Pertemuan Takdir

1979 Kata
Hari itu, udara di sekitar rumah besar milik Julien terasa berat, seolah setiap dinding menyerap kisah lama yang enggan diingat. Josephine berdiri di depan ruang tamu dengan setelan hitam sederhana, wajahnya datar tapi matanya tak bisa berbohong—ada banyak hal yang ia pendam, terutama sejak Dion meninggal dunia. Rox yang berada di samping Julien terus mengingat Josephine untuk tidak mengacau di rumah musuh. “Jangan terpancing.” Josephine mengangguk. Ia juga gugup dengan berkali-kali merapikan anak rambut ke belakang telinga. Pintu besar berukir mawar terbuka dan suara langkah pelan terdengar. Julien masih tampak gagah — rambutnya sudah memutih di beberapa bagian rambut hitamnya. Aura seorang Alpha yang dulu pernah membuat dunia Dion kini hanya tinggal sisa lembut dari kebanggaan yang rapuh. Pria itu lebih terlihat seperti gelandangan ketimbang seorang pengusaha dibalik layar. “Josephine,” sapanya lirih, suaranya berat seperti ditelan waktu. Josephine sudah sangat lama tidak bertemu mungkin saat ulang tahunnya ke-6. “Ayah.” Tidak ada pelukan. Tak ada tatapan rindu. Hanya dua generasi yang berdiri di antara kehancuran masa lalu. Tangan Julien memberi kode mempersilakan Rox dan Josephine duduk. Seorang yang mengikutinya dari belakang menyiapkan teh dan camilan. Lainnya menumpuk beberapa dokumen ke meja tamu. Julien menatapnya cukup lama sebelum menyerahkan satu map tebal — dokumen kepemilikan saham, rekening, properti, dan sertifikat perusahaan yang pernah menjadi kebanggaannya bersama Dion. “Semuanya… aku serahkan padamu,” katanya pelan. Josephine menoleh ke arah Rox yang dibalas dengan gelengan kepala. Josephine mengambil map tersebut dan membacanya sekilas. “Aku mencari tempat persembunyianmu bukan untuk mengambil hal bodoh ini,” ujar Josephine meninggikan nada bicara. Dia baru saja bertemu untuk sekian lama malah orang yang bertemu mengira dia ingin mengambil seluruh harta. Josephine bukanlah seorang anak yang gila harta dan kekuasaan. Julien terkejut sehingga banyak pengikut Julien menatap waspada ke arah Rox dan Josephine. Lalu Josephine menarik halaman kertas terakhir. Dipertunjukan bagian dari tulisan kertas itu di meja. “Lalu kenapa surat pengalihan di halaman belakang tertulis nama Elizah?” Julien terdiam. Nafasnya tertahan. “Karena dia masih kecil. Kamu tahu, Nak, aku sudah tidak punya apa-apa selain ini semua. Aku harap Elizah… tidak tersiksa.” Ucapan itu seperti pisau dingin di d**a Josephine. Segitu jahatnya pikiran Julien terhadapnya. Padahal dia sudah menganggap selingkuhan Ayahnya seperti Mama kandung. “Tersiksa dari siapa? Dari aku?” tanyanya lirih. Julien menunduk. “Dari kebencian dunia ini. Dari beban yang aku tahu terlalu berat untuk kalian tanggung berdua.” Josephine tertawa hambar. “Ayah masih sama seperti saat Papa masih ada. Selalu punya alasan untuk meninggalkan sesuatu. Dulu Ayah bilang menceraikan Papa demi keselamatan, membuat Elara menghasilkan benih Ayah, sekarang memberikan segalanya untukku dan Elizah demi kebaikan. Kebaikan siapa yang Ayah maksud? Atau ini cuma cara Ayah untuk menebus dosa tanpa benar-benar menatap luka yang Papa terima?” Julien tidak menjawab. Ia hanya menatap foto di dinding — Dion tersenyum, menggendong Josephine kecil di taman. Ada nostalgia yang hangus di matanya. Dia tidak pernah ingat ada keberadaannya di dalam kenangan indah. “Elara pernah bilang Ayah pengecut,” lanjut Josephine dingin. “Tapi aku tahu sekarang… dia hanya ingin aku membencimu. Supaya aku bisa menyelamatkan diriku sendiri tanpa menunggu seseorang untuk datang dan memohon maaf.” Julien menutup matanya sejenak. “Aku memang pengecut, Jo. Tapi aku tetap ayahmu.” Rox menahan bahu Josephine. Padahal ia sendiri tahu Pamannya sudah tidak tahan akan semua ucapan Julien. “Dan aku tetap anak dari orang yang Ayah sakiti,” balasnya pelan. “Dua orang, Ayah. Tancapkan nama Dion dan Elara di hati gelapmu itu.” Hening panjang merambat di ruangan itu. Rox mulai berbicara kali ini, “Julien, kedatanganku dan Josephine bukan untuk mengambil hartamu atau menggugat warisan Dion.” Josephine memutar mata jengah, kegugupannya berubah menjadi benci. “Aku memanggilmu bukan untuk berdebat Ayah.” “Elizah mengalami rut tidak terkontrol. Ini catatan dokter pribadinya.” Diberikannya hasil pemeriksaan Elizah dari Hyun. Julien mengambil berkas itu dan membacanya pelan-terkejut. Dia langsung memanggil orangnya untuk memastikan apa yang dibaca. “Jika ini diketahui Gren–” “Papa sudah memprediksi…ini.” Potong Josephine karena tidak ingin mendengar organisasi busuk tempat di mana Ayahnya dulu bekerja. “Sebelum Papa meninggal, dia mengatakan akan selalu mencintaimu.” Sebuah surat diletakan Josephine dihadapan Julien. Aroma menyerbak begitu ia membuka amplop surat. Ada sedikit feromon Dion di dalamnya. Julien meneteskan air matanya. Rox yang muak keluar terlebih dahulu setelah beradu mata dengan Josephine. “Bawa map ini bersamamu,” kata Julien putus asa. Mau tidak mau Josephine membawa berkas berisi dokumen kepemilikan saham, rekening, properti, dan sertifikat perusahaan. Sangat berat baginya apalagi dia juga baru resmi mengambil alih perusahaan Dev. “Jagalah adikmu. Aku akan berusaha membantu.” Nasihat Julien membuat semua bawahannya keluar menunduk. Sedangkan Josephine turut mengikuti bawahan Julien. Untuk sesaat ia menatap punggung ayahnya yang menangisi isi surat Dion. “Miris.” Rox yang tengah sebat untuk menghilangkan feromon, kaget dengan Josephine keluar diiringi bawahan Julien. Dia pikir mereka akan terus bergulat lidah dan saling berbicara tentang masa lalu. “Sudah selesai?” tanya Rox. “Ayah menangis sepertinya otaknya bermasalah.” Rox mengedikkan bahu lalu masuk ke dalam mobil setelah membuka pintu untuk Josephine. Rox mengemudikan mobilnya pelan diikuti dua mobil penjaga mereka. Josephine meraih map dari Julien langsung membuka halaman terakhir. Ia membaca nama Elizah Dionne Julien di atas tanda tangan notaris. Bibirnya bergerak tanpa suara. “Kalau ini yang harus kulakukan untuk melindungimu, adik kecil… maka aku akan melakukannya, bahkan bila aku harus kehilangan semuanya.” Rox melirik dari kaca dashboard. “Kamu tahu apa artinya keputusan ini, Jo. Banyak pihak akan mempertanyakan legalitas milikmu sebagai Agust.” Josephine menutup map dengan tenang. “Biar mereka datang. Aku akan menunjukkan bahwa bukan nama yang menentukan kekuasaan tapi siapa yang sanggup menanggung beban di baliknya.” Rox menatap tekad yang kuat lalu mengangguk. “Kamu mulai terdengar seperti Dev ketimbang Dion.” “Aku hanya anak dari keluarga yang sudah terlalu lama bertarung dengan warisan yang busuk,” jawab Josephine datar. Namun di balik suara tenangnya, sesuatu di d**a Josephine perlahan retak. Ia sadar — setiap cinta yang pernah dimiliki keluarga ini selalu datang bersama luka, dan setiap luka meninggalkan warisan yang tidak bisa dijual atau dialihkan menjadi kesendirian. Di lain tempat, sore turun layaknya kain tipis yang menutup ujung-ujung jalan. Cahaya matahari meredup, menembus celah-celah daun dan memecah keemasan di atas kaca etalase. Udara yang lembab, campuran aroma tanah dengan wangi remang bunga—sebuah atmosfer yang membuat waktu terasa berjalan lambat. Di lorong kecil itu, kios bunga Elizah tampak seperti pulau kecil yang berdiri tenang di antara deretan gedung kantoran rak-rak kayu dipenuhi vas berisi mawar, krisan, dan beberapa tangkai lili yang telah layu. Elizah menata bunga cukup rapi di etalase. Sepulang sekolah dia sudah terbiasa membuka kios pengisi waktu luang. Kadang ramai tapi lebih sering sepi karena sebagian pengunjung adalah pegawai perusahaan milik Dev dan Rox. Dua orang yang kaku soal perasaan. Tangan Elizah lincah, telapak dan ujung jarinya mengenal lekuk kelopak, mengetahui mana yang harus ditopang, mana yang layu. Seperti ritual kecil yang menentramkan pikirannya setelah hari-hari penat di sekolah. “Ini sangat harum, namanya apa?” tanya Hyun. Suara laki-laki itu muncul dari pintu yang setengah terbuka, suara yang mengandung nada lembut dan penuh sopan. Dokter Hyun—dirinya memang begitu ia kenal sosoknya selalu rapi, kemeja yang digosok rapi, tetapi ada garis-garis kelelahan di bawah matanya yang tidak bisa disamarkan oleh senyum ramahnya. Ia berdiri dengan satu tangan menyanggah tas, mata menatap ke arah bunga lili yang baru dibuka. “Dokter Hyun, bukankah anda sibuk?” Elizah bertanya memastikan juga menutupi keterkejutan dengan keramahan yang biasa. Ada sesuatu dalam nada bicaranya yang sedikit kecut, seperti rasa pahit yang tertahan di bibir ketika ia menyadari kedatangan dokter pribadinya. Aroma Alpha itu menyeruak begitu seluruh tubuhnya mendekat ke Elizah. Di sudut kios, beberapa pot kecil berjejer, dan sepasang sarung tangan karet tersampir di pegangan ember. Secara tidak sopan ia mengenakan sarung tangan yang biasa dipakai Josephine ke tangannya. Elizah tahu Hyun sengaja mengambilnya. “Saya hanya berkunjung ke rumah pasien saya.” Bohong, itu yang seharusnya keluar dari mulut Elizah sekarang. Elizah memasang wajah tidak suka. Hyun masih mempertahankan keramahan di wajahnya walau sadar kehadirannya tidak diterima. Di luar, suara kendaraan bergesek di jalan aspal, namun di dalam kios terasa seperti waktu menipis. Lampu neon kecil di sudut memancarkan cahaya hangat yang merayap pelan di antara vas-vas bunga, memantulkan kilau pada kelopak-kelopak yang lembab. Pintu kayu diketuk, dan Josephine, dengan gestur cepat khasnya, memasuki area etalase. Ia membawa aura yang berbeda—lebih tegas, sedikit bersemangat, dan ada kilau perhatian yang tak bisa disembunyikan. Suaranya seperti bel, memecah hening dan membuat beberapa daun kering berguguran dari rangkaian bunga kering di pojok. “Eli, bukankah ini waktunya tutup? Loh!” Josephine yang membuka pintu terkejut. Dilihatnya Hyun yang tengah mengambil pot dan Elizah yang memegang erat gunting. “Dr. Hyun.” Panggil Josephine akhirnya. “Selamat sore, Nona Jo.” Hyun membalas dengan sopan, mengangguk sedikit. Ia menoleh sejenak ke arah etalase, matanya menyapu keseluruhan kios. “Ya.” Ada kesederhanaan dalam sapaan itu, sebuah kebiasaan yang dipertahankan di antara mereka. Wajah Josephine melunak sesaat atau mungkin ia menangkap tujuan kedatangan Hyun yang lebih daripada sekadar membeli bunga. “Apa ada keperluan dengan Eli, dok?” tanya Josephine. “Saya hanya ingin membeli bunga. Saya akan berkunjung ke makam keluarga mumpung masih di Negara ini.” Kalimat itu membuat udara di kios terasa sedikit lebih berat. Ada kesunyian yang rapuh setelah pengakuan tersebut—kata-kata yang mengandung rindu sekaligus kewajiban. Elizah menahan napas, kuku jari-jarinya memutih. “Elizah, kenapa diam? Cepat bantu dokter dan pulang.” Josephine mengarahkan senyum memaksa, sebuah kepedulian yang dibungkus kewajiban. Ia melihat jam dinding yang tergantung dan seketika mendapat sedikit kecemasan akan rutinitas yang harus dijaga—toko harus ditutup. Ketika ingin beranjak tangan Hyun meraih lengan kecil Josephine hingga sedikit terdorong ke belakang. “Tunggu dulu Nona Jo.” Kata Hyun lalu, “maaf saya terlalu keras ya?” Kepala Josephine menggeleng dan ia langsung menjaga jarak. Hyun yang memasang wajah kecewa saat mata abu-abu menyorot tajam ke arah tangannya. Hyun dengan cepat menarik tangannya. “Besok ada waktu?” tanya Hyun kali ini Elizah memecahkan kecanggungan antara Hyun dan Josephine dengan bunyi keras dari gunting. Ia melangkah mendekat ke Josephine dan meraih tangkai bunga yang dimaksud Hyun. Jaraknya dekat hingga kedua wajah itu hampir sejajar. Cukup menyeramkan karena dari mata Elizah kentara emosi yang siap meledak. “Besok bukannya hari libur?” “Ah, saya ingin membeli baju tapi…” Pernyataan penuh harap. Pembicaraan tentang membeli baju terdengar ringan, namun bagi Elizah itu mungkin berarti keluar dari dengan maksud lain. “Kalau soal belanja aku lebih sarankan bersama Elizah. Dia dan Mama yang lebih sering keluar.” Josephine memberi jawaban praktis, dan wajahnya memancarkan keyakinan. “Begitu…” Lagi-lagi Hyun kecewa. “Dokter lebih baik istirahat setelah ke pemakaman.” Nasihat itu datang dari suara yang penuh perhatian. Sebentar, ada kegugupan kecil yang terlintas di bibirnya. Hyun menunduk sedikit, matanya merenung pada susunan bunga yang ia pilih, mungkin menghitung kembali langkahnya, atau mengenang alasan kenapa ia ada di situ. Tanpa menyadari Josephine telah meninggalkan toko. Elizah tertawa mengejek setelah Kakaknya pergi. “Nih bunganya.” Tawa yang tertahan, seperti pelepasan kecil dari ketegangan yang baru saja menempel pada ruang. Ia menyerahkan bunga itu dengan gerakan yang sebenarnya lembut, namun kata-katanya mengandung sindiran ringan—sebuah mekanisme perlindungan yang biasa dipakai untuk menutupi rasa canggung. “Kenapa belum pulang? Tokonya mau tutup ini!” Hyun malah tidak bergeming. Seolah terpaku menjadi patung selamat datang. Berkali-kali tubuh besar pria itu digoyangkan Elizah karena dia ingin cepat pulang. “Nona Eli, mau jadi cupid saya?” Godaaan ringan dilontarkan pelanggan tetap di masa depan. “Buang mayatmu ke selokan baru kuterima.” Balasan Elizah, kasar namun bercampur tawa, membawa seluruh percakapan ke akhir yang penuh keakraban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN