BENIH-BENIH CINTA YANG TUMBUH

1558 Kata
Setelah kencan pertama yang diwarnai pengakuan tulus Riski bahwa ia jatuh cinta pada kejujuran dan keberanian Permata, hubungan mereka kian erat dan hangat, memberikan Permata rasa aman dan perlindungan yang sangat ia rindukan. Puncak dari kedekatan emosional ini terjadi dua bulan kemudian, ketika Riski membawa Permata ke sebuah hotel mewah. Di sana, Permata, yang awalnya ragu karena perbedaan dunia mereka, akhirnya menyerahkan diri sepenuhnya setelah Riski berjanji akan menjaganya dan menghormatinya. **** **** Sejak pertemuan di koridor rumah sakit, Dr. Riski Ananditya tidak menghilang begitu saja. Dua hari setelah insiden map biru itu, ponsel Permata bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. “Permata, ini Riski. Saya minta maaf, saya ambil kontak kamu dari Rian, staf Mas Yoga. Saya harap kamu tidak keberatan. Saya hanya ingin memastikan kamu aman dan tidak lagi tersesat di Jakarta. Salam hangat, Dr. Riski.” Jantung Permata berdebar kencang. Ia membalas dengan rasa malu bercampur senang. Dari sana, komunikasi mereka mengalir. Awalnya hanya sebatas tanya kabar, lalu berkembang menjadi percakapan ringan tentang pekerjaan dan kehidupan. Riski selalu mengiriminya pesan saat Permata pulang kerja larut malam, memastikan ia naik ojek online yang aman. Perhatian-perhatian kecil inilah yang membuat Permata merasa dilindungi di tengah kerasnya ibu kota. Suatu sore, saat Permata sedang lembur sendirian di kantor, pintu terbuka dan munculah Yoga dengan raut wajah menyelidik. "Wah, wah, sepertinya ada yang sedang berbunga-bunga ya?" goda Yoga, menyadari senyum Permata yang tak hilang sejak tadi. Permata pura-pura sibuk dengan keyboard laptopnya. "Tidak ada apa-apa, Yog. Aku hanya fokus menyelesaikan laporan." "Fokus apa? Fokus membalas pesan dari Dokter Oppa Korea itu, maksudmu?" Yoga duduk di depannya. "Permata, kamu harus hati-hati. Dia itu dokter ahli, anak orang kaya. Kamu gadis desa yang baru di sini. Beda kelas kalian terlalu jauh." "Aku tahu, Yog. Aku tidak punya harapan apa-apa. Kami hanya berteman," bela Permata, meski nadanya terdengar sedikit rapuh. "Berteman? Teman tidak akan tiba-tiba mengirimimu bunga mawar putih dan cokelat di hari biasa, Permata. Dia tertarik padamu. Dan aku hanya khawatir." Yoga menghela napas. "Dia baik, aku akui. Tapi dunia kalian terlalu berbeda." "Justru karena dia baik, aku senang mengenalnya. Dia tidak pernah memandangku rendah, Yog. Dia mendengarkan ceritaku tentang desa, tentang Sandika, tanpa menghakimi," kata Permata, menatap Yoga dengan mata memohon pengertian. Melihat ketulusan di mata Permata, Yoga akhirnya melunak. "Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi janji, kalau ada apa-apa, kamu harus cerita padaku." Kencan Pertama yang Hangat Minggu berikutnya, Riski memberanikan diri mengajak Permata kencan. Bukan makan malam mewah di restoran mahal, melainkan di sebuah kedai kopi kecil yang tenang di pinggir kota. Riski tahu, Permata tidak nyaman dengan kemewahan yang mencolok. "Terima kasih sudah mau keluar denganku, Permata," kata Riski, menyerahkan segelas es cokelat hangat. "Saya tahu kamu sibuk, jadi saya pilih tempat yang tidak terlalu ramai." "Aku senang, Mas. Ini tempatnya nyaman sekali," jawab Permata, ia terkesan dengan kepekaan Riski. "Aku minta maaf sudah 'menculik' kamu dari kantor," ujar Riski, tertawa kecil. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, Permata. Sejak kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa darimu. Ketulusanmu itu langka di Jakarta." Permata merasa pipinya memanas. "Aku... aku hanyalah gadis desa biasa, mas. Aku tidak punya apa-apa." Riski meletakkan gelasnya dan menatap Permata dengan tatapan yang intens, namun lembut. "Justru itu yang membuatmu istimewa. Kamu berjuang untuk keluargamu. Kamu datang ke kota besar sendirian, menghadapi tantangan tanpa mengeluh. Kamu jujur. Aku suka kejujuran dan keberanianmu, Permata. Itu jauh lebih berharga daripada semua uang dan kemewahan yang aku miliki." Malam itu, mereka berbicara panjang lebar. Permata menceritakan pahitnya hidup di desa, ancaman Juragan Teguh, dan betapa ia merindukan Ibu dan adiknya. Riski mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong. Ia tidak merasa jijik atau menghakimi masa lalu Permata yang dipenuhi kemiskinan dan fitnah. "Juragan Teguh adalah contoh klasik penyalahgunaan kekuasaan. Tapi kamu sudah memilih jalan yang benar, Permata. Kamu memilih martabatmu," kata Riski. "Jangan khawatir. Kamu di Jakarta sekarang. Dia tidak akan bisa menyentuhmu." Riski kemudian menceritakan hidupnya. Bukan hanya tentang kesuksesan, tapi juga tentang tekanan keluarga yang menuntutnya menikah dengan wanita dari kalangan atas. "Ibuku ingin aku menikah dengan sesama dokter, atau anak pengusaha. Tapi aku ingin menikah dengan seseorang yang bisa membuatku menjadi manusia yang lebih baik," ucap Riski, menatap mata Permata. "Dan aku merasa, kamu adalah orang itu, Permata." Pengakuan itu membuat Permata terdiam. Ia merasa melayang. "Tapi... Mas. Aku tidak sepadan denganmu. Aku hanya lulusan SMA. Aku tidak punya gelar. Keluargaku miskin," bisik Permata, rasa mindernya muncul. Riski meraih tangan Permata yang terletak di meja, menggenggamnya hangat. "Cinta tidak butuh gelar, Permata. Cinta butuh hati. Dan aku sudah jatuh hati pada hatimu." Makin Dekat, Makin Terlindungi Sejak kencan pertama itu, hubungan mereka berkembang pesat. Riski selalu menyempatkan diri bertemu Permata di sela-sela jadwalnya yang padat. Mereka sering makan siang bersama di sekitar kantor Permata, atau hanya sekadar berjalan-jalan sore di taman kota. Pada suatu sore, saat mereka berjalan di taman, Riski melihat Permata kedinginan karena lupa membawa jaket. "Sebentar, Permata," kata Riski, kemudian ia melepas jas dokternya yang ia bawa di mobil dan memakaikannya di bahu Permata. "Mas, ini jas mahal. Aku tidak enak," kata Permata. "Tidak apa-apa. Aku lebih tidak enak melihatmu kedinginan," balas Riski, tangannya membetulkan kerah jas itu. "Aku senang melihatmu nyaman dan aman, Permata." Perhatian-perhatian kecil inilah yang membuat hati Permata luluh. Ia tidak hanya merasa dicintai, tetapi juga dilindungi. Perlindungan yang ia cari sejak ayahnya meninggal, perlindungan dari Juragan Teguh, dan perlindungan dari kekejaman kota Jakarta. Riski adalah pelabuhan yang hangat di tengah badai kehidupannya. Suatu malam, saat mengantar Permata kembali ke rumah singgah, Riski berhenti di depan pintu. "Aku harus jujur, Permata," kata Riski, raut wajahnya serius. "Aku tahu ini cepat, tapi aku tidak ingin membuang waktu. Aku menyayangimu. Aku ingin kamu menjadi kekasihku. Aku akan melindungimu dan membantumu meraih semua impianmu." Permata menatap mata Riski, mata yang menawan dan jujur itu. Semua keraguan tentang perbedaan status, kemiskinannya, dan masa lalunya, seketika menghilang. Yang ada hanyalah rasa aman yang luar biasa. Ia tersenyum, senyum tulus yang sudah lama tidak ia tunjukkan. "Aku juga menyayangimu, mas. Aku mau." Riski tersenyum lebar, senyum yang menerangi malam. Ia meraih tangan Permata, menggenggamnya erat, seolah menyegel janji. Benih-benih cinta telah tumbuh subur, memberikan keindahan yang tak terduga bagi gadis desa yang polos itu di tengah tantangan metropolitan Jakarta. ** Hubungan Permata dan Riski telah berjalan selama dua bulan, menjauhkan Permata dari kegelapan masa lalunya. Riski adalah sosok yang sabar, hangat, dan selalu mendukung. Mereka menghabiskan setiap akhir pekan bersama, terkadang hanya untuk berbincang santai, menonton film, atau menjelajahi sudut kota Jakarta yang penuh kejutan. Riski tidak pernah memaksa. Ia menghargai Permata sepenuhnya, membuat gadis itu merasa aman dan dihargai. Namun, kedekatan fisik mereka kian terasa seiring kuatnya ikatan emosional. Setiap sentuhan, setiap pandangan, memancarkan hasrat yang mulai sulit dibendung. Suatu malam Minggu, setelah seharian berkeliling mall dan menonton pertunjukan musik, Riski menghentikan mobilnya bukan di depan rumah singgah, melainkan di depan sebuah hotel mewah di kawasan Sudirman. Permata menatap Riski dengan mata lebar, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ke mana arah malam ini. "Mas... kenapa kita ke sini?" tanya Permata, suaranya pelan dan sedikit gemetar. Riski mematikan mesin mobil, meraih tangan Permata, dan menggenggamnya hangat. Matanya yang sipit menatap Permata dengan penuh kasih sayang, tidak ada paksaan, hanya ketulusan. "Aku tidak akan memaksamu, Permata. Kita bisa pulang sekarang juga jika kamu mau," kata Riski lembut. "Tapi... aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu, sepenuhnya. Aku ingin kamu tahu betapa berharganya kamu bagiku. Aku ingin kita lebih dekat lagi, bukan hanya secara emosional, tapi juga secara fisik." Permata menarik napas panjang. Ia menimbang-nimbang. Ia tahu nilai dari apa yang ia miliki. Ia adalah gadis desa yang menjaga kesuciannya dengan ketat. Namun, sejak bertemu Riski, semua aturan yang ia pegang seolah melunak. Riski telah memberinya rasa aman, harapan, dan cinta yang tulus, jauh berbeda dari segala kekejaman yang ia alami. "Aku takut, mas," bisik Permata. "Takut apa, Sayang?" Riski mencium punggung tangan Permata dengan lembut. "Aku takut kamu kecewa. Aku takut kamu menyesal setelah ini. Kita... kita punya dunia yang berbeda," jawab Permata, air matanya mulai menggenang. "Dunia kita sama, sayang. Dunia yang di dalamnya hanya ada kamu dan aku," tegas Riski. "Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah membuatmu menyesal. Aku janji, aku akan menjagamu dan menghormatimu, sebelum dan sesudah ini. Janji." Mendengar janji itu, semua ketakutan Permata seolah lenyap. Ia melihat kejujuran murni di mata Riski. Ia mengangguk pelan, air matanya menetes, namun kali ini air mata bahagia. "Aku percaya padamu, mas," katanya pelan. Riski tersenyum penuh kemenangan, bukan karena nafsu, melainkan karena rasa syukur. Ia turun dari mobil, membukakan pintu untuk Permata, dan menggandengnya masuk ke dalam hotel. Malam yang Mengikat Janji Kamar hotel itu luas dan tenang. Lampu diredupkan, hanya menyisakan cahaya remang-remang yang hangat. Permata merasa gugup, namun kehadiran Riski di sampingnya memberikan ketenangan. Riski tidak terburu-buru. Ia memeluk Permata erat-erat, membelai rambut hitam gadis itu dengan lembut. "Kamu adalah anugerah terindah bagiku, sayang," bisik Riski di telinga Permata. "Kamu juga anugerah terindah bagiku, mas. Kamu yang membawaku keluar dari kegelapan," balas Permata, memejamkan mata, menikmati kehangatan pelukan itu. Mereka bercerita lagi tentang impian mereka, tentang bagaimana mereka akan membangun masa depan bersama. Malam itu, bukan hanya hasrat yang bicara, tetapi juga janji dan harapan. "Aku ingin Sandika melihatku sebagai panutannya. Aku ingin Ibumu bangga padamu," kata Riski. "Dan aku ingin Ibumu melihat bahwa wanita desa sepertiku bisa membuat anaknya bahagia," balas Permata. BERSAMBUNG YA GUYS
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN