Merelakan Mu Dengan Yang Lain Adalah Bentuk Cintaku
SAH!
Tiga huruf serta merta keluar dari sebagian mulut para hadirin, yang segera disambut ucapan Hamdallah dengan raut bahagia; lega.
Saking terharunya akan suasana mengharukan itu, seorang perempuan berhijab mengusap wajah sebagai tanda syukur disusul tangisan yang membelah pipinya.
Bukan! Ia bukan bahagia. Tapi juga bukan bersedih.
Ia bingung. Disebut apa perasaannya saat ini? Haruskah ia senang melihat sepasang insan mencapai sebagian ibadah agamanya atau bersedih, karena mempelai pria di sana adalah kekasih hatinya, yang ia klaim sendiri.
Dua hal itu terus memberontak dalam dadanya semenjak kabar pernikahan mereka sampai ke telinga perempuan itu.
Sebagai perempuan yang mencintai pria itu, tentu ia bersedih. Namun, perasaan itu berusaha ia tepis lantaran sang pujaan hati telah begitu patuh pada orang tuanya untuk menikahi wanita pilihan mereka. Itu artinya, pria dambaan hatinya adalah seorang anak berbakti.
"Bersyukurlah engkau, Zahira. Bersyukurlah engkau memiliki suami sebaik mas Dafa, dan bersyukurlah engkau menjadi makmum pria berbakti itu," batin Maudi, si perempuan yang teramat lama mencintai Dafa tapi takdir tidak mengizinkan keduanya menyatu.
Lalu, ia menyeka air matanya. Mencoba tersenyum. Memperhatikan sepasang pengantin baru itu, yang sekarang sudah saling tukar cincin. Dilanjut Zahira menyalami kemudian mengecup punggung tangan Dafa, dan Dafa balas mengecup kening Zahira.
Perih. Sangat perih.
Akhirnya Maudi berpamitan keluar lebih dulu. Ia pikir saat ia menjauh, hatinya akan mudah dikendalikan. Tapi tidak. Di luar ia tetap meneteskan air mata. Lantas, perempuan berhijab itu memasuki toilet masjid besar ini.
Duduk pada klosetnya. Menangis tersedu-sedu seraya menyalakan keran.
"Ya Tuhan, hamba salah. Hamba berdosa. Maafkan hamba," batinnya terus menerus menyalahkan diri.
***
Sepasang pengantin baru itu duduk di kursi pelaminan. Tiga fotografer sekaligus mengambil gambar mereka dalam beberapa pose. Juga para anggota keluarga, yang silih berganti mengambil foto bersama mereka. Termasuk orang tua masing-masing.
Setelah sesi foto bersama keluarga selesai. Giliran sesi foto-foto bebas. Mulai dari para tamu orang tua mereka sampai para kerabat.
Di antara para tamu yang hadir. Dafa tidak menemukan satu wajah yang sudah lama tersimpan dalam ingatannya. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru tapi wajah tamu itu tak kunjung menuntaskan sedikit keegoisan dalam hatinya.
"Mas, cari siapa?" Tanya Zahira berbisik, tanpa menatap sang suami, karena ia sibuk menerima salam para tamu.
Dafa spontan menjawab, "Maudi."
Jauh sebelum Dafa setuju menikah dengan Zahira. Zahira telah tau lebih dulu jikalau sang calon suami memiliki kedekatan dengan perempuan dari kelas biasa.
Ya!
Perempuan itu adalah Ning Ayu Maudia Pramesti. Anak kedua dari lurah, tempat tinggal Dafa.
Dahulu, Zahira memaklumi. Berbeda sekarang. Sebagai istri, pastinya Zahira cemburu sang suami mencari wanita lain sedangkan di sisinya sudah ada wanita sah, yang bisa leluasa ia tatap.
Perasaan cemburu mulai menyelimuti hati Zahira, tetapi ia berusaha tenang dan tetap mengulas senyum ke semua orang.
Selang beberapa menit.
Perempuan yang Dafa cari akhirnya muncul. Perempuan itu tersenyum hangat ke arah mereka. Kemudian duduk di kursi tamu. Menyaksikan bagaimana jalannya resepsi menyesakkan ini.
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Maudi beringsut bangun dari duduknya. Berjalan membukakan pintu. Melihat siapa gerangan, yang sudi datang ke kamarnya di tengah malam.
Begitu pintu dibuka. Maudi berjengit, meremas kuat handle pintu itu sendiri.
Matanya dibuat terbuka lebih lebar meski sebenarnya tak akan membuat lebar, karena mata asli perempuan itu memang sipit.
"Zahira??"
Betapa kagetnya Maudi ketika mendapati tamu, yang sudi datang adalah pengantin wanita yang seharusnya ada di kamar pengantin bersama mempelai pria.
Saking kagetnya Maudi, ia sampai bingung harus berkata atau bertanya apa? Tapi untunglah Zahira, yang mengawali perbincangan.
"Bolehkah aku masuk," izin Zahira.
Maudi tersadar. Cepat-cepat ia mengangguk lalu membiarkan Zahira masuk leluasa, toh kamar ini bagian dari rumahnya sendiri.
Zahira duduk di tepi tempat tidur. Ia tersenyum. Tetaplah cantik walau riasan sudah sepenuhnya menghilang dari wajah perempuan itu.
Maudi berdiri di tempat. Bola matanya bergerak tak beraturan, jelas ia bingung sekaligus canggung.
"Kemarilah, duduk disampingku," minta Zahira.
Maudi mengiyakan. Ia pun berjalan cepat menghempaskan bokongnya di sisi Zahira.
Zahira memutar badan menghadap Maudi. Maudi ikut memutar menghadap Zahira juga. Lalu, keduanya saling memberi senyum.
"Aku mengenalmu dari mas Dafa," kata Zahira sekali lagi mengawali.
Maudi mengangguk. Ia paham betul. Sudahlah pasti Dafa akan memperkenalkan dirinya pada Zahira, mengingat hubungan ia dan Dafa sangat dekat meski bukan sepasang kekasih.
"Mas Dafa menceritakan semuanya padaku," lanjut Zahira.
Sejauh ini Maudi hanya angguk-angguk mengerti sambil tetap memandang manik hitam legam milik Zahira.
Sejenak Zahira terdiam. Ia tertunduk memperhatikan pahanya dan paha Maudi, yang nyaris bersenggolan.
Tak lama, pandangan Zahira terangkat. Ia memegang lembut tangan Maudi. Ia tatap balik netra coklat pekat milik Maudi, yang kata Dafa memiliki aura magic.
Cemburu.
Cemburu sekali jika Zahira mengingat kata-kata Dafa. Itu artinya, Dafa telah berani mengangkat pandangan untuk melihat wajah perempuan lain yang bukan muhrimnya. Terlebih di acara resepsi mereka tadi, Dafa malah sempat-sempatnya mencari perempuan itu.
"Maaf, apa ada yang ingin kau katakan?" Akhirnya Maudi buka mulut. Lagian ia bingung dengan kedatangan Zahira secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya mereka tidak saling kenal. Atau bahkan bertemu pun tidak.
Zahira membuang nafas pelan. Ia mengusap-usap punggung tangan Maudi.
"Aku paham. Kau masih mencintai suamiku."
Maudi terbelalak. Tenggorokannya nyaris tercekik. Ia tak bisa mengelak. Ia akui perasaan itu masih ada, dan mungkin akan tetap ada.
"Tapi sekarang mas Dafa sudah menjadi milikku, pun dengan izin Allah SWT. Oleh sebabnya aku meminta padamu. Besok pulanglah segera tanpa menunggu rombongan kami. Itu aku lakukan semata-mata agar kau tidak tersakiti juga agar suamiku tidak terus mencarimu," minta Zahira.
Maudi memahami isi hati Zahira. Ia memaklumi.
"Aku mohon. Mulai sekarang dan seterusnya. Kau tidak perlu datang di antara kami. Mungkin ini egois tapi sebagai istri, aku tidak rela suamiku mencintai perempuan lain. Tentu kau mengerti keegoisan ku," tambah Zahira dengan tutur kata lembut tanpa ada unsur menyakiti.
Maudi tersenyum. Ia balas mengusap punggung tangan Zahira. "Aku tau. Aku sangat tau. Jangan khawatir. Aku akan pulang besok, pagi-pagi sekali. Izinkan malam ini aku lelap, setelah seharian lelah."
"Iya." Zahira tersenyum. "Aku pun meminta besok."
"Terima kasih."
"Terima kasih juga kau sudah mengerti perasaanku."
"Iya."
Zahira akhirnya melepas punggung tangan Maudi. Ia beranjak bangun. Meninggalkan senyum untuk Maudi, untuk malam ini saja. Malam ini.
Ceklek.
Pintu tertutup rapat. Maudi melirik koper kecilnya. Telah siap ia bawa besok. Sekarang ia merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar sambil berulang kali beristighfar.
Bersambung …