"Zahira, maaf," batin Dafa, "maaf, karena sampai detik ini, aku masih juga mencintai gadis yang berhasil menarik perhatianku untuk kali pertamanya itu."
*
*
*
Malam semakin larut. Mega-mega hitam berhasil menelan sinar rembulan. Jangankan sinar rembulan. Bintang pun seakan tak sudi menampakkan diri. Dan di kegelapan sekaligus keheningan malam itu, suara sedu sedan Zahira terdengar lebih jelas.
Dafa yang masih terjaga, perlahan memaksakan diri mendekatinya. Hingga tinggal satu jengkal jarak mereka berdua, Dafa memberanikan diri menoleh.
"Astaghfirullah," batin Dafa penuh penyesalan.
Bagaimana tidak, jika wajah cantik istrinya kini sudah sembab. Sebegitu tega kah Dafa membuat istrinya menangis di hari kesekian setelah pernikahan.
"Zahira …"
Dafa menelan ludah. Tangannya yang selama ini hanya berani menyentuh tangan Maudi, pun pelan tapi pasti diangkat lantas mendarat di pundak Zahira.
Deggg
Ada sesuatu berbeda yang Zahira rasakan. Untuk sesaat wanita itu berhenti menangis. Melalui ekor matanya, ia menemukan tangan Dafa mengusap-usap pundaknya yang mirip busur panah.
Secara perlahan lagi, Dafa mendekatkan pundak istrinya ke pundak sendiri. Sampai saling bersentuhan pundak mereka. Kemudian Dafa merangkul Zahira guna meredakan isak tangisnya yang tiada ujung.
"Tolong maafkan aku," lirih Dafa begitu kepala Zahira terbenam di dadanya yang bidang.
Tak mau melewatkan kesempatan, Zahira sigap melingkarkan kedua tangannya pada punggung Dafa.
Sontak tubuh Dafa menegang sekaku tiang. Tapi ia tak secuil pun beranjak atau setidaknya merenggangkan pelukannya sesaat.
"Mas sudah jadi suamiku. Bolehkah aku meminta hakku sebagai istri," bisik Zahira disertai isak tangis.
Dafa mengangguk pelan.
"Aku tidak rela jika mas mencintai perempuan lain. Di dunia ini aku hanya ingin mas mencintai ku, ibu mas dan saudara-saudara perempuan mas yang lain, bukan perempuan yang bukan muhrimnya," imbuh Zahira bersungguh-sungguh.
Dafa sempat terdiam. Ia berpikir, permintaan Zahira tidak ada yang salah. Yang salah justru dirinya yang belum bisa menepis perasaan cintanya untuk Maudi meski Maudi sudah mengabaikannya.
"Mas, apa mas bisa?" Tanya Zahira kemudian.
Dafa menarik nafas panjang. Lalu, pria itu mengangguk setuju.
Segera terbit senyuman di wajah Zahira, serta keberaniannya yang mengawali mengecup pipi Dafa sampai tubuh pria itu merinding.
***
Ayam jantan berkokok. Lantang suaranya memenuhi gendang telinga. Selang beberapa menit, suara muadzin menyusul. Beliau menyerukan panggilan sepertiga malam untuk menunaikan ibadah sunnah, sekaligus membangunkan santri untuk melaksanakan rutinitas tersebut.
Saat yang sama, Dafa dan Zahira juga terbangun. Namun, kali ini mereka tidak hanya saja mengambil air wudhu melainkan mandi besar guna mensucikan diri dari kegiatan ibadah semalam.
Jujur, nyeri menyerang area sensitif Zahira. Ia meringis kesakitan kala air yang dingin kali pertama menyentuh tubuhnya. Beda halnya dengan Dafa yang terdiam seakan-akan kewajiban yang telah Zahira berikan tidak memuaskan.
Hingga selesai sholat sunnah, Dafa masih juga tidak mengajak Zahira mengobrol. Dafa malah memutuskan membaca ayat suci Al-Quran sampai menjelang adzan subuh. Setelah itu, ia menunaikan sholat berjamaah di masjid, sedang Zahira seorang diri di rumah.
"Assalamualaikum … assalamualaikum."
Selesai dua salam tahiyat terakhir, Dafa berdzikir diikuti seluruh jamaah yang sebagian besar para santri. Kurang lebih lima belas menit dzikir dilangsungkan.
Begitu tuntas, Dafa lanjut menggembleng para santri penghafal Al-Qur'an agar hafalan mereka mendekati kata sempurna.
Disisi lain, istrinya sibuk membereskan kamar sambil senyum-senyum mengingat kejadian semalam. Semakin lama diingat, semakin bahagia ia, pun berubah merah pula pipinya yang putih itu.
Kemudian ia duduk menepuk-nepuk pipinya sendiri tanpa melepas senyum kebahagiaan nya.
Lalu, di menit kesekian, pintu kamar wanita itu diketuk disertai terdengarnya suara perempuan.
"Assalamualaikum, Ning Zahira."
Seketika kepala Zahira terangkat. Gegas ia bangkit; membukakan pintu.
"Waalaikumsalam," balas Zahira tersenyum hangat.
"Maaf, Ning mengganggu."
"Tidak, aku selesai beberes. Maaf sebelumnya, ini siapa?"
Santriwati berkerudung hitam panjang itu tersenyum canggung. "Saya abdi dalem kediaman Umi dan Abah, Ning. Saya yang biasa pergi ke pasar. Saya diminta Umi bertanya pada Ning Zahira, mau beli sayuran apa untuk sarapan sekaligus makan siang dan makan malam Gus Dafa?"
Zahira ber-oh kecil. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang Dafa sukai, dan apa yang tidak Dafa sukai. Sebelum ia memikirkan, ia bertanya lebih dulu pada abdi dalem tersebut.
"Kalau boleh tau, Gus Dafa biasa makan yang seperti apa?"
"Gus Dafa suka semua makanan, Ning, kecuali makanan yang berbau telur. Misalnya roti-rotian yang terlalu amis, martabak, nasi goreng campur telur. Ya, intinya, sih, jangan masak makanan yang mengandung telur secara berlebihan," terang abdi dalem tersebut.
Zahira bersyukur, kali pertama ia memasak untuk Dafa bulan telur atau masakan sejenisnya.
"Kalau begitu, aku titip kentang, tempe, tahu, kacang panjang …"
***
Fajar menyingsing. Di balik awan semburat jingganya berhasil menerangi.
Kicau burung ikut meramaikan. Hinggap kesana kemari, membuat suasana pagi benar-benar indah.
Kemudian dari ujung jalan yang terdapat kediaman Kyai Abdullah; ayah kandung Dafa. Si pengelola pesantren alias Dafa Abdullah sendiri berjalan santai bermodalkan sandal jepit yang baginya sangat nyaman. Tak lupa peci selalu tersemat di kepalanya. Dan sesekali ia buka kala ia ingin merapikan rambut.
Dari ujung jalan itulah, ia mengayunkan kakinya menuju gedung empat lantai dengan gerbang besi setinggi tiga meter sebagai pembatas.
Begitu satpam gedung itu melihat Dafa dari kejauhan, segera satpamnya merapikan rambut serta menyematkan peci sebelum ia membuka gerbangnya sedikit.
"Assalamualaikum, Gus," sapaan si satpam ketika Dafa melewati gerbang.
"Waalaikumsalam," balas Dafa tanpa lupa meninggalkan senyuman.
Dafa berjalan lumayan jauh. Tapi mendadak ia menoleh; berseru, "Kang Udin!"
Merasa namanya disebut. Lekas, si satpam itu menjawab, "Nggih, Gus."
"Pak kepala sekolah ada?" Tanya Dafa, menyusul.
"Nggih, Gus, ada. Baru saja berangkat. Kemungkinan masih di kantor."
"Terima kasih, Kang Udin." Singkat saja pertanyaan Dafa. Ia melanjutkan langkah menuju tujuan utamanya, yakni menemui Kepala sekolah madrasah Tsanawiyah guna menyampaikan keinginan Zahira untuk mengajar di sekolah ini.
***
Keinginan Zahira telah Dafa sampaikan. Tanpa kompromi, kepala sekolah yang merupakan alumni pesantren pun setuju.
Beliau berkata, besok Zahira tinggal datang dan langsung bisa mengenalkan diri pada calon-calon muridnya.
Kabar ini juga Dafa sampaikan pada Zahira. Tentu membuat kebahagiaan Zahira bertambah berkali-kali lipat.
"Terima kasih, mas, terima kasih," ucap Zahira tak henti-henti.
Dafa hanya mengusap kepala berhijab wanita itu. Kemudian ia ke luar membawa kunci motor.
"Mas mau ke mana?" Tanya Zahira.
Dafa menyahut, "Mau ke rumah Pakde. Ada beberapa hal yang ingin mas bahas."
"Hati-hati, Mas. Dan ngomong-ngomong, nanti siang aku juga akan membuat masakan untuk mas," seru Zahira masih dengan suara lembut.
Dafa tak menggubris lagi. Punggung pria itu kian jauh lalu menghilang di balik tembok.
***
Apa yang Dafa katakan benar. Ia mendatangi rumah Pakdenya untuk membahas secara khusus masalah khataman para santri penghafal Al-Qur'an. Namun, selama perjalanan, Dafa iseng-iseng menoleh ke rumah Prabu, ayahnya Maudi.
Ia harus menelan pil kekecewaan lantaran sang kekasih tak menunjukkan batang hidung sekelebatan pun.