PERTEMUAN TAK SENGAJA

1088 Kata
Saat mencari ruangan logistik, Permata tidak sengaja menabrak seorang dokter muda yang sangat menawan, Dr. Riski Ananditya, seorang ahli Radiologi, yang wajahnya disebut Permata mirip 'Oppa di drama Korea'. Pertemuan canggung yang diakhiri dengan tawa renyah Dr. Riski dan bantuannya menunjukkan jalan, sukses membuat Permata terkesima dan memicu semangat baru dalam dirinya untuk berjuang lebih keras di Jakarta. Senyum dan kehangatan Dr. Riski, yang merupakan sosok ideal dan sukses, menjadi harapan dan motivasi tersendiri bagi gadis desa yang baru merintis karirnya ini. ***** ***** Tiga minggu sudah Permata menjalani kehidupan barunya di Jakarta. Ia tinggal di rumah singgah kecil milik Yoga di kawasan Palmerah dan bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan startup Yoga. Pekerjaannya menuntut ketelitian—mengatur dokumen, mencatat keuangan sederhana, dan menjawab telepon. Awalnya ia gagap, tapi berkat bimbingan Yoga dan tekadnya yang membara, ia cepat beradaptasi. Gaji pertamanya sudah ia kirimkan sebagian besar untuk Bu Lastri, meninggalkan sisa yang pas-pasan untuk kebutuhan pribadinya. Meskipun hidupnya kini jauh dari fitnah Juragan Teguh, kesepian kota besar sesekali menyergap. Pagi itu, Yoga meminta bantuan Permata untuk mengantarkan beberapa dokumen penting ke rekanan bisnisnya yang berlokasi di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta Pusat, Rumah Sakit Medika Utama. "Tolong antarkan map ini ke bagian logistik, Permata. Penting. Sekalian kamu bisa lihat, rumah sakit di kota itu seperti apa," pesan Yoga sambil menyerahkan map berwarna biru. Permata mengangguk mantap. "Siap, Yog. Aku akan langsung ke sana." Mengenakan kemeja rapi yang ia beli dengan uang haPermata patungan bersama Bu Lastri, Permata menembus kemacetan ibu kota dengan ojek online. Saat tiba di Rumah Sakit Medika Utama, ia langsung terkesima. Bangunannya megah, interiornya mewah, dan kesibukan di dalamnya terasa sangat teratur dan profesional. Setelah bertanya kepada petugas keamanan, Permata menuju lantai empat, tempat bagian logistik berada. Ia berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit yang panjang dan sepi, mencari ruangan yang dimaksud. Saat Permata sedang fokus membaca papan petunjuk arah di dinding, ia berbelok tajam di tikungan. Tiba-tiba, ia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah. "Aduh!" pekik Permata kaget. Map biru yang ia pegang terlepas dan isinya hhberhamburan ke lantai marmer. Tubuhnya hampir oleng jika saja orang yang ditabraknya itu tidak sigap memegang lengannya. "Maaf! Saya sungguh minta maaf. Saya tidak melihat Anda!" kata Permata panik, segera membungkuk untuk membereskan dokumen yang berceceran. "Tidak apa-apa, Nona. Saya juga yang salah, terlalu terburu-buru," balas suara berat yang hangat. Permata mendongak, dan napasnya seolah tertahan. Di depannya berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan jas dokter berwarna biru muda dan scrub hijau khas ruang operasi, rambutnya hitam rapi, dan wajahnya... Ya Tuhan. Ia memiliki kulit yang bersih, mata sipit yang teduh, hidung mancung, dan garis rahang yang tegas. Wajahnya sangat menawan, seperti yang biasa ia lihat di drama-drama Korea. Ketampanan yang sempurna, jauh dari wajah lugu Juragan Teguh atau ketampanan simple Yoga. Pria itu berlutut, ikut membantu memunguti dokumen. "Biar saya bantu. Ini pasti penting sekali, ya?" "Iya, Dok. Ini dari kantor saya," jawab Permata, suaranya sedikit bergetar karena gugup. Ia bahkan lupa betapa paniknya ia tadi. Saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan saat mengambil dokumen yang sama, hawa hangat menjalar di tangan Permata. Pria itu menoleh dan tersenyum. Senyumnya begitu menawan, membuat mata sipitnya seolah menghilang, memancarkan aura kebaikan yang luar biasa. "Dokumen sudah lengkap. Nah, Anda mencari ruangan apa?" tanya pria itu ramah. "Ruangan Logistik, Dok. Saya tersesat," jawab Permata, kini sudah bisa menguasai diri, meski jantungnya masih berdetak tak karuan.h "Oh, Ruangan Logistik ada di ujung sana. Tepat sebelum ruang Radiologi. Saya harus ke Ruangan Radiologi, mari saya tunjukkan jalannya," ujar pria itu, kemudian berjalan di samping Permata. Percakapan Singkat yang Berkesan Saat berjalan berdampingan, Permata memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf, Dokter. Saya Permata. Terima kasih sudah membantu saya tadi," kata Permata, sedikit canggung. "Saya Riski. Dokter Riski Ananditya. Dokter ahli Radiologi di sini. Panggil saja Riski," balasnya, pandangannya lurus, namun sekali lagi ia tersenyum tulus. "Anda terlihat seperti... seperti Oppa di drama Korea," celetuk Permata, langsung menyesali ucapannya. Ia menutup mulutnya, malu setengah mati. "Maaf, Dok. Maksud saya, Anda sangat menawan." Dr. Riski tertawa, suara tawanya renyah dan hangat. Tawa yang jarang ia temukan di tengah keseriusan Jakarta. "Tidak apa-apa, Permata. Itu pujian yang sering saya dengar, terutama dari perawat di sini. Kamu baru pertama kali ke rumah sakit sebesar ini, ya?" "Iya, Dok. Saya baru beberapa minggu di Jakarta. Saya dari desa. Baru saja mulai bekerja," aku Permata jujur. "Dari desa? Wah, berani sekali ya, kamu datang ke Jakarta sendirian. Salut!" puji Dr. Riski. "Jakarta itu menantang. Tapi orang-orang seperti kamu, yang berani dan jujur, pasti akan sukses di sini." Ucapan Dr. Riski terasa seperti suntikan semangat yang sangat ia butuhkan. Sambil berjalan, Dr. Riski bercerita sedikit tentang pekerjaannya yang berat tapi memuaskan. Ia berbicara dengan tenang dan berwibawa, namun tetap rendah hati. Kepribadiannya yang hangat sangat kontras dengan lingkungan rumah sakit yang steril dan formal. "Nah, ini Ruangan Logistik. Semoga urusanmu lancar, Permata," kata Dr. Riski, berhenti di depan sebuah pintu besar. "Terima kasih banyak, Dok. Anda sangat baik," kata Permata tulus. "Sama-sama. Hati-hati di jalan, ya," balas Dr. Riski, lalu ia melambaikan tangan singkat dan berjalan menuju Ruangan Radiologi. Permata berdiri mematung sejenak, menatap punggung tegap Dr. Riski hingga menghilang di balik pintu. Jantungnya masih berdebar kencang. Pertemuan singkat itu, tabrakan yang canggung, dan senyum menawan Dr. Riski, berhasil membuat hari Permata, yang biasanya diisi dengan angka dan dokumen, menjadi lebih berwarna. *** Setelah urusannya di Ruangan Logistik selesai, Permata kembali ke kantor Yoga. Sepanjang perjalanan pulang, bayangan wajah Dr. Riski terus menari-nari di benaknya. Ia seorang dokter ahli, orang yang sukses, yang pasti datang dari keluarga terpandang, sangat berbeda dengan dirinya, gadis desa yang baru merintis dari nol. "Bagaimana, Permata? Lancar urusan di rumah sakit?" tanya Yoga saat Permata kembali. "Lancar, Yog. Dokumen sudah kuserahkan," jawab Permata, tersenyum lebih lebar dari biasanya. "Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Jangan-jangan kamu ketemu cowok ganteng, ya?" goda Yoga, menyadari perubahan suasana hati Permata. Pipi Permata langsung merona. "Tidak ada, Yog! Hanya... hanya perjalanannya saja yang seru." Namun, di dalam hati, Permata tahu ia tidak berbohong. Pertemuan itu sungguh seru. Di tengah perjuangan hidupnya yang berat dan tantangan kota yang keras, Permata menemukan sebuah bayangan harapan baru. Harapan yang sangat jauh dan tinggi, seperti bintang yang ia lihat dulu, tapi kali ini, bintang itu bernama Riski, dan kehadirannya seolah memberikan semangat baru untuknya berjuang di Jakarta. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bekerja lebih keras, belajar lebih banyak, agar suatu hari nanti, ia merasa pantas untuk tersenyum dan berbicara tanpa rasa canggung di hadapan pria sehangat Dr. Riski. BERSAMBUNG YA GUYS
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN