Sambutan hangat diiringi dengan hujaman kecup kasih dari nenek menyambutku saat telah pulang dari Jakarta. Saat itu usiaku sekitar 8 tahun, memiliki dua adik, satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Masa yang sulit untukku terutama untuk mamaku. Kami terpaksa kembali ke kampung halaman karena mama sangat kerepotan mengurusku juga adik-adikku yang masihkecil sendirian.
Sejak hari itu, aku terpaksa tinggal bersama dengan nenek di kampung. Menyenangkan sebenarnya, aku bisa tinggal di tanah kelahiranku dan juga bisa bermain bersama anak-anak desa lainnya, apalagi desa kami masih sangat asri, udara sejuk, pemandangan tiga gunung yang terlihat di sisi timur dan utara. Kalian pasti akan dimanjakan dengan pemandangan indah di setiap pagi dan sore harinya.
Rumah nenek masih berdiri dengan bangunan klasik khas orang kampung, tapi menurutku rumah nenek adalah rumah yang istimewa karena memiliki pintu berukir saat memasuki ruangan tengah. Pintu itu memiliki masing-masing 2 pintu yang bisa dilipat saat dibuka,dan memiliki kaca disetiap tengahnya. Pintu antik.
Sejak aku tinggal di rumah nenek, mama kembali pergi ke Jakarta bersama adik-adik. Berat rasanya saat melihatnya menjinjing tas dan pergi meninggalkanku, tapi mau bagaimana lagi, sebenarnya keinginanku juga sih pengen sama mbah di desa aku tidak keberatan. Selama beberapa hari aku masih sering menangis di malam hari, kadang aku menengok ke seluruh arah yang biasanya ada mama tidur di sampingku "Aku kangen mama" gumamku terisak.
Malam itu tenggorokanku terasa kering, mungkin karena terlalu lama menangis. aku menggoyangkan kaki mbah putri untuk membangunkannya supaya mengantarku mengambil air minum di pawon (Sebutan dapur untuk orang desa). Tapi mbah tidak bergeming, kasihan, nenek pasti lelah setelah seharian di sawah. Akhirnya, terpaksa aku berjalan sediri ke dapur.
Setelah keluar dari kamar aku di sambut oleh ruangan-ruangan yang gelap di rumah mbah, setiap malam mbah putri memang rutin mematikan lampu kecuali pawon. Tepat di seberang pintu kamarku ada pintu menuju bilik kosong bekas mbah buyutku, biasanya dibuat tidur oleh mbah sih kalau dia sendirian di rumah. Berat rasanya berjalan ke pawon, tapi tenggorokanku juga haus.
Kletik... Kletik... Kletik... Langkah kakiku terhenti mendengar suara sendok dan gelas beradu, suara itu seperti seseorang yang sedang mengaduk teh. Aku terdiam sebelum membuka pintu pawon, menajamkan telinga, mencari sumber suara mengaduk teh barusan.
"Siapa yang di pawon ya? Bukannya tadi nenek tidurkan?"
Kletik... kletik... kletik... Suara itu kembali terdengar, aku takut. Tapi juga penasaran siapa yang sedang membuat teh di pawon. Perlahan aku membuka pintu pawon, sebelum masuk kesana terlebih dulu mengintip dan melongokkan kepala untuk memastikan ada orang atau tidak. Mungkin dari kalian bisa menebak, ya, di sana tidak ada satu orangpun bahkan, permukaan meja bersih. Tidak ada ceceran teh, air, gelas, bahkan termos dan sendokpun masih tergeletak rapi di tempatnya.
Pikirku merasa aman karena tidak ada orang, takutnya ada orang jahat yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah nenek. Merasa aman aku pun langsung ambil minum di tempat, hampir dua gelas minum air putih saking hausnya, namun belum lepas gelas dari mulutku diujung mata terlihat satu sosok berjalan membungkuk masuk melewati pintu pawon menuju ruang tengah.
Memastikan tidak salah lihat aku langsung menoleh ke sosok itu, sosok yang tidak asing. Seperti buyut putri dari cara dia berjalan, tapi yang membuatku bergidik, buyut telah meninggal saat aku berumur 6 tahun. Bagaimana caraku kembali ke kamar, sedangkan aku harus melewati pintu pawon itu juga. Takut, ingin berteriak tapi takut mengganggu tetangga.
Akhirnya, setelah sosok itu menghilang, aku langsung berlari dengan mata terpejam masuk ke dalam kamar. "Ada apa?" tanya nenek terkejut karena, saat naik ke atas dipan tidak sengaja menginjak kakiknya karena panik.
"Mbah. Ada buyut." menjawab dengan nada gemetar.
Mbahku hanya merenyitkan alisnya sambil melempar pandangan bingung. Maklum, beliau memiliki masalah dalam pendengaran. Aku mendekat ke arah mbah, berbicara di telinganya agar mbah dengar apa yang membuatku pias. "Mbah, ada mbah buyut di pawon" ucapku masih gemetar.
"Apa iya?" ucap mbah agak tersentak. Aku hanya mengangguk keras menjawab pertanyaan mbah. "Ayo ikut mbah, kita lihat sama-sama ya"
Mbahku mendeng tangan, tapi aku masih terdiam ragu. Hanya saja, sisi lain diperasaanku juga memiliki rasa penasaran yang tinggi. Apa benar tadi yang aku lihat, atau hanya halusinasiku saja, mbah menunggu keputusanku, mau ikut melihat atau hanya menunggu di kamar. Tapi karena aku juga penasaran, akupun menyetujui ajakkan mbah untuk ikut melihat ke pawon.
Berjalan sambil bersembunyi di belakang mbah putri memeluk pinggulnya. Mataku sedikit terpejam sambil melihat ke arah pawon, "Kamu yakin tidak salah lihat?" tanya mbah setelah mengecek pawon tidak ada orang dan hanya ada bekas gelas sewaktu aku minum tadi.
Aku menggeleng mengisyaratkan kalau tadi tidak salah lihat dan benar-benar melihat mbah buyut berjalan lewat pintu pawon. Mbah kemudian mengusap kepalaku lembut. "Sudah ga papa, ga usah takut. Mungkin mbah buyut cuma mau menjenguk buyutnya. Sekarang ayo ikut mbah" Dari pawon mbah putri menggandengku masuk kedalam bilik mbah buyut. Aku berontak tidak mau, takut, tapi mbah meyakinkan aku melalui senyumnya supaya jangan takut.
Pasrah, aku nurut mbah saja. Masih bersembunyi di belakang mbah. Kami mulai masuk kedalam bilik yang dulu menjadi tempat tidur mbah buyut. Tubuhku mulai bergidik, merinding dan tiba-tiba menggigil. Ceklek... mbah menyalakan lampu di bilik itu, lampu kecil berwarna kuning. Mbah menarik lenganku supaya berdiri di sebelahnya, setelah itu beliau berbicara membuatku semakin merasa tidak karuan.
"Buyut, ini adalah buyut kesayanganmu. Katanya dia melihatmu tadi, Buyut ga mau kan buyut kesayanganmu ketakutan? Kalaupun mau menjenguk, tolong jangan menampakkan diri"
Mbah putri berbicara sambil melihat keseluruh ruangan bilik itu. Aku paham, mbah tidak bisa melihat buyut. Tapi ia yakin kalau buyut akan mendengar ucapannya. "Sudah, ayo balik ke kamar. Sudah malam, kamu harus cepat tidur besok kamu harus mulai masuk sekolah." Mbah kembali mematikan lampu bilik dan menutupnya kembali.
Sesampainya di kamar aku bersiap tidur, meskipun tidak bisa langsung tidur begitu saja. Masih dengan anganku yang teringat tentang kejadian barusan. Benar-benar dengan jelas aku melihat buyut yang berjalan membungkuk. Tentu saja aku sangat paham dengan buyut, sebelum aku di bawa ke Jakarta memang sangat dekat dengan buyut. Bahkan setiap aku makan saja harus di mamah dulu oleh buyut baru aku mau makan. Entah kenapa bisa begitu ,padahal jika orang lain yang melihat pasti akan merasa mual saat melihatku makan.
Tapi setelah mbah mengajakku masuk kedalam bilik tadi tiba-tiba rasa gemetar dan menggigilku hilang seketika. Bahkan rasa takut juga ikut pudar. Sugestikah? Bukan. Setelah dewasa ini aku juga paham, kalau "Mereka" memang mengerti apa yang kita ucapkan, hanya saja mau dan tidak maunya tergantung jenis mereka, ada yang nurut, ada juga yang sengaja suka menganggu.