Setelah terpuruk akibat fitnah Juragan Teguh, Permata dan keluarganya memutuskan untuk melarikan diri ke Jakarta dengan menjual sisa perabotan mereka, termasuk radio tua kesayangan ayahnya, untuk membeli tiket bus. Di tengah perjalanan menjual barang, Permata bertemu kembali dengan Yoga Pratama, sahabat SMA-nya yang kini sukses besar dengan perusahaan startup di Jakarta.
***
Semenjak fitnah Juragan Teguh menyebar, rumah gubuk keluarga Permata terasa seperti penjara. Mereka dijauhi. Bu Lastri sakit-sakitan karena tekanan batin, dan Sandika terpaksa tidak bersekolah. Tekad Permata untuk pergi ke Jakarta sudah bulat, tetapi modal yang mereka miliki hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan.
Tiga hari setelah Permata kehilangan pekerjaannya, mereka memutuskan menjual beberapa perabotan yang masih layak, termasuk radio tua kesayangan Bapak, untuk membeli tiket bus.
"Apa kita yakin harus sejauh ini, Permata?" tanya Bu Lastri, menatap tumpukan pakaian lusuh yang sudah mereka masukkan ke dalam karung goni. Matanya sembap.
"Kita tidak punya pilihan lain, Bu. Desa ini sudah milik Juragan Teguh. Kita tidak akan bisa hidup di sini," jawab Permata, berusaha keras menahan air matanya agar tidak ikut tumpah. "Di kota, tidak ada yang mengenal kita. Kita bisa memulai lagi dari nol."
Sandika duduk di sudut, memeluk boneka usang pemberian ayahnya. "Kalau di Jakarta, apa kita bisa makan nasi uduk lagi, Kak?"
Permata tersenyum getir, menghampiri adiknya. "Pasti. Kakak akan buatkan yang lebih enak, kalau kita sudah punya tempat tinggal. Sekarang, kita harus kuat. Ini adalah petualangan kita."
Mereka memutuskan berangkat lusa dini hari, sebelum matahari terbit, agar tidak menarik perhatian warga desa.
Pagi itu, Permata memanggul karung goni berisi perabotan terakhir yang akan dijualnya ke desa sebelah, karena di desanya, tidak ada yang mau membeli barang mereka. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi sawah kering. Di tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna perak mengkilap berhenti di depannya, mengeluarkan debu tebal.
Seorang pria muda berpakaian sangat rapi, mengenakan kacamata hitam, turun dari kursi pengemudi. Wajahnya tampak familier, namun , Permata tak langsung mengenalinya karena penampilannya yang kini sangat berbeda.
Pria itu melepas kacamata hitamnya dan tersenyum lebar. "Permata? Aku tidak salah lihat, kan?"
Permata mengerutkan dahi. "Maaf, Anda siapa?"
"Wah, parah! Masa kamu tidak ingat aku?" Pria itu tertawa kecil. "Ini aku, Yoga! Yoga Pratama! Kita sekelas saat SMA, Permata!"
Permata terkejut setengah mati. Yoga. Sahabatnya yang paling cerdas, yang selalu membantunya mengerjakan PR Matematika. Yoga adalah anak dari keluarga biasa, namun ia mendapatkan beasiswa ke Jakarta setelah lulus. Ia ingat Yoga berjanji akan kembali setelah sukses.
"Yoga? Ya Tuhan! Kamu... Kamu benar-benar Yoga?" Permata menjatuhkan karung goni yang ia bawa, seolah tak percaya. "Kamu terlihat... sangat berbeda."
"Tentu saja berbeda! Jakarta mengubah banyak hal, Permata," kata Yoga bangga, seraya menunjuk mobilnya. "Sekarang aku sudah punya perusahaan startup kecil yang lumayan sukses. Aku sedang pulang ke desa ini untuk menengok makam Ayah."
***
Setelah rasa terkejutnya mereda, Permata merasa malu dengan kondisinya. Pakaiannya kusam, ia memanggul karung goni, dan wajahnya tampak lesu. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan dan keputusasaan yang melanda.g
"Wah, selamat ya, Yog. Aku senang mendengarnya. Kamu benar-benar sudah sukses," ujar Permata, berusaha tersenyum.
Yoga, yang matanya jeli, menyadari ada yang tidak beres. Senyum Permata tidak sampai ke matanya yang memancarkan penderitaan. Ia melihat karung goni yang tergeletak di tanah.
"Kamu mau ke mana, Permata? Dan kenapa kamu membawa ini?" tanya Yoga, menunjuk karung itu. "Kenapa kamu terlihat sangat kurus? Ada apa denganmu?"
Permata mencoba berbohong. "Oh, ini? Aku hanya mau menjual ini ke desa sebelah. Tidak ada apa-apa, Yog. Hanya sedikit kesulitan biasa saja."
Yoga menatapnya lekat-lekat. "Jangan bohong, Permata. Aku tahu kamu orang yang jujur. Aku mendengar kabar di warung tadi. Tentang Juragan Teguh. Tentang fitnah itu."
Wajah Permata seketika memucat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Yoga yang penuh rasa ingin tahu dan empati.
"Ceritakan padaku, Permata. Apa yang sebenarnya terjadi?" desak Yoga, nadanya berubah menjadi lebih serius.
Air mata Permata tak terbendung lagi. Ia menceritakan semuanya, dari penolakan kerasnya terhadap Juragan Teguh, fitnah keji yang menghancurkan reputasinya, hilangnya pekerjaan dan warung, hingga rencananya untuk melarikan diri ke Jakarta lusa. Ia menangis tersedu-sedu, melepaskan semua beban yang ia pikul sendiri.
"Kami sudah tidak punya apa-apa, Yog. Kami dijauhi, kami dicap pencuri. Kami harus pergi. Aku hanya ingin menyelamatkan Ibu dan Sandika," isak Permata, suaranya tercekat.
Yoga mendengarkan dengan raut wajah yang keras. Ia mengepalkan tangannya, amarahnya jelas terlihat.
"Juragan Teguh b******n itu! Dia memang selalu begitu! Tapi menggunakan kekuasaan untuk merusak hidup orang lain? Itu sudah keterlaluan!" geram Yoga.
Ia menatap Permata, sorot matanya kini penuh tekad. Ia ingat bagaimana Permata sering membagi bekalnya saat mereka SMA, bagaimana ketulusan gadis itu tidak pernah pudar meski hidup susah.
Tawaran Tiket Kebebasan
Yoga maju selangkah, meraih bahu Permata. "Kamu tidak perlu pergi dengan cara menyedihkan seperti ini, Permata. Kamu tidak perlu menjual barang-barangmu. Dan kamu tidak perlu menunggu lusa."
Permata menatapnya bingung. "Maksudmu?"
"Dengarkan aku baik-baik," kata Yoga, suaranya tenang namun tegas. "Aku datang ke sini dengan niat menolong orang-orang yang kesulitan, terutama mereka yang tertindas oleh Juragan Teguh. Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak akan membiarkan kalian menderita lebih jauh."
Yoga mengeluarkan dompet kulit tebal dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Permata.
"Ini untuk tiket, dan sisanya untuk pegangan sementara. Aku akan membawamu ke Jakarta. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai awal yang baru," kata Yoga.
Permata menggeleng pelan, menolak uang itu. "Tidak, Yog. Aku tidak bisa menerima uang darimu. Aku tidak mau menyusahkanmu. Kami akan pergi sendiri."
"Ini bukan menyusahkan, Permata. Ini adalah balas budi. Dulu, kamu sering membantuku. Sekarang, biarkan aku membantumu," desak Yoga. "Aku sudah sukses, dan uang ini tidak ada artinya dibandingkan melihatmu tersenyum lagi."
Yoga kemudian menyampaikan rencananya. "Aku punya koneksi di Jakarta. Perusahaanku sedang membutuhkan orang yang jujur dan teliti untuk mengurus administrasi ringan. Aku tahu kamu pandai berhitung. Kamu bisa bekerja padaku. Gajinya lumayan, cukup untuk menyewa kontrakan kecil dan membiayai Sandika sekolah lagi."
"Bekerja... padamu?" , Permata terdiam. Ini adalah tawaran yang terlalu indah untuk dipercaya.
"Ya. Dan jangan khawatir dengan tempat tinggal. Aku punya rumah singgah kecil di dekat kantor. Kalian bisa tinggal di sana sampai mendapatkan kontrakan sendiri," kata Yoga meyakinkan. "Permata, kamu tidak sendiri. Aku akan menjadi tamengmu. Besok pagi-pagi sekali, sebelum subuh, aku akan menjemputmu dan keluargamu. Kita pergi dari sini, bersama-sama."
Permata menatap wajah Yoga. Rasa haru, lega, dan syukur meluap tak terbendung. Pertolongan ini datang saat ia dan keluarganya benar-benar berada di ambang kehancuran. Ia bukan lagi seorang pelarian yang ketakutan, melainkan seorang yang akan memulai hidup baru dengan bantuan sahabat sejati.
Ia mengangguk, air mata kebahagiaan akhirnya membasahi pipinya. "Terima kasih, Yoga. Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
"Tidak perlu berkata apa-apa. Simpan tenagamu untuk Sandika dan Ibumu. Sekarang, cepat kembali dan siapkan dirimu. Ingat, besok sebelum subuh. Kita tinggalkan semua penderitaan ini di belakang," ucap Yoga, tersenyum penuh persahabatan.
Permata kembali memanggul karung goni itu, namun kini beban di pundaknya terasa seringan kapas. Ia bergegas pulang, membawa kabar gembira dan tiket kebebasan yang tak terduga dari masa lalu. Harapan baru telah menanti di balik cakrawala ibu kota.
BERSAMBUNG YA GUYS