cepat, suara sepatu beradu dengan lantai marmer membentuk ritme gugup yang nyaris jarang ditunjukkan. Rumah sakit itu sangat padat tapi di lorong gawat darurat hanya terdengar suara monitor dan desahan nafas tergesa para perawat. Elizah terbaring dengan wajah memerah dan keringat membasahi keningnya. Feromon samar menyebar di udara — bukan aroma manis khas Omega, bukan pula tajam khas Alpha. Ada sesuatu yang asing seperti bunga lavender yang dibakar di bawah matahari. Josephine menatap dari balik kaca tanpa berkedip. Di sampingnya, dokter menjelaskan panjang lebar soal ketidakseimbangan feromon dan kemungkinan Elizah masuk ke dalam fase transisi langka yang belum diketahui arah dominannya. “Artinya?” potong Josephine pelan tapi tajam. “Artinya… kita belum tahu apakah ini Rut. Tubuhnya belum memutuskan,” jawab dokter itu gugup. Josephine menghela nafas panjang. Dia harus menghubungi Hyun segera karena dia yang lebih paham. “Dan selama itu belum jelas, kalian biarkan adikku menderita seperti ini?” Nada suaranya meninggi hingga setiap kata terasa seperti cambuk. Dokter buru-buru menunduk, memberi isyarat agar perawat menambah dosis stabilisator. Josephine mengetik cepat ponselnya untuk segera mendapat pertolongan dari tim medis Hyun. Rox datang terlambat, membawa sebotol air dan ekspresi serius. “Aku dengar dia mungkin akan menjadi Enigma,” katanya datar, menatap adik Josephine yang masih terguncang di ranjang. “Tidak,” Josephine memotong cepat. “Elizah tidak akan. Dia tidak seharusnya menjadi siapa pun dari mereka. Dia… Elizah.” Rox menatapnya lama. “Kamu bicara seolah bisa menentang takdir.” Josephine membalas tatapannya. “Aku akan menentang dunia yang suka menempatkan orang berdasarkan kadar feromon tubuhnya.” Hening sejenak. Di balik kaca, Elizah menggeliat kecil, wajahnya menegang. Josephine spontan menekan tombol interkom. “Tambahkan bius. Sekarang.” Perawat bergegas, dan dalam beberapa menit, suara napas Elizah perlahan tenang. Tidak lama Jeremi dan Dokter Hyun masuk ke ruang insentif. Dari mata Josephine ada rasa gugup dan cemas. Feromon Elizah sudah bocor dan keluar dari ruangan dan itu lebih parah saat dia berada di rumah. Jeremi yang sejak tiba diam akhirnya bersuara, lembut tapi hati-hati. “Kau tahu… banyak pihak akan memanfaatkan kabar ini, Jo. Jika benar Elizah itu Enigma maka semua perhatian akan tertuju pada kita.” Ya. Orang-orang inti seperti Jeremi dan beberapa kepercayaan sudah diberitahu Rox mengenai keadaan Elizah. Itu menambah kemungkinan bagi Elizah mengambil posisi Julien di pemerintahan. Josephine memutar tubuh, menatap Jeremi. Tatapannya dingin. “Dan mereka pikir aku akan diam?” Rox menepuk bahunya pelan. “Kadang, kekuatan bukan hanya soal melawan, Jo. Tapi tahu kapan harus melindungi.” “Melindungi?” Josephine tersenyum tipis. “Aku sudah melindunginya sejak kecil. Dari dunia, dari orang yang kupanggil keluarga, bahkan dari diri sendiri.” Rox menutup mata mengangguk. Sedangkan Jeremi memilih untuk pergi setelah Rox membisikkan sesuatu. Josephine terus menatap Elizah yang ditangani oleh Hyun. “Tapi kali ini… aku ingin melindungi tanpa harus berperang.” Beberapa jam kemudian, Elizah terbangun. Matanya masih redup, tapi ia tersenyum begitu melihat Josephine duduk di sisi tempat tidur. “Kak…” suaranya serak. “Aku mimpi ketemu Papa Dion.” Josephine mengusap pelan rambut merah adiknya. “Papa memang sangat kangen kamu. Tapi aku di sini.” Elizah menatap kakaknya lama, lalu mengerutkan alis. “Aku bau aneh ya?” Josephine segera melepas maskernya. Ia terkekeh pelan — tawa yang jarang terdengar akhir-akhir ini. “Aneh? Tidak juga. Mungkin dunia cuma belum siap menerima aromamu.” Elizah tertawa kecil lalu kembali memejamkan mata, tertidur dengan damai. Sepertinya masih terpengaruh oleh bius. Josephine duduk diam, membiarkan hening melingkupi ruangan. Dalam hati ia tahu, badai belum benar-benar datang. Dunia luar akan bereaksi keras terhadap kabar ini. Tapi untuk sekarang — cukup baginya melihat adiknya bernapas tenang. “Nona Jo,” panggil Hyun yang mengenakan perlengkapan pelindung diri lengkap. “Sebaiknya anda pasang kembali masker dan segera istirahat.” Pinta Dokter itu agar Josephine tidak terus menemani Elizah. “Anda dengar bukan? Dia mengatakan bau aneh?” Hyun mengangguk lalu memberikan plester pelindung feromon. “Saya dengar tapi Nona Jo dalam kondisi yang tidak baik. Feromon anda juga bisa mempengaruhi Elizah.” Josephine hanya menatap tangan besar dengan plester bertanda Omega. Ia benci dianggap lemah terutama di depannya adalah seorang Alpha. Alpha adalah ras tertinggi dan memiliki kecerdasan diatas rata-rata. “Ambil ini Nona Josephine. Ini juga demi kebaikan Elizah.” Mendengar nama Elizah sekian kali membuat tangannya meraih plester yang tidak ingin ia pakai seumur hidup. Hyun tersenyum lalu membimbing Josephine untuk keluar dari ruangan perawatan Elizah. Seluruh perlengkapan yang mereka gunakan langsung disterilkan. Ia juga memasang plester omega ke lehernya seperti kata Hyun, tubuhnya sedang tidak baik. Pria Alpha itu juga sesekali menjelaskan keadaan Elizah dan laporan terbarunya. Sepanjang lorong hanya ada mereka berdua. Karena feromon Elizah bocor seluruh rumah sakit terpaksa disterilkan dan banyak pasien rawat dipindahkan ke rumah sakit terdekat. “Bagaimana dengan semua dokter?” tanya Josephine setelah tiba di pintu keluar. “Mereka bisa kembali kerja besok. Untuk sementara kami akan menyemprot seluruh wilayah rumah sakit dan membatasi pekerja untuk mendekati ruangan Elizah,” jelas Hyun panjang. Angin sore itu sangat kencang tetapi entah kenapa ada wangi lavender samar. “Dokter Hyun, saya mohon sembuhkan adik saya.” Hyun tersenyum lebar, “pasti karena itu tugas yang Nona Josephine berikan.” Josephine berhenti melangkah dan kembali melihat ke belakang. Dia ingin sekali menemani Elizah dan menenangkannya. Sungguh tidak adil, kenapa dia harus menjadi Omega yang begitu lemah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN