CHAPTER 6. Selimut Bekas

2510 Kata
*** Sudah seminggu sejak Kanara dirawat oleh dokter Killa. Beberapa hari yang lalu perempuan cantik itu sudah kembali beraktivitas. Meski kerap kali mendadak sakit namun Kanara tak sekalipun jera. Ia masih melakukan kegiatan seperti biasa namun memang tidak ada satupun dari kegiatan itu yang berat. Lagi pula apa yang bisa dilakukan ketika berada di kapal pesiar selain menikmati pemandangan di atas samudra? Itu yang saat ini Kanara lakukan. Berdiri di di depan kapal, menikmati sejuknya angin laut yang berhembus. Memang, di atas langit sana matahari tengah bersinar dengan cerah namun tak menyurutkan semangat gadis itu untuk tetap berdiri tegak di bawah teriknya. Namira mengerti jika Kanara merasa bosan berada di kamar saja. Ia paham jika yang perempuan itu inginkan adalah menikmati langit sore atau sekedar berjalan-jalan di kapal. Namun Namira juga bisa memahami kekhawatiran Zafi yang sebisa mungkin lelaki itu tutupi di depan tunangannya. Begitu cara Zafi menunjukan kasih sayangnya pada Kanara, ia tak pernah menunjukan rasa khawatirnya secara langsung. Namira ingay Zafi menegurnya setelah hari di mana Kanara sadar dan dirinya menunjukan wajah khawatir dan kasihannya di depan Kanara. Zafi mengatakan itu hanya akan memperburuk keadaan Kanara. Perempuan itu tak suka diperlakukan seperti orang sakit. Sejak itu sama halnya dengan yang lain, Namira pun melakukan hal yang sama. Mudah baginya tampil dengan ceria di depan semua orang karena itu yang selama ini dirinya lakukan. Lagi pula dia adalah seorang artis. Zafi dan Kanara saja yang tidak mengenalnya. "Kamu pasti sudah tahu tentang jantungku yang lemah," tiba-tiba saja suara Kanara terdengar di telinga Namira. Rupanya perempuan itu menyadari jika sejak tadi Namira menatapnya. Namira tidak membalas ucapan Kanara karena ia yakin perempuan itu masih ingin melanjutkan perkataannya. "Aku sempat mikir kamu menjauh karena takut sama aku," Kali ini Namira menggelengkan kepalanya. "Bukan karena itu," ucap Namira terburu-buru. Ia tidak ingin Kanara salah paham. "Aku tahu." balas Kanara. Bibirnya tak pernah berhenti berkedut. "Semua itu karena Zafi yang melarang kamu untuk ketemu aku," Namira terkejut mendengar ucapan Kanara. Bagaimana perempuan itu bisa tahu? Padahal tak sekalipun ia memberitahunya. "Apa kamu baik-baik saja, Kanara?" pada akhirnya Namira tak bisa menahan tanyanya meski senyum ceria tak luput dari bibirnya. Karana yang tadi memejamkan mata kini menatap Namira dengan raut wajah yang lucu. "Jangan ditahan, kalau kamu khawatir ya khawatir aja." katanya. "Tapi aku baik-baik aja, Nara." ucap Kanara seakan bicara pada dirinya sendiri karena pertama kalinya memanggil Kanara dengan nama singkatnya. Namira terkekeh, "aku kan belajar dari kamu, tegar." balas Namira yang kini sudah kembali menatap hamparan laut di depan sana. Begitu cantik meskipun tampak sangat mengerikan. "Belajar dariku?" tanya Kanara sambil terkekeh. "Aku yang belajar darimu. Kamu terlihat ceria walau sesekali aku mergokin kamu lagi melamun," ucap Kanara. Perempuan itu kembali memejamkan matanya, mendongakan kepala dan membiarkan wajah cantiknya diterpa cahaya matahari. Namira menggelengkan kepalanya, pandangannya masih pada tempat yang sama. "Kalau boleh jujur, bagiku kamu itu malaikat tanpa saya, Ra. Baik, cantik dan nggak pernah ngeluh," apa yang selama ini Namira simpan di hatinya terucap sudah. Ia yang mengagumi Kanara yang tegar, Kanara yang hatinya sangatlah lembut. "Terima kasih," ucap Kanara menanggapi apa yang Namira katakan. Dirinya pun sama, ia mengagumi keceriaan Namira. Ketegarannya dalam menghadapi sikap Zafi yang kadang diluar kendali jika itu menyangkut tentangnya. Kanara mengerti dan memahami lelaki itu. Ia tahu persis seberapa khawatir Zafi padanya. Saat ini pun lelaki itu melakukannya, mengkhawatirkannya secara diam-diam. Kanara melirik sekilas tempat persembunyian Zafi demi selalu memantaunya. Membuat Kanara terkekeh lucu. "Namira pernahkah kamu benci sama Zafi?" Kanara menanyakan perasaan Namira yang selama ini selalu ditindas oleh Zafi. Namira hanya menggelengkan kepalanya. Meski dirinya takut pada Zafi namun tak sekalipun ia membencinya karena Namira mengerti perasaan Zafi untuk Kanara tak bisa diukur, bahkan tak bisa dibandingkan dengan kedalaman laut yang saat ini mereka arungi bersama. Namira mengerti Zafi mengkhawatirkan Kanara sehingga lelaki itu ingin selalu berada di sisinya, menjaganya. Seperti yang selalu lelaki itu lakukan meski dengan cara yang bisa menyakiti orang lain. Sungguh Namira mengerti. Dia tak pernah membenci Zafi. "Ya, hanya sedikit kesal." katanya setelah Kanara menatap curiga. Keduanya saling membagi tawa. Jika Namira mengerti kenapa Zafi sangat membencinya, maka Kanara pun akan sangat mengerti jika Namira pun membenci Zafi. Namun jawaban Namira membuatnya lega. Ia akan sangat bersyukur jika Zafi dan Namira bisa akur. Kanara menghembuskan napasnya dengan lega. "Kamu harus tahu Zafi itu lembut dan penuh kasih. Dia itu bodoh karena mencintai perempuan penyakitan sepertiku," ucap Kanara masih dengan senyum lembutnya. "Maafin sikapnya sama kamu, ya." ini yang menjadi tujuan Kanara meminta Namira menemuinya. Dia ingin memastikan perasaan Namira pada Zafi. Kanara sungguh berharap mereka tak saling membenci. Melihat permintaan di dalam mata Kanara membuat Namira semakin tersenyum ceria. "Aku udah maafin dia, Nara. Nggak ada yang perlu dibenci darinya," ucap Namira menenangkan Kanara. Zafi sungguh beruntung mendapatkan perempuan seperti Kanara. Dia benar-benar mencintai Zafi yang sifatnya seperti devil. Meski itu hanya berlaku pada orang lain saja. Sedangkan pada Kanara, sifat Zafi akan berbalik sembilan puluh sembilan derajat. Di sisi lain, di tempat persembunyiannya Zafi mengepalkan kedua tangannya ketika kedua perempuan itu tengah membicarakannya. Zafi merasa semakin mencintai Kanara. Perempuan baik hati yang dirinya temui bertahun lalu. Zafi berjanji akan mencintai Kanara seumur hidupnya. Dia keluar dari tempat persembunyiannya. Menghampiri Kanara yang asyik membagi tawanya bersama Namira. "Sayang," sapanya sambil mendekap Kanara dari belakang. Meski sempat berjengit namun Kanara cepat menyesuaikan perasaannya. Tentu dirinya senang Zafi menghampirinya seperti ini. "Ayo masuk. Jangan kelamaan di luar," ucapnya. Namun gelengan kepala Kanara menjawab keinginan Zafi. Kanara menolak mentah-mentah ajakannya. Sebab yang perempuan itu ingin lakukan saat ini adalah tetap berdiri di bawah terik bersama Namira dan Zafi, ya mereka bertiga. Kanara merasa lengkap jika keduanya ada di sisinya seperti ini. Entah sejak kapan perempuan itu merasakan perasaan yang seperti itu. Zafi menghembuskan napasnya dengan berat. "Ya udah tapi sekarang kamu tutupin kepala kamu ini," ucap Zafi sambil memasangkan topi lebar pada kepala Kanara setelah ia menerimanya dari orang suruhannya. Kanara tidak menolak. "Kamu juga harus pakai topi," ucap Kanara pada Namira membuat perempuan itu salah tingkah sebab sejak tadi dirinya memperhatikan kedekatan yang tercipta antara Kanara dan zafi. Dengan senyum cerianya Namira menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahnya. "Nggak usah," ucapnya. Tanpa mengatakan apapun Zafi mengerti Kanara memintanya menyiapkan topi untuk Namira hanya dari tatapan lembutnya itu. Zafi melirik Namira sekilas, kemudian ia berdecak pada perempuan itu. Susah sekali membuat Namira mengerti bahwa Zafi tidak ingin diganggu. Seharusnya perempuan itu segera pergi setelah melihat kedatangannya. Sehingga hal seperti ini tak perlu terjadi. Terpaksa Zafi memerintahkan bawahannya untuk mengambil satu topi lagi untuk Namira. Setelah itu Zafi melemparnya pada Namira. Topi itu jatuh tersungkur. "Zafi!" ujar Kanara memberi peringatan agar lelaki itu menepati janjinya yang akan berubah baik pada Namira. Meski kesal namun Zafi tersenyum pada Namira dengan sangat terpaksa. Ia memungut topi yang tadinya jatuh, diberikannya pada Namira dengan cara yang benar. "Terima kasih," ucap Namira. Mengabaikan ucapan Namira, Zafi sudah kembali fokus pada Kanara. Keduanya mendekati pagar kapal, menatap gelembung air laut yang terkumpul akibat kerasnya hantaman kapal. Kanara menyadari sesuatu yang cantik selalu terlihat mengerikan. Sama seperti samudra ini. Terlihat sangat indah sekaligus mengerikan. Kanara menolehkan kepalanya kepada Namira. Tetapi ada satu yang terlihat indah dan tidak mengerikan. "Sini," ajak Kanara pada perempuan itu. Baginya Namira adalah keindahan namun dia tidak memiliki sesuatu yang mengerikan seperti dirinya. Mendengar ajakan itu membuat Namira serba salah. Ia melirik Zafi untuk melihat reaksi lelaki itu. Setelah mendapati anggukan kepalanya, Namira memberanikan diri mendekat. Tetapi sesampainya di sana, Namira dibuat canggung oleh Kanara. Pasalnya, perempuan itu menempatkannya diposisi yang menurut Namira sangat salah. Dirinya berada di tengah-tengah, tepat di antara Zafi dan Kanara. "Astaga!" pekiknya dalam hati saat tanpa sengaja kulitnya bersentuhan dengan kulit Zafi. Dapat Namira lihat juga bahwa lelaki itupun berjengit, terkejut. Namira tidak bergerak, ia bingung harus melakukan apa. Beruntung Zafi sedikit menjauh darinya sehingga kulit mereka tak lagi harus bersentuhan. Sementara itu ketika Namira sibuk memikirkan betapa dekatnya dia dengan Zafi, Kanara tengah menikmati luasnya samudra. Tetapi dia sungguh menyadari kecanggungan yang terjadi antara Zafi dan Namira. Sejujurnya Kanara sengaja melakukan itu agar Zafi dan Namira bisa akrab. Saat suasana masih saja canggung diantara mereka, Kanara mengambil alih suasana. "Gimana kalau kita foto bertiga?" usulnya memecah keheningan. "Zaf ayo lebih merapat," perintah Kanara. Tanpa bisa menolak, Zafi menuruti keinginan kekasihnya itu. Sedangkan Namira hanya bisa menurut saja. Pada foto pertama Namira tetap berada di tengah, ia bisa merasakan napas Zafi berada tepat dipuncak kepalanya. Hal itu membuat Namira tidak nyaman. Saat Kanara ingin mengambil foto kedua buru-buru Namira pindah ke depan Kanara. "Aku saja yang pegang kameranya," ucap Namira sambil merebut kamera yang tadi berada di tangan Kanara. Meski sempat terkejut dengan kelakuan Namira namun Kanara menganggukan kepalanya juga. Namira bisa bernapas dengan lega karena tak lagi berada dijarak yang sangat dekat dengan Zafi, lelaki yang membencinya sampai ke akar-akarnya. Setelah mendapatkan beberapa gambar, Zafi memaksa Kanara untuk masuk ke dalam. Meski masih terlihat enggan namun Kanara tidak bisa menolak permintaan sekaligus perintah dari Zafi. Sementara itu Namira masih berada di tempat yang sama. Menatap samudra yang membiru. Menikmati hembusan angin laut yang menusuk sampai ke tulangnya. Namira menghela napasnya dengan lirih. Pandangannya menyapu angkasa. Bertanya-tanya kapan mereka bisa sampai ke daratan. Mungkin setelah sampai nanti Namira tidak akan naik ke kapal lagi. Ia akan berhenti membuat Zafi membencinya, berhenti pula merepotkan Kanara. Namira akan menghubungi Anka. Ia yakin manajernya itu maaih menggunakan nomor yang sama dan untungnya dirinya masih menghafal nomor Anka. "Ini!" ujar seseorang ditengah khayalan Namira. Perempuan itu menoleh karena terkejut. Ia mendapati selimut sudah berada di belakangnnya, hasil lemparan Zafi. Namira merasa heran kenapa Zafi ada di sini dan berbaik hati membawakan dirinya selimut. Ck. Zafi berdecak. "Kalau bukan karena Nara aku nggak sudi bawain kamu selimut ini." perkataannya menjawab tanya dalam benak Namira. Namira tersenyum. Sudah dirinya duga pasti karena Kanara. Mana mungkin Zafi berbaik hati memberinya selimut jika bukan karena Kanara yang menyuruhnya. Namira menarik selimut itu. Ia memberikannya kepada Zafi. "Aku nggak butuh ini, Zaf." ucap Namira masih dengan wajah cerianya. Zafi kesal melihat penampakan itu. "Pakai! Aku nggak mau Kanara sedih gara-gara mikir aku nggak kasih selimut ini sama kamu," katanya. Tetapi Namira masih saja menggelengkan kepalanya. Angin memang sudah terasa menusuk sampai ke tulang sejak tadi tapi menerima kebaikan Zafi hanya karena Kanara rasanya Namira tak bisa menerimanya. Lebih baik dirinya masuk ke dalam kamar saja agar lelaki itu tidak semakin membencinya. Namira menyampirkan selimut itu ke bahu Zafi. Kemudian ia melenggang pergi menjauhi lelaki itu. Zafi semakin kesal saja. Namira ini benar-benar membuatnya putus asa. Ia benci harus mengurus perempuan lain selain Kanara. "Sial!" makinya. Entah kenapa Zafi ingin sekali mengurung Namira agar tidak berkeliaran di kapal ini. Semakin dirinya melihat perempuan itu, semakin perasaan bencinya meningkat drastis. Namira betul-betul sudah menyita waktu dan perhatian Kanara darinya. Perempuan itu juga ikut merepotkannya tentu saja. Zafi berjanji tidak akan membiarkan Namira naik ke kapalnya lagi setelah mereka berhenti pada pulau berikutnya. Zafi memandang selimut yang dirinya bawa. Selimut itu tidak boleh kembali pada Kanara sebab sempat menempel di punggung Namira. Zafi tidak suka Kanara menggunakan selimut yang sudah menjadi bekas perempuan itu. Terpaksa dirinya harus memberikan selimut ini kepada Namira. Zafi berlari menyusul Namira. Sayang, dirinya tak lagi melihat punggung gadis itu. Zafi menendang udara dengan keras. Lagi-lagi dirinya harus memaksa kakinya melangkah menuju kamar Namira yang dulunya adalah kamar Kanara. Tempat itupun tak lagi menjadi milik Kanara karena pernah ditempati Namira saat pertama kali Kanara menyelamatkannya. Tentu selain karena kamar Kanara yang ia tempati saat ini lebih dekat dengan kamar dokter Killa sehingga memudahkan Killa memeriksanya jika sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Kecerobohan Zafi yang masuk tanpa mengetuk pintu memberikan kesialan bagi Namira. Keduanya hanya saling menatap untuk detik yang cukup lama. Zafi mengerjapkan matanya sebelum membiarkan matanya itu menikmati pemandangan yang tak seharusnya dia lihat. "Aaaaaa!" teriak Namira sungguh terlambat karena pintu yang terbuka secara tiba-tiba itu sudah terbuka beberapa detik yang lalu, dan Zafi mematung di sana sambil menatapi dirinya. Zafi yang terkejut karena mendengar teriakan Namira, secara refleks melempar selimut yang dirinya pegang kepada Namira. Secepat kilat Namira menggunakan selimut itu untuk menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Sialan! Beruntung dirinya belum melepas bra dan celana dalamnya karena Namira memutuskan untuk mandi setelah sempat bingung apa yang akan dirinya lakukan selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Namira tanpa berani menatap Zafi. Astaga! Bayangkan saja semerah apa warna pipinya saat ini. Zafi berdehem. Jujur dirinya sempat kesulitan menelan air ludah melihat bagian tubuh Namira yang terekspos meski hanya beberapa detik. "Ambil selimut itu. Jangan kembalikan!" ujarnya sambil menatap garang. Setelah itu Zafi pergi begitu saja. Menutup pintu dengan kencang dan mengabaikan banyaknya tanda tanya yang memenuhi kepala Namira. Ia mengerjap, menatap bolak balik antara selimut yang dirinya gunakan untuk menutupi tubuhnya dan daun pintu yang telah tertutup rapat. "Dasar gila!" pekiknya. Namun tidak ada yang mendengar itu. Namira menghampiri pintu dan menguncinya. Lain kali dia tidak akan lupa lagi untuk mengunci pintu. Jangan sampai Zafi masuk untuk kedua kalinya. Setelah itu Namira memutuskan untuk mandi saja. Meski masih risih dengan kedatangan Zafi beberapa saat lalu namun Namira berusaha melupakannya. Walaupun sebenarnya itu adalah kejadian pertama dalam hidupnya. Tidak sekalipun Namira membiarkan orang lain melihat tubuhnya seperti yang Zafi lakukan tetapi Namira tidak bisa berbuat apa-apa karena semua terjadi tanpa disengaja. Saat Namira selesai dengan mandinya ternyata hari sudah gelap. Ia ketiduran hingga berjam lamanya. Beruntung dirinya tidak mati kedinginan di dalam sana. Buru-buru Namira berganti baju. Suara rintik hujan menyadarkannya bahwa kegelapan di luar sana bukan karena hari sudah petang namun karena hujan. Namira mengernyit bingung. Pasalnya, siang tadi matahari begitu terik, sementara saat ini langit sangat gelap. "Apa ada badai?" tanya Namira sambil bergidik ngeri. Ini pertama kalinya sejak dia berada di kapal ini. "Hujan sangat lebat," ucapnya saat mengintip dibalik jendela. Ternyata keindahan senja yang sering dirinya lihat dibalik jendela tidak bisa menutupi kemungkinan bahwa dia juga bisa melihat badai yang mengerikan. Tanpa sadar Namira menarik selimut yang sempat diberikan Zafi untuk melindungi tubuhnya dari cuaca dingin yang masuk ke kamarnya. Hujan diluar sana sangat lebat membuat Namira ketakutan. Dia menurunkan hordeng demi menutupi jendela yang memiliki kaca transparan. Ketukan pada pintu kamarnya menyadarkan Namira dari kengerian yang ia rasakan. Ketika Namira membuka pintu itu, ia mendapati Zafi berdiri di sana. "Kanara nyuruh kamu datang ke kamarnya. Akan ada badai, dia khawatir kamu ketakutan." hanya mendengar suaranya saja Namira tahu Zafi tidak suka jika dirinya mengiyakan permintaan Kanara itu. Setelah berpikir cukup lama akhirnya Namira menggelengkan kepalanya. "Tolong bilang sama Kanara, aku di sini aja. Nggak apa-apa," ucap Namira yang sudah berani menatap Zafi dengan wajah cerianya lagi seakan peringatan badai diluar sana bukan apa-apa baginya. Zafi mengedikan bahunya setelah mengamati ekspresi Namira. Ia juga tersenyum sinis saat menyadari perempuan itu menggunakan selimut yang tadi dirinya lempar. "Bajumu sudah dipakai, kan?" tanyanya secara sengaja mengingat Namira pada kejadian beberapa jam yang lalu. Namira mengeratkan selimutnya, perkataan Zafi membuatnya tak lagi ragu dengan keputusannya untuk tetap berada di dalam kamarnya sendiri. "Kalau gitu aku tutup pintunya." ucap Namira. Ia segera menutup pintu tanpa menunggu balasan Zafi. . . . B E R S A M B U N G. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN