bc

MENDARAT DI PELUKAN DOKTER CEO TAMPAN

book_age18+
36
IKUTI
1K
BACA
family
HE
fated
friends to lovers
heir/heiress
sweet
like
intro-logo
Uraian

Permata Saraswati, gadis desa yang sederhana, harus mengubur mimpinya saat fitnah keji Juragan Teguh, pria berkuasa yang terobsesi padanya, menghancurkan nama baik dan mengisolasi keluarganya. Di tengah keputusasaan, uluran tangan sahabat, Yoga, membawanya ke Jakarta, meninggalkan trauma dan janji manis akan kehidupan baru.

​Di ibu kota, takdir mempertemukannya dengan Dr. Riski Pratama, dokter radiologi yang memancarkan pesona dewasa. Dalam hubungan yang intens dan rahasia, Permata menyerahkan hatinya, membangun fondasi cinta yang terlarang namun penuh gairah. Namun, kebahagiaan itu rapuh.

​Persahabatannya yang manis dengan Mama Amelia, yang ternyata adalah ibu kandung Riski, mengungkap kejutan besar. Dan tepat ketika restu telah didapat, kecelakaan tragis merenggut Riski dari sisinya, meninggalkan Permata dalam jurang kegilaan.Pergulatan berdarah saat mempertahankan rumah sakit Sejahtera, Riski akhirnya berhasil merebut dengan baik.

​Kembalinya Riski mengukuhkan cinta mereka dalam sebuah pernikahan. Namun, badai sesungguhnya baru dimulai.

pergulatan Dr. Riski dalam mengungkap pengkhianatan di rumah sakit milik ayahnya membuat Dr Riski, Permata dan kedua orang tua Riski menjadi menderita dan hancur. Juragan Teguh muncul kembali, menggunakan koneksi di Jakarta untuk menyebar fitnah baru dan lama, mengancam reputasi Riski, dan membahayakan adik Permata di desa.

​Mampukah Permata dan Riski melawan tirani dendam yang terus mengejar, ataukah cinta terlarang mereka akan terkubur selamanya di bawah badai fitnah dan intrik keluarga?

​Inilah kisah tentang kehormatan yang dicuri, cinta yang diuji, dan kebangkitan seorang Permata yang menolak menyerah.

chap-preview
Pratinjau gratis
KESEHARIANNYA
Meskipun ia menduga hubungan mereka akan berakhir di pelaminan, mendengar kata-kata itu secara langsung tetap membuatnya terharu. "Tapi... keluargamu pasti tidak akan setuju," bisik Permata, rasa mindernya muncul lagi. "Mereka memang tidak akan setuju, sayang. Tapi aku akan memperjuangkannya. Kamu adalah pilihan hatiku. Aku tidak peduli dengan latar belakang, aku hanya peduli dengan masa depan kita," tegas Riski, tatapannya membara. "Benerkah Mas? Aku hanya gadis kampung yang mencoba mengadu nasib ke kota. Aku hanya orang miskin Mas.." Permata menatap Riski dengan tatapan sendu. Air mata menggenang di kelopak matanya. *** Aroma rempah dan tanah basah adalah parfum pagi bagi Permata Saraswati.. Jam menunjukkan pukul empat subuh, namun di dusun Pucung, waktu sudah bergerak lebih cepat bagi para pencari rezeki. Permata Saraswati, gadis berusia sembilan belas tahun dengan rambut hitam lurus yang selalu dikepang satu, sudah sigap berdiri di samping tungku kayu bakar yang baru saja dinyalakan ibunya, Bu Lastri. "Lagi-lagi kamu yang bangun duluan, Permata," tegur Bu Lastri, suaranya serak khas bangun tidur, sambil mengucek mata. Permata tersenyum tipis, sorot matanya yang teduh memancarkan ketenangan. "Mau bagaimana, Bu? Kalau tidak begini, keburu lapak kita diserobot Ibu-ibu lain di pasar. Lagipula, Sandika tidurnya pulas sekali malam ini, jadi tidak ada yang rewel." "Anak itu memang. Kalau sudah tidur, gempa pun takkan membangunkannya," balas Bu Lastri sambil tertawa kecil, memandang sekilas ke kamar petak di sudut rumah gubuk mereka. Rutinitas mereka dimulai dengan memasak. Warung kecil mereka di pasar desa bukan hanya menjual sayuran atau bumbu, melainkan juga nasi uduk sederhana dan gorengan. Semua dimasak mandiri, menghemat modal hingga tetes terakhir. Permata bergerak lincah. Tangan kurusnya sigap mengaduk nasi, memotong tempe, dan meracik bumbu. Ia tidak pernah mengeluh. Kemiskinan sudah membelenggu hidup mereka sejak lama, sejak bapaknya meninggal dunia akibat sakit paru-paru lima tahun lalu, namun Permata memilih untuk menggenggam ketulusan dan kerja keras sebagai modal utama. "Garamnya sudah pas, Bu?" tanya Permata, menyendokkan sedikit kuah sambal ke tangannya untuk dicicipi. "Coba Ibu rasa," Bu Lastri mendekat. "Hmm, sedikit lagi, Permata. Biar pembeli kita teriak kepedasan dan datang lagi besok!" Keduanya tertawa. Tawa yang jarang terdengar, namun selalu hangat dan renyah, melunturkan sejenak beban hidup yang mereka pikul. Pukul lima lewat, semua masakan siap dibungkus. Saat itulah Sandika, adik kecil Permata yang baru berusia delapan tahun, terbangun. Sandika keluar dari kamar dengan wajah bantal dan mata setengah terpejam. "Kak Permata... mau ikut," rengek Sandika, memeluk lutut Permata. "Tidak, Dek. Kamu harus sekolah hari ini," jawab Permata lembut, mengusap puncak kepala Sandika. "Tapi kan hari ini giliran aku yang bantu jaga warung. Kakak bilang kalau aku libur, aku boleh ikut." "Iya, tapi hari ini hari Senin, Dek. Tidak ada libur," Bu Lastri menimpali, sambil menggendong bakul besar berisi nasi uduk. "Nanti sore saja kamu bantu Ibu dan Kakak menimbang kangkung." Sandika cemberut, namun akhirnya mengangguk pasrah. Ia tahu, sekolah adalah harga mati. Kakaknya sering mengatakan bahwa ia, Sandika, tidak boleh bernasib sama dengannya yang harus mengubur impian kuliah demi membantu keluarga. "Nah, anak pintar. Sekarang mandi, siap-siap sekolah sana. Nanti Kakak belikan jajan pasar paling enak sepulang dari sana, ya," bujuk Permata, mencium pipi Sandika sebelum bergegas membantu ibunya mengangkat bakul. Di Bawah Terik Matahari Pasar Perjalanan ke pasar desa hanya memakan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki. Pasar sudah ramai sejak sebelum ayam berkokok. Mereka menata warung mereka, yang hanya berupa meja kayu lapuk beratap terpal usang, di pojokan yang tidak terlalu strategis. Namun, rasa nasi uduk Bu Lastri sudah terkenal seantero pasar. Permata cekatan melayani pembeli. Ia sudah hapal dengan siapa yang suka nasi uduk tanpa sambal, siapa yang memesan gorengan ekstra renyah, dan siapa yang akan menawar harga sampai ke akar-akarnya. "Permata, Nak. Sambalmu ini selalu bikin ketagihan," puji Pak Karta, seorang tukang becak langganan mereka, sambil menyeruput kopi hitam yang juga mereka jual. "Terima kasih, Pak. Ini resep rahasia dari nenek saya, katanya harus pakai cinta agar rasanya enak," balas Permata riang, menyerahkan kembalian uang. "Halah, kamu ini. Kalau benar pakai cinta, mestinya sudah banyak pemuda yang antre di warung ini," goda Pak Karta. Pipi Permata merona tipis. "Pak Karta ini ada-ada saja." Bu Lastri, yang sedang sibuk menimbang bumbu dapur, menoleh dan tersenyum melihat interaksi putrinya. Ia tahu, putrinya adalah gadis yang cantik, tidak hanya rupa, tapi juga hati. Namun, ia khawatir. Permata sudah lulus SMA dua tahun lalu dengan nilai yang sangat memuaskan. Impiannya sederhana yaitu menjadi seorang guru TK. Ia ingin mengajar anak-anak, mengabdikan hidupnya untuk mendidik generasi penerus. Tapi, biaya kuliah adalah jurang pemisah yang terlalu curam. "Permata, nanti jangan lupa hitung lagi modal kita hari ini. Jangan sampai ada yang keliru," ujar Bu Lastri, suaranya kini kembali serius. "Siap, Bu. Sudah saya catat semua di buku kecil," jawab Permata, menunjukkan sebuah buku catatan kecil yang sudah lusuh. Hingga tengah hari, warung mereka ramai. Permata berdiri terus-menerus, kakinya pegal, punggungnya berkeringat. Panas terik pasar tidak bersahabat, namun ia harus tetap tersenyum. Saat sedang menghitung tumpukan cabai, Bu Lastri tiba-tiba menghela napas panjang. "Kenapa, Bu?" tanya Permata khawatir. "Harga cabai naik lagi, Permata. Begitu juga harga minyak. Kalau kita terus jual dengan harga seperti ini, kita tidak dapat untung. Tapi kalau kita naikkan, pembeli kita bisa kabur ke warung lain," keluh Bu Lastri, raut wajahnya tampak tertekan. Permata terdiam sejenak. Ia melihat ke sekeliling. Pakaiannya sudah kusam, warnanya sudah pudar karena sering dicuci. Di tangannya, ia memegang uang receh yang baru saja ia terima. "Begini saja, Bu. Kita kurangi sedikit porsinya, tapi harganya tetap. Atau, kita coba tambahkan menu baru yang modalnya lebih sedikit, misalnya keripik singkong buatan kita sendiri. Kita jual seribu rupiah per bungkus. Bagaimana?" usul Permata, mencoba mencari celah. Bu Lastri menatap putrinya, bangga sekaligus sedih. "Kamu ini pintar sekali, Nak. Seharusnya kamu ada di bangku kuliah, bukan di sini, menghitung untung rugi seribu perak." Permata menggenggam tangan ibunya erat. "Tidak apa-apa, Bu. Ilmu berhitung saya lebih terpakai di sini. Lagipula, saya tidak pernah menyesali ini. Rezeki kita ada di warung ini. Impian saya juga sederhana, Bu. Saya hanya ingin melihat Sandika lulus sekolah, dan melihat Ibu sehat terus." "Tapi impianmu jadi guru bagaimana, Permata?" Permata tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih getir. Ia menatap ke langit-langit terpal. "Impian itu kan seperti bintang, Bu. Biar saja dia jauh di sana. Sesekali kita lihat, kita doakan, siapa tahu suatu hari nanti bintang itu jatuh dan bisa saya raih." *** Saat jam menunjukkan pukul tiga sore, dagangan mereka hampir ludes. Tubuh Permata terasa remuk, namun hatinya lega. Hari ini mereka mendapat sedikit untung lebih. "Ayo, Bu. Kita bersihkan warung. Sebentar lagi Sandika pulang sekolah," ajak Permata. Saat mereka sedang merapikan warung, seorang wanita paruh baya yang berpakaian rapi, mengenakan batik dan tas tangan bermerek, menghampiri mereka. Itu adalah Bu Ratna, kepala sekolah TK Harapan Bangsa di desa sebelah. "Permata? Benar ini Permata Saraswati, lulusan SMA Bakti tahun ini?" tanya Bu Ratna ramah. Permata terkejut. Ia mengangguk kaku. "Iya, Bu Ratna. Ada apa ya, Bu?" "Saya dengar dari guru SMA-mu, kamu murid yang sangat cerdas. Saya datang kemari karena TK kami sedang membutuhkan seorang guru pembantu. Hanya bantu-bantu selama jam pelajaran dan menjaga anak-anak pulang sekolah. Gajinya tidak besar, memang, tapi lumayan untuk tambahan. Saya tahu kamu harus membantu ibumu, tapi mungkin kamu bisa atur waktu? Hanya sampai pukul sebelas pagi." Jantung Permata berdebar kencang. Guru TK. Impian kecil yang ia simpan rapat-rapat. Bu Lastri, yang mendengar tawaran itu, langsung menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana, Permata? Kamu mau?" tanya Bu Lastri, suaranya hampir tak terdengar. Permata menoleh ke ibunya, lalu memandang warung kecil mereka. Nasi uduk, gorengan, cabai, dan keringat. "Bu... bagaimana dengan warung kita?" tanya Permata bimbang. "Warung biar Ibu yang urus sendirian sampai kamu pulang. Ibu kuat. Kamu harus ambil kesempatan ini, Nak. Ini adalah 'bintang jatuh' yang kamu bilang tadi." Air mata Permata menetes. Ia membayangkan dirinya berdiri di depan anak-anak kecil, menceritakan dongeng, dan menyanyikan lagu. Wajah Sandika terbayang, wajah adiknya yang pasti akan bangga. Ia menarik napas panjang, menoleh ke arah Bu Ratna, dan mengangguk mantap. "Saya terima, Bu Ratna. Saya akan datang besok pagi," jawab Permata, suaranya bergetar menahan haru. Bu Ratna tersenyum lega. "Bagus! Sampai jumpa besok, Permata. Saya yakin kamu akan menjadi guru yang hebat." Setelah Bu Ratna pergi, Permata dan Bu Lastri saling berpelukan. Warung mereka sudah rapi. Matahari sudah condong ke barat. Kemiskinan masih membelenggu, namun hari ini, di sudut pasar yang kumuh, sebuah impian sederhana baru saja mendapatkan celah untuk bernapas. Permata tahu, ia masih akan menjadi penjaga warung, namun kini, ia juga seorang calon guru. Harapan itu, meski kecil dan sejenak, terasa seperti harta tak ternilai yang ia genggam erat di tengah hiruk pikuk senja pasar. BERSAMBUNG YA GUYS

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
308.2K
bc

Too Late for Regret

read
275.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
136.3K
bc

The Lost Pack

read
379.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook