Pewaris Terakhir

1588 Kata
Udara sore di Villa keluarga Agust terasa berat. Langit abu-abu, udara lembap, dan aroma antiseptik samar tercium di seluruh koridor. Josephine berdiri di depan pintu ruang perawatan Kakek Dev, menatap kaca transparan yang memisahkan mereka. Tubuh lelaki tua itu terbaring di ranjang berlapis selimut putih, dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Kulitnya pucat, dan setiap hembusan nafas terdengar seperti langkah terakhir dari sebuah cerita panjang. Jeremi berdiri di samping Josephine, membawa berkas-berkas dokumen. Saat ini Rox sedang berada di luar kota sehingga Jeremi-lah yang mengawasi. Dia juga menyusun dan revisi jadwal rapat. Sungguh asisten pribadi yang profesional, diam-diam Josephine ingin Jeremi menjadi asistennya. Seorang perawat bernama, Ana, mendekati mereka. Josephine mengangguk untuk mendengar laporannya. “Feromon-nya terus menurun sejak dua minggu lalu,” katanya pelan. “Dokter bilang sistem sarafnya mulai menolak stimulus Alpha. Kondisi ini… bisa lebih buruk.” Josephine menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Aku tahu. Papa dulu juga mengalaminya.” Di dalam ruangan, Dev membuka matanya perlahan. Tatapannya sayu, tapi masih menyimpan sisa ketegasan seorang pemimpin yang dulu mengguncang dunia bawah. Ketika Josephine masuk, ruangan seolah langsung tenang. Para dokter dan segelintir orang pergi menyisakan Josephine dan Jeremi. Dev sendiri berusaha mendudukan diri. “Jo…” suara Dev serak tapi menjaga wibawa. “Kamu datang.” Josephine mendekat, berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan tuanya yang dingin. Sudah hampir 3 tahun kesehatan tubuh Kakeknya anjlok. Padahal setelah Papa meninggal, kakeknya tidak berhenti untuk mencari Ayah dan juga ekspansi perusahaan. “Ya, Kek.” Josephine mencium tangan yang dulu sering menggendongnya. Dulu tubuh Kakeknya cukup besar melampaui tubuh Rox. Sekarang menyisakan otot dan kulit keriput. Dev tersenyum samar. “Rox bilang kamu sudah mengambil alih sebagian operasi tim selatan. Aku sangat bangga. Tapi, apakah kamu tahu apa artinya mengambil sesuatu dari tangan orang tua sepertiku?” Terlihat binar di matanya, warna mata coklat terang yang sama seperti Dion. Josephine pun mengangguk. Dia mengambil dokumen dari tangan Jeremi untuk diperlihatkan ke Dev. “Tanggung jawab,” jawab Josephine jujur. “Tapi juga kepercayaan.” Dev tertawa pelan, batuk, lalu tersenyum. “Persis seperti Papamu dulu.” Ungkapnya senang melihat laporan dari dokumen tersebut. Ia memandang cucunya dalam-dalam, menelusuri wajah Josephine yang kini tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Ada sesuatu di sorot mata gadis itu — keteguhan yang dulu hanya dimiliki Dion, namun kali ini dibalut dengan dinginnya tekad yang bahkan Dev sendiri sulit pahami. Matanya sedikit berair. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. “Josephine, dunia ini tidak akan berhenti walau kamu berubah menjadi Alpha,” katanya dengan suara serak namun masih mengandung wibawa. “Tapi dunia juga tidak akan menunduk karena kamu memaksanya. Dunia hanya akan bergeming ketika kamu tahu kapan harus menatap, dan kapan harus diam.” Suara detak jam antik di dinding terdengar nyaris bersamaan dengan napas berat Josephine. Ia menatap kakeknya mantap. “Aku mengerti, Kek.” Dev mengangguk kecil, lalu melirik ke arah Jeremi yang berdiri tegak di sisi ruangan. Pria paruh baya itu, dengan jas abu tua dan dasi yang rapi, sudah menyiapkan berkas dari Rox — map hitam besar dengan segel perak di sampulnya. Sekretaris pribadi Rox itu tahu hari ini bukan hari biasa. “Sudah waktunya,” ujar Dev pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Jeremi maju beberapa langkah, menyerahkan map hitam besar ke pangkuan Dev. Ia melakukannya dengan sikap penuh hormat, tahu betul bahwa tangan yang kini menerima dokumen itu adalah tangan yang dulu mengangkat nama Agust hingga dikenal di seluruh benua bisnis bawah tanah. Di dalamnya terdapat dokumen hak aset, wewenang saham, dan kepemilikan jaringan keuangan yang bahkan banyak Alpha lain tak berani sentuh. Dev membubuhkan tanda tangannya dengan tangan gemetar. Suara pena di atas kertas terdengar begitu lambat, seolah setiap tarikan tinta adalah pengakuan waktu yang mulai habis. Josephine hanya bisa menatap, kaget mengapa hal sepenting ini dilakukan di Villa — bukan di kantor pusat, bukan di hadapan dewan. Meskipun Rox bisa digantikan oleh Jeremi untuk formalitas hukum, tapi ada sesuatu yang berbeda hari itu. Mungkin karena Dev tahu, penyerahan ini bukan sekadar soal dokumen, melainkan soal warisan darah. “Mulai hari ini, semua milikku… adalah milikmu,” ucap Dev akhirnya, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh napasnya sendiri. Josephine membeku. “Kek—” Dev mengangkat tangannya yang lemah, menghentikan ucapan itu. “Aku tidak ingin mendengar penolakan. Dunia ini sudah berubah dan aku sudah lelah untuk mengembangkan perusahaan keluarga ini.” Suara itu begitu tenang, tapi Josephine bisa merasakan betapa besar beratnya keputusan itu. Matanya memanas, namun ia menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, jika ia menangis sekarang, Dev akan menganggapnya belum siap. Josephine tersenyum kecil, meski matanya basah. Kakeknya terlihat sehat bila sedang memberi nasihat, seperti dulu — seperti tak ada yang berubah. “Kamu darah Agust terakhir dariku.” “Aku pasti akan menjadi penerus, Kek. Aku ingin menjaga keluarga,” ucapnya lembut namun yakin. Dev tersenyum lirih, bibirnya sedikit bergetar. “Itu sebabnya kamu pantas jadi penerus.” Kata-kata itu melayang di udara, menutup percakapan dengan kehangatan yang menyesakkan. Hening sesaat, hanya diselingi bunyi lembut oksigen yang mengalir dari tabung kecil di sisi ranjang. Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar dari luar. Rox masuk ke ruangan mengenakan jas hitam panjang. Wajahnya datar, seperti biasa — tapi matanya merah, entah karena kurang tidur atau karena menahan sesuatu yang lain. Ia menatap tubuh Dev yang sudah tertidur setelah efek obat penenang bekerja, lalu menatap Josephine. Ruangan itu masih dipenuhi aroma kertas, obat, dan ketegangan yang belum sepenuhnya sirna. Rox mendekat, lalu menepuk bahu Josephine pelan — isyarat tanpa kata, namun penuh makna. Dalam tepukan itu ada pengakuan, ada tanggung jawab yang kini berpindah tangan, dan ada duka yang sama-sama mereka pahami. Josephine menunduk sejenak, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, mulai saat itu, tidak akan ada yang bisa mengembalikan hidupnya ke masa sebelum hari ini. Di luar jendela, angin menggoyang dedaunan, membawa kabar bahwa dunia sedang berubah — dan perubahan itu kini berada di tangannya. Sore hari, Elara—yang sedang menata mangkuk sup di meja makan—terperanjat. Ia tidak menyangka tamu itu adalah Hyun, dokter pribadi Elizah yang biasanya terlalu sibuk untuk sekedar berkunjung. Pria itu, dengan jas putih yang sudah agak kusut dan rambut yang sedikit berantakan karena angin, tampak kelelahan. Dokter pribadi Elizah itu tanpa malu malah menerima tawaran untuk makan. Respon Josephine hanya menganggap Hyun seorang pria yang tengah kelaparan akibat pekerjaan lemburnya. Berbeda dengan Elizah, dia tidak menyukai Alpha dan jabatan dokter Hyun. Hyun makan perlahan, seolah kehangatan makanan menjadi jeda dari dunia yang terus menuntutnya berpikir. Josephine duduk di seberang meja, memperhatikan tanpa banyak bicara. Setelah makan ia menunjuk Hyun untuk ke ruang kerja. Karena dia merasa belum pantas Elizah mendengar. “Josephine, aku ingin tunjukkan sesuatu,” kata Hyun. Ia menyalakan proyektor mini dari tablet dan menampilkan simulasi genetis yang berputar di layar besar ruang tamu. Warna-warna biru dan merah berpadu, membentuk pola DNA yang tidak stabil. “Jadi, Papaku benar ya kalau dia Enigma,” ujar Josephine perlahan. “Bukan begitu,” kata Hyun cepat, sedikit mencondongkan tubuh mendekati meja kerja. Aroma bunga khas tercium berasal dari Hyun. Feromon yang tidak disukai Josephine, ia ingin segera mengusir Hyun. “Elizah mungkin bentuk baru. Sistem akan beradaptasi jika sosok Elizah bermunculan di banyak tempat.” Jelas Hyun kali ini mundur. Mulutnya membentuk ucapan maaf walau tanpa suara. Josephine menghela nafas panjang, matanya terpantul di permukaan gelas berisi teh dingin. “Aku bukan Alpha, bukan Beta tapi Omega. Kalau memang begitu, Elizah bisa mengubah sistem ini.” Hyun menatapnya lama, seolah mencoba membuat kesimpulan. “Dia bukti bahwa sistem patriarki biologis bisa hancur.” Tidak ada kata-kata setelah itu. Josephine berdiri, langkahnya pelan menuju pintu. Ia tidak menjawab, hanya berjalan pergi. Hyun yang ditinggal tersenyum, “ternyata benar kamu tidak menyukai Alpha.” Tiga hari kemudian, rumah besar keluarga Agust dipenuhi orang. Para kepala organisasi datang dari berbagai distrik. Wajah-wajah tua yang dulu tunduk pada Dev kini menatap Josephine yang berjalan angkuh mengambil kursi di depan. Meja makan yang panjang itu penuh dengan aroma intimidasi. Seharusnya ini adalah perayaan perkenalan ketua baru. Namun, beberapa membisikkan kata “Omega” di antara mereka, dengan nada setengah mengejek, setengah takut. Rox berdiri di sisi Josephine, dan dengan satu tatapan dingin berhasil membuat ruangan sunyi. Ia membuka map besar, lalu mengumumkan dengan suara tegas. “Mulai hari ini, Dev Agust secara sah menunjuk Josephine Agust sebagai penerus tunggal kekuasaan, pemilik seluruh aset.” Desis pelan terdengar. Josephine tetap duduk tegak, penampilannya saat ini lebih mencolok dari biasanya. Setelan jas hitam dengan rok menampilkan kaki jenjangnya. Rambut pendek yang biasa dikuncir kini di sanggul rendah. Garis wajah tegas terlalu menonjol dikatakan Omega. Tidak ada feromon, tidak ada d******i—tatapan tenang dan suara yang dalam. Josephine berusaha membuat seisi ruangan tenang tanpa interupsi biologis. Josephine berusaha menegakkan ketertiban tanpa ancaman biologis, hanya dengan tatapan yang mampu membuat setiap kepala menunduk. “Aku tidak akan menjadi Dion yang kedua,” katanya, suaranya dalam dan jernih. “Aku akan menjadi sistem baru yang ia impikan.” Keheningan pecah ketika seseorang dari kerumunan memberanikan diri bersuara, “Apa Anda pikir dunia akan tunduk pada Omega?” Josephine menatapnya lurus, seperti pisau yang menembus kabut. “Aku tidak butuh dunia tunduk. Aku hanya butuh mereka sadar bahwa aku tidak akan mundur.” Rox, yang berdiri di sisi kanan, memandangnya lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tersenyum bangga—bukan karena kemenangan, tapi karena keberanian yang lahir tanpa perlu izin dari siapa pun. Pesta makan bersama itu pun berjalan hening dan mereka semua mau tidak mau setuju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN