Akhirnya, selagi punya kebaikan yang lebih, aku mentraktir sekretarisku. Tidak perlu harus ke restoran berkelas, meskipun kadang-kadang aku sering mengajaknya ke tempat seperti itu. Seperti yang kebanyakan orang tahu, Claudia adalah omnivora. Perutnya selalu welcome terhadap makanan asalkan enak.
"Pilih soto ayam apa mie ayam?" tanyaku meminta pendapat.
Claudia masih sibuk dengan ponselnya. Melirik sedikit, kita sedang berdiri tepat di depan antrian. "tapi ada ayamnya kan?"
"Iya. Cepetan, pilih yang mana?"
"Terserah."
Ubun-ubunku berdenyut. Jawaban yang sama persis seperti kak Citra setiap aku mengajaknya makan. Terserah. Kalimat yang menurut banyak pria terdengar sangat menyebalkan.
"Oke, soto ayam aja."
Aku buruan memesan. Menariknya untuk duduk, jangan sampai kita diamuk massa karena terlalu lama memesan makanan.
Kadang-kadang, Claudia memang menerima dengan senang hati kuajak ke warung sederhana seperti ini. Tidak ada AC, kipas angin manual yang suaranya berisik. Bau kecut orang yang lalu lalang. Tapi it's okey, Adam adalah pria yang tak pernah mempermasalahkan itu.
Kutatap Claudia yang sesekali tertawa, lalu cemberut, kemudian seperti berpikir. Sial, sudah berapa lama aku memperhatikannya?
Pesanan kami datang. Entah kekuatan apa, tiba-tiba saja Claudia meletakkan ponselnya di dalam tas, lalu fokus pada soto ayam, mengaduknya lalu sudah menikmati dengan gaya sumringahnya.
"Clau, laper banget ya? Mau aku tambahkan bawang goreng?"
"Enggak, Pak. Tapi kalau kerupuk di samping Pak Adam, saya mau."
"Oke."
Beberapa orang sangat sengaja menaikan level suara mereka, telingaku seakan bisa menangkap ada paduan suara tak sengaja yang tercipta. Baiklah, namanya aja warung makan. Bukan restoran.
Kami sama-sama fokus. Bahkan, Claudia tidak peduli aku yang sesekali menatapnya karena ada beberapa keringat yang membasahi pelipisnya.
"Nih, usap keringat kamu. Cantik-cantik keringetan."
"Gak apa-apa, kan saya bukan manusia, Pak. Bukan plankton."
"Apa hubungannya?"
Dia mengangkat bahu, soto ayamnya sudah tandas. Mengusap bibirnya dengan sapu tangan, menyeruput es teh yang belum diaduk. Memang sih, Claudia tidak begitu suka es teh manis.
"Apa yang kamu suka dari Eric? Tampan?" tanyaku random, lebih ke penasaran.
"Model kita?"
"Kita?"
Aku merasa, tidak pernah memakai jasanya untuk suatu produk perusahaan Atmaja. So, aku sangat tidak terima mendengar nama Eric disebut.
"Ya kupikir, nanti Pak Adam bakalan berubah pikiran buat ambil dia di produk kita. Atau paling tidak, pemotretan untuk desainer bulan ini pakai dia, lumayan kan? Akhir tahun, pakai wajah yang bikin adem."
Memang sih, Eric punya nama yang indah di ingatan banyak orang. Pamornya terkenal ramah dan imut di media, berbeda saat dia menjadi wajah utama suatu majalah yang mengangkat tema dark ataupun aesthetic.
"Nanti deh, aku pikir-pikir."
"Pak, boleh nanya gak?"
Aku mengangguk. Kulirik jam tangan, masih jam segini, aku akan balik ke kantor untuk mengambil barang-barangku. Toh, motor Claudia masih ada di sana.
"Dulu, kita sering pakai kata saya-anda. Sekarang aku-kamu, yeah, meskipun saya sendiri memang belum terbiasa kenapa tiba-tiba Pak Adam mengubah panggilan di antara kita?"
Aku menepuk jidat. Bisa-bisanya sekarang aku merasa akrab dengan Claudia. Bahkan tak sadar dengan panggilan yang baku, menjadi lebih maju.
Memang sih, aku lebih nyaman seperti itu. Tapi tetap, aku selalu bersikap profesional saat berhadapan dengan banyak orang. Seakrab apa pun aku dengan orang itu, yang namanya dunia kerja, semua orang hanyalah rekan.
"No reason. Hanya terjadi begitu saja, Clau."
Untungnya, dia tidak bertanya lebih lanjut lagi.
***
Sebelum hari H, aku sekali lagi mengecek sudah seberhasil apa tema di halaman utama villa Atmaja. Besok Eric akan melakukan event untuk menyapa penggemar, mengambil tema serba putih dan hitam agar terlihat lebih menakjubkan.
Menakjubkan dari mana? Kayak tahi cicak iya!
"Pak Adam, bunga yang dipesan sudah datang. Mau dipasangkan sekarang?"
Aku menoleh, melihat banyaknya bunga lyly warna putih. Menyuruh beberapa pegawai untuk membuat plang masuk dengan sedikit tambahan bunga lyly. Juga bagian panggung, setiap meja.
Serba putih, seperti kamar mayat. Damai sih, tapi kurasa hawanya tidak hidup. Entahlah, aku tidak begitu menyukai warna putih. Karena bagiku, tidak semua yang bersih itu berkilau.
"Ini, semua dari makanan apa yang akan tersaji, tema lagu yang akan diputar, juga MC sudah 100% siap. Ada tambahan lagi?"
"Enggak ada. Aku percaya sama kamu."
"Baik, Pak Adam."
Claudia berlalu, tapi detik berikutnya dia kaget saat aku menarik tangannya. Menoleh, mengkerutkan kening seolah bertanya ada apa.
Aku merapatkan tubuhku, sedikit membungkuk. Menyentuh sesuatu yang sepertinya menganggu kecantikannya.
"Ini apa?" tanyaku sembari menyentuh rambutnya. Cat tembok? Ngapain ada cat menempel di rambut Claudia.
Dia malah nyengir kuda. Melihat sendiri pada rambutnya. "ya ampun, tadi di belakang saya sibuk memang sampai gak tahu kalau halaman belakang kan lagi perbaikan. Soalnya, pak Viktor tadi nelfon, tapi susah sinyal. Jadi, saya muter-muter nyari tempat yang ada sinyalnya."
Kaget. Padahal, ada tulisan warning untuk tidak terlalu mendekati area halaman belakang karena memang masih banyak pembangunan yang belum benar-benar sempurna.
Apa Claudia tidak membaca tanda peringatan sebelum memasuki area tersebut?
"Kamu gila?"
"Saya?"
"Iya, kamu! Clau, bisa nggak sekali aja jangan libatin diri masuk ke situasi yang membahayakan kamu. Halaman belakang masih sangat rawan, hanya material, tukang dan mandor saja yang ke sana."
"Tapi.. tadi saya..cuma.."
"Iya, sekarang kamu memang nggak kenapa-kenapa, tetapi coba deh bayangin kalau seandainya tadi kamu kejatuhan benda ataupun sesuatu dan gak ada yang nolongin kamu gimana? Bukankah ada tanda peringatan untuk tidak masuk wilayah itu karena masih banyak perbaikan? Mata kamu fokusnya ke mana sih? Eric?"
Dia melipat bibir, takut. Bahkan kulihat jemarinya meremàs ujung dress. Memang tidak sampai menangis, tapi detik berikutnya dia tiba-tiba berbalik badan dan berlari.
Aku pun tidak sadar kalau suaraku memang sedikit agak meninggi dan membuat beberapa orang menaruh perhatian kepada kami.
Sial! Pasti Claudia sangat malu, dia pasti mengira aku tengah memarahinya karena tugasnya tidak dijalankan dengan baik, mungkin itu yang ada dipikiran orang-orang sekarang.
Bodohnya, kamu Adam! So, apa yang akan kamu lakukan sekarang?
"Dam, lu membuat anak orang nangis. Samperin." titah Cleo.
Ya, Cleo memang pria yang sangat aku percaya untuk mengelola Villa ini saat aku tidak ada.
Aku mengikuti sarannya untuk mencari Claudia dan meminta maaf karena sudah memarahinya. Dan dugaan Cleo benar, sekretarisku menangis di pojokan. Menunduk, menutup wajahnya dengan dua tangan di atas lutut.
Baru pertama kali aku melihat dia seperti itu. Apakah sebegitu menyakitkan perkataanku sehingga Claudia benar-benar menangis kali ini?
"Mau coklat? Ini rasa matcha, kamu nggak terlalu suka yang manisnya kebangetan kan, misalnya kayak aku?" kebetulan aku membeli Silverqueen tadi, kata mbak-mbak minimarket lagi diskon.
Suara napas Claudia yang terputus-putus membuatku bisa menebak kalau dia benar-benar sakit hati.
"Clau, are you okey? Soal tadi, maaf. Udah ya, aku emang tadi keterlaluan. Tapi, aku cuma takut kamu ketimpa sesuatu. Tempat itu selalu sepi saat malam hari, so, bisakah kamu memaafkanku?"
Aku ikut duduk seperti apa yang dilakukannya. Tidak peduli ada beberapa orang yang melirik ke arah kami, tetapi mereka langsung pergi begitu saja karena tidak mau mencampuri urusan bosnya.
"Clau, coklatnya aku makan ya? Soalnya, bungkusnya udah terlanjur kubuka. Kamu kan gak mau. Soalnya, kalau gak segera aku makan, bakalan lengket."
Hampir saja menelannya, tapi sudah kedahuluan oleh tangan Claudia yang menyerobot coklat dari tanganku dengan sedikit air mata yang masih mengambang di pelupuk matanya dan tatapan tajamnya, lalu dia berkata.
"Pak Adam kan cowok gentle, gak cocok makan coklat!"