CHAPTER 5. Dream Catcher

1981 Kata
*** Cakrawala senja membentang indah di langit sana. Namira menatap itu dibalik kamar tidurnya. Dirinya ingin sekali berada di sana namun tak mungkin sebab Zafi dan Kanara sedang duduk berdua menikmati indahnya sunset. Sementara itu Namira harus menepati janjinya pada Zafi bahwa dirinya tidak diperkenankan menampakan batang hidung di depan lelaki itu dan Kanara. Kecuali Kanara sendiri yang memintanya. Menghembuskan napas dengan berat, Namira memilih mencari kesibukan di dalam kamar. Ia membuka lemari yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Matanya terpana ketika tak sengaja menemukan sesuatu yang indah. "Penangkap mimpi," gumamnya sambil menelusuri hasil rajutan yang membentuk dream catcher. Namira memuji siapapun yang telah membuat dream catcher itu. Sangat indah. Mungkin pemiliknya adalah Kanara sebab kamar ini dulunya adalah milik perempuan itu sebelum dia pindah ke kamar lain yang berdekatan dengan dokter Kila. Namira tidak tahu alasannya ketika kamar ini memiliki view yang indah. Namira membawa benda itu mendekati jendela yang langsung menembus senja. Mengangkatnya ke atas hingga jaring yang yang memilik jarak itu membentuk cahaya keorenan yang indah. Dream catcher dipercaya bisa menangkap mimpi. Jika itu mimpi buruk maka jaring yang ada ditengahnya akan menahan mimpi itu. Tetapi ketika itu mimpi baik maka jejaringan dipercaya akan menyalurkan mimpi indah itu. Namira tidak percaya tetapi dia menyukai dream catcher dan makna yang tercipta bersamanya. Namun jika memang apa yang orang-orang katakan adalah benar tentang dream catcher dan maknanya, Namira berharap mimpi buruknya dapat ditangkap agar tak pernah sampai padanya. "Apa mimpi yang paling menakutkan?" tanya Namira sambil menatap langit senja. "Adalah ketika aku terdampar di kapal ini dan dibenci oleh pemiliknya," dia yang bertanya, dirinya pula yang menjawab. Namira terkekeh, merasa lucu dengan apa yang dia katakan. Andai Zafi mendengarnya mungkin lelaki itu akan dengan senang hati melemparnya dari kapal ini. Meninggalkan pikiran tak menentuny itu Namira kembali ingin menyimpan benda berjaring-jaring itu saat ia mendengar teriakan Zafi yang memanggil dokter Kila. Namira melotot saat ia melihat Zafi membawa Kanara dalam gendongannya. "Apa yang terjadi?" tanyanya pada diri sendiri. Namira membiarkan dream catcher itu terjatuh begitu saja, sedangkan ia berlari mengikuti langkah kaki Zafi yang lebar. Ia tak mengindahkan larangan Zafi untuk tidak menampakan batang hidungnya di depan lelaki itu lagi. Kini fokusnya sudah pada Kanara yang menutup matanya dalam pelukan Zafi. "Dokter Killa!" sekali lagi Zafi berteriak setelah ia menurunkan Kanara ke atas tempat tidur. Zafi menepuk pipi Kanara yang pucat dengan tangan yang gemetar. Tak lama setelah itu dokter Killa datang dengan teegopoh-gopoh menghampiri mereka. "Ada apa Zafi? Cepat minggir!" bentak dokter Killa yang melihat Zafi tak ingin menjauh dari Kanara yang terpejam. Dengan cekatan dokter Killa memeriksa Kanara. Dirinya menghembuskan napas lega ketika masih mendengar detak jantung perempuan yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu. Dokter Killa memasng infus. Setelah itu menatap Zafi yang sejak tadi juga tak sedikitpun mengalihkan tatapan matanya pada Kanara. "Nara kelelahan, dia butuh istirahat. Tapi kamu harus tetap menjaganya Zaf," ucap dokter Killa menjelaskan keadaan Kanara. Tidak hanya Zafi yang menghela napasnya dengan lega namun Namira juga melakukan hal yang sama. Meski Zafi tahu betul dokter Killa hanya sedang berusaha menenangkannya, sebab mereka sama-sama tahu bagaimana kondisi Kanara. Sementara itu benak Namira bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Kanara. Jujur saja sesekali Kanara memang terlihat pucat di mata Namira. Tetapi senyum Kanara yang bagai malaikat menutupi kerapuhan pada wajahnya. "Kalian semua pergi dari sini," ucap Zafi dengan dingin. Wajahnya yang murung membuat dokter Killa hanya bisa menganggukan kepalanya. Begitu pula dengan Namira, perempuan itu tak berani mengatakan apapun sebab suasana hati Zafi terlihat sangat menyedihkan. Namira mengikuti langkah kaki dokter Killa. Ia ingin menanyakan sesuatu namun ketika melihat wajah dokter Killa yang juga tertekan, Namira memilih membiarkan dokter muda itu menjauh hingga punggungnya tak lagi terlihat. Sementara itu, ketika tak ada lagi siapa-siapa selain dirinya dan Kanara, Zafi membiarkan tubuhnya merosot ke lantai yang dingin. Lelaki itu mengusap wajah Kanara yang pucat. Ia menggenggam tangan Kanara dengan lembut. "Maaf sayang semua salahku," ucap Zafi merasa menyesal karena menuruti keinginan Kanara yang memohon padanya untuk melihat matahari terbenam. Zafi lupa bahwa angin laut barangkali tak baik untuk kesehatan Kanara. Dia menyesal karena mengasihani wajah Kanara yang memelas hingga menuruti kemauannya. Padahal Zafi tahu persis bagaimana kondisi kekasihnya itu. "Kamu harus sembuh. Aku janji akan membuatmu sembuh sayang. Entah bagaimana pun caranya. Setelah itu kita akan keliling dunia seperti mimpi-mimpimu," ucap Zafi. Bukan tak pernah mengusahakan, Zafi telah lama mencari jantung yang cocok dengan Kanara namun tak sekalipun ia menemukannya. Hati Zafi hancur melihat Kanara yang seperti ini. Kadang dalam sebulan Kanara bisa berkali-kali jatuh pingsan. Zafi masih mengoceh ini dan itu hingga malam menjelang. Diam-diam Namira mengintip dibalik pintu kamar Kanara. Ia menyaksikan semua kegelisahan yang Zafi perlihatkan hanya di depan Kanara. Lelaki itu tampak sangat rapuh. Sikap dingin dan wajah menyebalkannya menghilang entah ke mana. Kini yang terlihat hanya kesedihan dan rasa bersalah yang mendalam. Hingga pagi menjelang Zafi masih di sana. Bahkan ketika Namira sudah kembali lagi mengintip di tempat yang sama untuk sekedar mengetahui keadaan malaikat penolongnya itu. "Kenapa nggak masuk?" pertanyaan yang secara tiba-tiba saja terdengar itu membuat Namira berjengit. Ia terkejut karena ketahuan oleh dokter Killa. Namira salah tingkah, ia mengusap tengkuknya dengan canggung. "Ayo masuk bersamaku," ajak dokter Killa yang sudah tersenyum ramah. Pada akhirnya Namira mengikuti dokter Killa. Lagi-lagi ia mengabaikan peringatan dari Zafi. Saat masuk ke dalam kamar ternyata Kanara sudah terbangun namun dia masih memejamkan matanya. Tampak sekali mata itu menyimpan kesedihan namun Kanara selalu menutupinya dengan senyum keikhlasan. "Zafi bangun! Aku mau periksa Kanara dulu," bisik dokter Killa karena Zafi tak juga terusik dengan kedatangan mereka. "Biar aku aja," ucap Kanara mengambil alih saat dokter Killa kembali ingin membangunkan Zafi. Kanara mengelus lembut rambut Zafi, "Sayang bangun. Aku sudah sadar," ucapnya penuh semangat. Ajaib, hanya sekali saja Zafi sudah mendongkan kepalanya yang suntuk. Lelaki itu mengucek matanya sebelum tersenyum sangat manis. Ia beranjak untuk memeluk Kanara. Sempat ingin mengecup bibirnya namun Kanara mendorongnya dan memberi isyarat bahwa tak hanya mereka berdua yang ada di kamar ini. Sejujurnya Zafi tak peduli tetapi ketika ia ingat Naranya harus mendapatkan pemeriksaan dari dokter Killa, dengan cepat Zafi menyingkir. Dokter Killa mengambil inisiafif dan segera tugasnya. Beratnya helaan napas dokter Kila cukup menjawab bahwa kondisinya saat ini tidak stabil. Tetapi senyum tegar Kanara tidak pernah sekalipun pudar. Hal itu membuat Zafi dan Killa ikut tersenyum meski nerat. Nara tidak pernah merasa semua ini tidak adil untuknya. Killa tahu perempuan yang ia temui beberapa tahun lalu ini adalah perempuan yang tidak pernah mengeluh. Ia selalu menguatkan orang-orang disekitarnya dengan kondisi tubuhnya yang seperti ini. Dokter Kila menyiapkan obat yang harus Kanara minum. Setelah itu lagi-lagi dirinya meninggalkan Kanara bersama Zafi. "Namira sini," ucap Kanara karena Namira hanya berani menatapnya dari jarak yang cukup jauh. Sebelum menghampiri Kanara, Namira sempat melirik Zafi terlebih dahulu. Setelah mendapatkan izin, dirinya langsung menghampiri Kanara. "Aku nggak apa-apa," ucap Kanara sambil tersenyum. Namira tak berani menanyakan apapun. Ia hanya menatap wajah Kanara yang pucat dengan penuh kasih. Dirinya tidak menyangka Kanara yang bagai malaikat bisa membuat semua orang khawatir seperti ini. Sementara itu, melihat wajah Namira yang menyedihkan membuat Zafi berdehem. Dia dan Killa selalu menahan diri untuk tidak memperlihatkan kesedihan mereka di depan Kanara demi menjaga perasaannya. Tetapi dengan lancang Namira justru dengan sengaja menampakan itu di depan Kanara. "Kau harus keluar, Nara butuh istirahat." ucap Zafi. Namira yang mengerti bahwa Zafi mengusirnya secara halus mengiyakan itu. Namira menganggukan kepalanya dan berpamitan pada Kanara. Ia sempat memberi Kanara pelukan sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya. Sementara itu seperti biasa, Zafi akan menemani Kanara hingga pujaan hatinya itu kembali tertidur. Perlahan Zafi meninggalkan Nara, ia juga harus mengistirahatkan pikirannya yang kembali kacau. Zafi tidak mungkin berpura-pura tidak tahu apa-apa melihat kondisi Nara yang seperti ini. Sejujurnya dirinya sangat menyesal mengiyakan keinginan Nara yang ingin berlayar dari pulau ke pulau seperti ini. Padahal dia tahu betul kondisi Nara. Meskipun dirinya sudah menyiapkan semua yang mereka butuhkan jika sampai terjadi sesuatu pada Nara. Namun tetap saja rasanya semua ini tidaklah benar. Melihat Nara berwajah pucat seperti tadi saja Zafi sudah ketakutan. Bagaimana kalau sesuatu yang besar membahayakan Kanara. Zafi menggelengkan kepalanya. Sejujurnya ia tidak ingin merasa khawatir seperti ini tapi Zafi tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Zafi memejamkan matanya demi menghalau pikiran buruk itu. Disaat yang bersamaan ia mendengar senandung yang memilukan. Matanya kembali terbuka. Zafi mencari sumber suara itu. Ia mengikuti jejak-jejak dari senandung yang menurutnya begitu sendu. Tetapi belum sempat ia menemukan pemilik senandung, suara itu sudah menghilang. Sebagai penggantinya deburan ombak menghantam kapal mereka. Zafi terkejut bukan main. Ia melihat laut yang sedang pasang. Namun dirinya tak perlu merasa khawatir karena semua orang yang ia pekerjakan di kapal ini adalah orang-orang yang berpengalaman. Di saat Zafi masih penasaran dengan si pemilik senandung, dokter Killa menelponnya dan meneriakan nama Nara. Secepat kilat Zafi membawa kakinya untuk berlari. Zafi sampai di kamar Nara saat perempuan itu sudah ditangani lagi oleh dokter Killa. “Apa yang terjadi?” tanya Zafi. Ia bersimpuh di depan Nara. Digenggamnya punggung tangan kekasihnya dengan penuh kelembutan. “Dia terjatuh sambil kesakitan,” jawab dokter Killa. “Kenapa kamu ninggalin dia, Zaf?” kesalnya. Zafi tidak membalas kekesalan itu. Kini dirinya fokus kepada Kanara yang terbaring di atas tempat tidur. “Kalau terus begini sebaiknya kita mendarat dulu aja, Zaf. Aku khawatir pada Nara,” karena tak juga mendapat tanggapan dari Zafi, dokter Killa memilih untuk meninggalkan Zafi saja. Ia mengerti Zafi sedang bimbang. Di sisi lain ia ingin memenuhi semua keinginan Nara, di sisi lain lelaki itu pasti juga sangat khawatir. Dokter Killa kembali menolehkan kepalanya kepada Zafi dan Nara yang sedang terbaring tak sadarkan diri itu sebelum ia menutup pintu. Dalam perjalanan kembali ke kamarnya, ia menemukan Namira dengan wajah cemasnya. Dokter Killa menghela napasnya. Ia tahu betul Namira membutuhkan penjelasan atas kejadian ini. Dokter Killa meminta Namira mengikutinya. “Apa yang terjadi?” tanya Namira. Wajahnya sudah menunjukan kekhawatiran sejak ia mendengar dokter Killa meneriakan nama Kanara. Kamarnya yang kebetulan tidak terlalu jauh dari kamar Nara membuatnya dapat mendengar dengan jelas teriakan itu. Namun sebagai orang asing yang beruntung diselamatkan oleh Nara, Namira tidak berani untuk ikut masuk ke dalam kamar penyelamatnya itu disaat semua orang panik karena khawatir. Lagi pula sudah ada Zafi di sana yang jelas sudah memberinya peringatan meski dengan cara yang halus. Dokter Killa tak henti-hentinya menghela napasnya. “Nara memiliki penyakit serius,” jawaban Dokter Killa membuat Namira semakin cemas. Tanpa mengeluarkan satu suara pun dokter Killa tahu Namira membutuhkan penjelasan lebih. “Jantung Kanara lemah. Kami berusaha mencarikan jantung yang cocok untuknya, namun sampai saat ini belum ada satupun yang cocok,” Namira terdiam mendengar penjelasan itu. Ternyata dibalik senyum tegarnya, Kanara memiliki masalah kesehatan yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. Melihat Namira yang terkejut, dokter Killa menepuk pundaknya. Setelah itu ia meninggalkan Namira sendirian di kabin kapal. Tak tahu harus berbuat apa, Namira memilih kembali ke kamarnya. Saat masuk tanpa sengaja ia melihat penangkap mimpi yang tadi ia pegang tersungkur di lantai. Namira memungutnya, memandangnya dengan tatapan penuh harap. Ia mengikat draem catcher itu di depan jendela. "Jika memang kau bisa menangkap mimpi buruk, maka tolong tangkap mimpi buruk yang sedang Kanara alami," ucapnya. Setelah itu Namira membiarkan sang penangkap mimpi bergerak bersama angin yang masuk ke dalam kamarnya. Namira menatap hamparan laut yang luas di luar sana. Ia tidak mengerti kenapa Zafi membawa Kanara ke tempat ini di saat lelaki itu mengetahui Kanara memiliki penyakit berbahaya yang kapan saja bisa merenggut nyawanya. Namira menghela napasnya dengan berat. Langit yang dirinya kagumi selalu terlihat cantik namun hari ini ia tidak suka menatapnya. Hatinya yang gelisah tak sempat mengagumi. Karena Kanara sedang tak baik-baik saja. Karena mereka sedang ketakutan meski tak pernah ada badai. Sebab kapal ini sendiri yang menyimpan badai teramat besar, yang sewaktu-waktu bisa menyebabkan kesedihan mendalam bagi penumpangnya ketika badai itu memutuskan untuk menghantam kapal. Memilih menjauh dari jendela, Namira merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia kembali bersenandung. Senandung yang menggambarkan suasana hatinya saat ini. Pilu, dan menyedihkan. Sama seperti beberapa menit yang lalu ketika ia bersenandung di luar sana. . . B E R S A M B U N G. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN