"Alam," panggil Dafa setelah satu menit berlalu.
Alamsyah menyahut, "Nggih, Gus."
"Kira-kira, kenapa Maudi tidak menanggapi pesanku lagi, yah?"
Alamsyah menyeringai merespon pertanyaan Dafa. Berhubung ia sahabat terdekatnya, tentu ia akan mengarahkan Dafa ke jalan yang lurus.
"Gus." Alamsyah memanggil seraya menepuk pundak kanan Dafa. "Kau ini sudah menikah, yang artinya kau ini sudah jadi suami orang sekaligus punya istri."
Dafa mengerti kata-kata yang akan Alamsyah katakan selanjutnya, tetapi ia diam ingin mendengarkan.
"Istrimu cantik dan solehah. Lantas, apalagi yang kau cari dari perempuan lain?"
Dafa terdiam. Tanpa sadar tangannya menggenggam erat ponsel yang tadi ia perhatikan. Otak Dafa berusaha menerima apa yang Alamsyah katakan. Namun, hati tidak bisa dibohongi.
"Istighfar, Gus, istighfar," katanya melanjutkan.
Kemudian mulut kecil Dafa melantunkan kalimat istighfar tersebut selama beberapa kali. Setelahnya ia menyimpan ponsel dalam saku, dan berbalik pergi tanpa sepatah kata.
Alamsyah mematung di tempat. Hanya bola mata pria itu yang fokus memandang punggung Dafa yang kian menjauh.
***
Dafa berjalan di depan kamar-kamar pesantren. Melalui jendela kamar-kamar itu, Dafa melihat banyak santri melakukan aktifitas. Mulai dari belajar, bertukar cerita, makan sampai ada yang sudah tertidur meski sebentar lagi adzan isya.
Dafa menggeleng disertai helaan nafas. Ia pun sengaja mendatangi kamar yang berisi santri tertidur itu.
"Mas, tolong temannya dibangunkan. Sebentar lagi adzan isya," perintah Dafa.
Para santri yang dari tadi tidak menyadari kedatangan Dafa, pun langsung panik. Cepat-cepat mereka berdiri memberikan salam.
"Assalamualaikum, Gus," salam mereka serempak.
"Waalaikumsalam," balas Dafa.
"Maaf, Gus, kami tidak begitu perhatian sampai tidak menyadari kedatangan Gus Dafa," ucap salah satu perwakilan.
Dafa tidak mempermasalahkan itu. Ia mengibaskan tangan, isyarat tak perlu khawatir.
"Bangunkan saja temanmu yang tidur itu. Tidak baik tidur sebelum sholat isya," tutur Dafa, bernada tegas walaupun suaranya bukan tipikal suara berat.
"Nggih, Gus."
Dafa berlalu ke kamar selanjutnya. Ia mendengar, santri yang tertidur segera dibangunkan dengan menakut-nakuti akan adanya Dafa.
Di pertengahan jalan, santri berkopiah putih menyalaminya. "Assalamualaikum, Gus."
"Waalaikumsalam." Sekali lagi Dafa membalas. "Oh, Hendri." Dafa mengenal santri tersebut. "Sudah balik ke pondok rupanya. Bagaimana keadaan ayahmu? Mendingan atau masih sama seperti semula?"
"Alhamdulillah, Gus. Ayah boleh dibawa pulang. Oleh karenanya, saya kembali ke pondok, Gus," jawab santri bernama Hendri, yang dua pekan lalu pamit pulang, karena ayahnya masuk rumah sakit.
Dafa mengikuti. "Alhamdulillah, syukur kalau begitu. Kau bisa lanjut belajar. Jangan kecewakan orang tua yang sudah membesarkan serta mengantarmu ke sini."
"Nggih, Gus. Siap."
Dafa menepuk-nepuk pundak santri tersebut. Lalu, ia pamit duluan.
Selama berjalan, Dafa malah teringat kata-kata yang barusan diucapkan pada santrinya. "Jangan kecewakan …"
Pikiran Dafa mengarah ke Maudi kembali. Lantas, ia memilih berhenti, menundukkan pemandangan seraya beristighfar.
"Benar, bagaimana perasaan Umi dan Abi kalau tahu aku masih mencintai perempuan lain sementara aku sudah beristri?"
Dafa bertanya pada diri sendiri, yang tidak akan pernah ia temukan balasan penenangnya.
***
Jam berganti jam. Jarum panjang yang tadinya berhenti di angka delapan, tidak terasa sudah sampai di angka sembilan.
Tak ingin menelan pil kekecewaan untuk kesekian kalinya. Lantas, Zahira memilih Al-Qur'an sebagai pelipur hati.
Ayat demi ayat dilantunkan dengan suara lembut nan merdu laksana pelantun shalawat.
Dafa yang sengaja menyerahkan penggemblengan penghafal Al-Qur'an pada santri senior pun akhirnya dapat mendengar suara merdu sang istri.
Di depan pintu, ia tidak langsung masuk. Ia berdiri lama hanya untuk mendengar lantunan lafadz Allah yang begitu merdunya hingga terasa tenang hati Dafa.
Sampai pada ayat terakhir, Dafa tak juga beranjak mendorong pintu. Dafa ingin tahu lebih lanjut apa yang hendak dilakukan istrinya setelah mengaji.
Kurang lebih lima menit kemudian. Dafa tidak mendengar suara aktifitas apapun. Dafa lantas membuang nafas perlahan seiring dengan terangkatnya tangan Dafa untuk meraih handle.
Ceklek
Dafa melangkah masuk. Zahira sudah memiringkan tubuh di bawah selimut, pun tanpa hijab.
Sejenak Dafa memandang wajah Zahira. Tak dipungkiri, Zahira memang cantik selayaknya wanita-wanita solehah. Akan tetapi, hati Dafa masih belum terbuka untuk wanita itu. Hal ini entah karena cintanya pada Maudi yang terlalu dalam, atau ia yang enggan membuka hati teruntuk kaum hawa yang lain.
Tanpa Dafa sadari, sebenarnya Zahira berpura-pura tertidur. Sedikit sekali, Zahira membuka kelopak matanya. Diam-diam ia mengintip apa yang Dafa lakukan. Dan jantungnya serta merta dibuat berdegup kencang begitu menyadari Dafa tengah memperhatikan dirinya lekat-lekat.
Di bawah selimut, spontan tangan Zahira mencengkram sprei, karena saking gugupnya wanita itu.
***
Malam kemarin berjalan seperti malam sebelumnya. Tidak ada kemajuan apapun meski itu satu jengkal.
Hari-hari sepasang suami istri itu juga tidak ada yang spesial. Mungkin bedanya, setiap pagi akan ada orang yang membuatkan Dafa sarapan sekaligus secangkir teh atau kopi.
"Mas, boleh aku mengajar di madrasah Tsanawiyah untuk bahasa Arab?" Izin Zahira kala Dafa tengah menikmati teh buatan Zahira.
Dafa mengangguk. "Nanti aku bicarakan dengan kepala sekolahnya."
Senyum Zahira mengembang. Entah kenapa Dafa malah teringat sosok Maudi. Ingatan itu membuat ia membisu. Membisu dalam bayang-bayang wajah serta tawa lepas Maudi semasa sekolah dulu.
"Mas, kelas di madrasah Tsanawiyah ada berapa?" Tanya Zahira sambil melipat pakaian.
Dafa bergeming. Raga Dafa di sini, tetapi hati dan otaknya menyelam jauh ke masa silam.
"Mas." Tidak mendapat respon dari Dafa, Zahira mengangkat wajah lalu memperhatikan air muka Dafa baik-baik.
"Mas?" Zahira melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Tapi Dafa tak juga berkedip.
"Mas!" Akhirnya Zahira meninggikan nada suaranya hingga Dafa mengerjap kaget.
"Ah, iya ada apa?"
Zahira geleng-geleng. "Mas sedang memikirkan apa sampai-sampai melamun begitu?"
Spontan Dafa menjawab, "Aku teringat Maudi."
Deggg
Bak dihantam palu raksasa d**a Zahira. Sesak hebat menyerang tiada ampun. Dalam sekejap menguasai semua jiwa sehatnya, dan meninggalkannya ke lara tiada ujung.
"Mas …" Lirih sekali Zahira menyebut atas luapan kecemburuan sekaligus kesedihan yang berpadu satu.
"Bagaimana bisa mas memikirkan wanita lain, pun secara terang-terangan denganku," lanjut Zahira sudah dengan suara parau.
Dafa baru sadar. Segera mulutnya beristighfar, serta berucap maaf.
"Maaf, Zahira, maafkan aku."
Zahira tidak habis pikir. Wanita itu tertunduk menahan sakitnya menjadi istri yang tidak dicintai. Niatnya tidak ingin menangis di hadapan Dafa, tetapi rasa sakitnya tidak bisa terbendung hingga satu persatu buliran hangat menetes membasahi pakaian yang tengah ia lipat.
Dafa menanggalkan peci, serta mengguyar rambutnya ke belakang. Demi apapun, ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan barusan.
"Tolong maafkan aku, Zahira, maaf," ulang Dafa, lirih nyaris tidak terdengar.
Zahira menggigit bibirnya kuat-kuat guna menahan suara tangisan yang berusaha memberontak. Alhasil pundak wanita itu naik turun selama beberapa saat, dan kian bertambah seiring dengan sesak yang sangat menyiksa.
"Zahira, maaf," batin Dafa, "maaf, karena sampai detik ini, aku masih juga mencintai gadis yang berhasil menarik perhatianku untuk kali pertamanya itu."