Dalam perjalanan, Yoga memberi peringatan tentang kerasnya Jakarta, menasihati Permata agar selalu waspada dan kuat demi keluarganya. Setibanya di Terminal Pulogebang, Permata yang merasa seperti sebutir debu di tengah badai kota metropolitan, berhasil tiba di kawasan perkantoran modern dan disambut oleh Rian, staf Yoga. Perjalanan Permata sebagai 'pejuang' baru di Jakarta, berbekal tekad kuat untuk memulihkan martabat dan menjemput keluarganya, pun resmi dimulai.
*****
*****
Malam terakhir di dusun Pucung terasa sangat panjang dan dingin. Permata tidak bisa tidur. Ia duduk di samping Bu Lastri dan Sandika, memandangi wajah damai mereka yang terlelap. Ini adalah malam terakhir mereka tidur di bawah atap rumah gubuk yang penuh kenangan pahit manis ini.
Pukul 03.00, ketukan pelan terdengar di pintu. , Permata segera membuka. Yoga berdiri di luar, mengenakan jaket tebal, sorot matanya serius.
"Sudah siap?" bisik Yoga.
"Sudah, Yog," jawab Permata, menggenggam erat tas ransel lusuh miliknya. Ia membangunkan Ibu dan adiknya.
Bu Lastri, meski masih sakit-sakitan, terlihat lebih kuat karena harapan baru yang dibawa Yoga. Sandika, yang biasanya rewel, kini diam mematung, seolah memahami keseriusan situasi.
Mereka membawa barang seminimal mungkin. Saat hendak melangkah keluar, Yoga menghentikan mereka. Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari jaketnya.
"Bu Lastri," panggil Yoga lembut. "Ini bukan untuk Permata. Ini untuk Ibu dan Sandika."
Bu Lastri terkejut. "Apa ini, Nak Yoga? Jangan! Kami sudah sangat berutang budi padamu."
"Dengarkan saya, Bu," desak Yoga, meletakkan amplop itu di tangan Bu Lastri. "Permata akan bekerja keras di Jakarta, dan saya yakin dia akan sukses. Tapi saya tidak ingin Ibu dan Sandika hidup dalam kesulitan lagi di sini. Ini bukan utang, Bu. Ini adalah bekal. Permata dan saya ingin Ibu bisa menyewa rumah kontrakan yang lebih baik, bisa membeli makanan yang layak, dan mengobati penyakit Ibu."
Bu Lastri membuka amplop itu, matanya terbelalak melihat jumlah uang yang cukup besar, lebih besar dari yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Uang itu menjamin kehidupan mereka selama berbulan-bulan, jauh dari ancaman kelaparan.
"Ini... ini terlalu banyak, Nak. Permata, bagaimana ini?" Bu Lastri menatap putrinya, air matanya mulai menggenang.
Permata mendekat, memeluk ibunya. "Terima, Bu. Ini hadiah dari Yoga. Ini adalah jaminan agar Ibu dan Sandika bisa hidup tenang sementara aku berjuang di Jakarta. Anggap saja ini adalah buah dari kerja keras Ibu selama ini."
"Tapi... kalau kamu pergi, Ibu dengan siapa?" Bu Lastri mulai menangis sesenggukan.
Permata menatap wajah ibunya yang keriput dan Sandika yang mulai menangis ketakutan. Inilah saat yang paling berat. Jakarta adalah kesempatan, tapi perpisahan ini adalah luka.
"Aku akan sering menelepon, Bu. Aku janji, aku akan bekerja sangat keras. Aku akan mengumpulkan uang, dan setelah setahun, aku akan kembali menjemput Ibu dan Sandika," kata Permata, suaranya tercekat.
Sandika memeluk kakaknya erat-erat. "Kak Permata, jangan pergi! Siapa yang akan membacakanku cerita sebelum tidur? Siapa yang akan membuatkanku nasi uduk paling enak?"
"Kakak akan pulang, Sayang. Kakak akan mengirimkan uang agar kamu bisa sekolah lagi dan membeli banyak buku cerita," Permata mencium puncak kepala adiknya. Ia menatap Bu Lastri dengan tatapan penuh tekad. "Jaga diri baik-baik, Bu. Kalau Juragan Teguh mengganggu, tunjukkan padanya Ibu sudah punya uang, dan tunjukkan padanya Ibu tidak gentar lagi."
Bu Lastri mengangguk, isakannya semakin keras. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sholat. Ibu dan Sandika akan selalu mendoakanmu."
Setelah pelukan terakhir yang sangat lama, Permata melepaskan diri. Ia berbalik cepat, takut jika ia berlama-lama, tekadnya akan runtuh.
Perjalanan Menuju Kota Metropolis yang Mengancam
Yoga membuka pintu mobilnya. Permata duduk di kursi penumpang, menoleh ke belakang, melihat dua sosok yang dicintainya berdiri mematung di depan rumah gubuk reyot, diterangi lampu jalan yang redup. Bayangan Juragan Teguh dan fitnah keji sudah mereka tinggalkan, tapi bayangan orang-orang yang dicintai ini akan menjadi kekuatan dan juga rasa sakitnya.
Yoga melajukan mobilnya dengan tenang. "Kamu harus kuat, Permata. Perpisahan adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan besar."
"Aku tahu, Yog. Tapi aku merasa sangat takut. Aku belum pernah ke luar desa sejauh ini," aku Permata, suaranya pelan.
"Jangan khawatir. Aku di sampingmu. Aku akan memberimu pelatihan singkat tentang Jakarta. Jakarta itu keras, Permata. Dia tidak selembut desa Pucung. Di sana, kamu tidak hanya harus menghadapi kemiskinan, tapi juga persaingan dan orang-orang yang licik."
Yoga menceritakan tantangan yang akan dihadapi Permata yaitu macet yang tak berkesudahan, biaya hidup yang mahal, dan bahaya penipuan. Ini adalah kota metropolitan, tempat impian bisa terbang tinggi, tapi juga tempat orang bisa jatuh tanpa sempat bersuara.
"Kamu harus selalu waspada. Jangan mudah percaya pada siapapun. Tapi yang terpenting, kamu harus percaya pada dirimu sendiri. Ingat kenapa kamu ke sana. Untuk Sandika. Untuk Ibumu," tegas Yoga.
"Aku akan ingat, Yog. Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu," kata Permata, sorot matanya kini sudah berubah menjadi lebih tajam.
Mereka tiba di terminal bus antar kota saat fajar mulai menyingsing. Yoga tidak ikut serta. Ia harus kembali ke kantornya di Jakarta untuk menyambut Permata.
"Ini tiketmu. Tiba di Terminal Pulogebang, kamu akan naik bus Transjakarta menuju kantor. Nanti akan ada stafku yang menjemputmu di sana. Jangan berikan barangmu pada siapapun. Langsung saja naik bus yang tertulis di tiket ini," pesan Yoga, detail dan penuh perhatian.
"Terima kasih, Yog. Benar-benar terima kasih," ujar Permata, tak tahu lagi bagaimana harus mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Yoga tersenyum. "Berjuanglah, Permata. Aku tahu kamu bisa. Buktikan pada dunia, dan terutama pada Juragan Teguh, bahwa ketulusan dan kerja kerasmu akan membawamu jauh lebih tinggi dari kekayaan busuknya!"
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Permata naik ke dalam bus. Ia memilih kursi di dekat jendela, memandangi desa Pucung yang semakin menjauh. Saat bus mulai melaju kencang, ia merasakan sakit di d**a, namun ia tahu, ia tidak boleh menoleh ke belakang.
***
Perjalanan panjang itu menguras tenaga. Rasa lelah, takut, dan cemas berbaur menjadi satu. Permata melihat pemandangan berubah drastis. Sawah dan pepohonan berganti menjadi hutan beton. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi terlihat angkuh dan mengintimidasi.
"Ini dia Jakarta," bisik Permata pada dirinya sendiri, mencoba memantapkan hati.
Ketika bus memasuki kota, hiruk pikuk suara klakson, teriakan pedagang asongan, dan kepadatan manusia langsung menyambutnya. Kontras sekali dengan ketenangan desanya. Ini adalah kota yang seru, menantang, sekaligus kejam.
Saat turun di terminal besar, Permata merasa seperti sebutir debu di tengah badai. Ia memanggul ranselnya erat-erat, berjalan hati-hati menembus kerumunan orang asing yang terburu-buru. Ia ingat pesan Yoga: waspada, jangan mudah percaya.
Setelah Permata menemukan halte Transjakarta, ia menunggu dengan cemas. Ia melihat mobil-mobil mewah bersliweran, orang-orang berpakaian rapi dengan tatapan dingin, dan ia merasa dirinya semakin kecil.
Ia naik bus kota, jantungnya berdebar kencang. Setelah beberapa pemberhentian, ia tiba di sebuah kawasan perkantoran yang modern. Seorang pria muda dengan seragam kantor menyambutnya.
"Mbak Permata Saraswati? Saya Rian, staf dari kantor Mas Yoga. Selamat datang di Jakarta. Mari, saya antar Anda ke kantor dan tempat tinggal Anda."
Rasa lega yang luar biasa membanjiri hati Permata. Ia mengangguk, mengikuti Rian. Ia menatap gedung-gedung tinggi di sekelilingnya, merasakan bau bensin dan debu kota. Ini adalah awal dari pertarungan barunya. Gadis penjaga warung yang polos kini harus menjadi pejuang tangguh di ibukota. Demi Ibu, demi Sandika, dan demi membuktikan bahwa kemiskinan dan fitnah tidak akan pernah mengalahkan martabatnya. Perjalanan menantang baru saja dimulai.
BERSAMBUNG YA GUYS