***
Badai masih berlangsung hingga malam betul-betul menjelang. Namira mendengar pengumuman bahwa seluruh penumpang tak perlu merasa khawatir. Setidaknya para nahkoda dan awak kapal telah menenangkan penghuni kapal pesiar itu. Namira yakin tidak akan terjadi apa-apa namun tetap rasa takut menghantuinya.
Pilihannya untuk tidak ikut bersama Zafi mungkin adalah benar namun tinggal sendirian di dalam kamar juga bukan sesuatu yang baik bagi dirinya yang pernah terombang ambing di lautan. Namira merasa seakan dirinya akan kembali terlempar ke tengah laut.
"Astaga!" pekiknya ketika matanya mengintip sedikit dibalik hordeng yang tadi sempat ia tutup. Air laut pasang sehingga menghantam kapal. Namira sempat melihatnya dan semakin merasa ketakutan.
Buru-buru ia naik ke atas tempat tidur saat kembali mendengar deburan ombak yang kencang seakan menghantam dinding kamarnya. Secepat kilat Namira menatap pintu karena lagi-lagi terkejut. Ia pikir air laut benar-benar sudah naik ke kapal ini dan sampai ke pintu kamarnya. Tetapi ketika dirinya mendengarkan dengan jelas ternyata itu adalah suara ketukan pintu. Astaga! Dengan segera Namira menghampiri pintu. Ketika terbuka ia ingin menutupnya kembali sebab senyum remeh Zafi terpapar di wajah saat melihatnya ketakutan. Sial! Tak ingin membuat lelaki itu semakin bahagia, Namira memasang wajah cerianya.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya sambil menggerakan kakinya karena gugup. Zafi melihat semua itu dengan tatapan yang semakin meremehkan. Ternyata Namira memiliki rasa takut juga setelah pernah berada di lautan. Meski tidak tahu apa penyebab gadis itu berada di sana namun Zafi yakin itu bukan suatu hal yang baik. Ck. Dirinya berada di depan Namira bukan karena ia peduli dan khawatir tetapi dia tidak ingin ada mayat Namira di kapalnya karena mati karena ketakutan.
Zafi berdecih. "Jangan sok berani kamu. Ayo gabung sama kami," ucapnya. Namun Namira yang keras kepala tidak juga menganggukan kepalanya. Bukan karena dia benar-benar berani menghadapi badai ini sendirian namun karena ia tak suka berada disituasi yang canggung bersama Zafi dan Kanara. Tatapan membunuh yang Zafi berikan ketika berinteraksi dengan Kanara lebih menakutkan dari pada badai sialan yang entah sampai kapan akan bertahan.
"Aku ngantuk, maaf bisa pintunya ku tutup?" tanya Namira diujung kalimatnya. Hal itu membuat Zafi kesal. Ia sudah membuang egonya untuk membawa Namira ke kamar Kanara tetapi perempuan ini justru menolak. Padahal matanya jelas menunjukan kegelisahan meskipun terlihat ceria.
"Jangan nyesal kamu," katanya sebelum meninggalkan Namira. Demi apa dirinya beralasan ingin membuat kopi pada Kanara untuk bisa membawa Namira bersamanya ke kamar kekasihnya itu. Awalnya Kanara memang memintanya untuk mengajak Namira ke kamarnya namun yang baru saja terjadi adalah murni keinginan Zafi karena merasa Namira membutuhkan sedikit belas kasihnya.
Tetapi dengan lancang perempuan itu menolak pertolongannya. Zafi jadi merasa menyesal telah menurunkan egonya hanya demi Namira. Sial! Dia tidak akan pernah mengulangi hal yang sama. Kekesalan yang diakibatkan oleh Namira membuat mood Zafi tidak terkendali. Bahkan ketika dirinya telah sampai di kamar Kanara. Wajahnya keruh dan itu menimbulkan tanda tanya bagi Kanara. "Kenapa, Zaf? Kopimu mana?" tanyanya beruntun.
Zafi lupa tangannya tidak menggenggam secangkir gelas. Pertanyaan Kanara membuatnya salah tingkah. "Aku habiskan di sana," jawabnya penuh kebohongan. Kanara tahu itu karena dirinya tak pernah mencium bau kopi sedikitpun dari mulut Zafi. Namun ia tak ingin mempermasalahkan hal itu karena Zafi juga pandai menyembunyikan bau rokok ketika sangat frustasi memikirkan kondisinya.
"Astaga!" guncangan pada kapal mengalihkan pembicaraan mereka. Zafi buru-buru mendekap Kanara. Ia berdecak kesal karena badai tak kunjung berhenti. Zafi takut Kanara akan panik dan berimbas pada jantungnya yang lemah. Demi apapun Zafi akan mengutuk samudra jika benar-benar terjadi sesuatu pada Kanara selama badai berlangsung.
"Aku nggak apa-apa, Zaf." ucap Kanara menenangkan Zafi. Meski pada kenyataannya hantaman ombak telah berhasil membuat jantungnya berdetak sangat kencang.
Tak sedikitpun Zafi bisa bernapas lega karena pengakuan Kanara. Ia masih saja mengkhawatirkan kekasihnya itu. Sebelah tangan Zafi meraih hpnya dan mendial nomor Killa agar segera menghampirinya untuk Berjaga-jaga terhadap kondisi Kanara. "Cepat ke sini," perintah Zafi dengan nada yang santai. Dirinya tak ingin membuat dokter Killa berpikir yang tidak-tidak tentang Kanara. Tidak butuh waktu yang lama, dokter Killa sudah berada di kamar Kanara. Membuat perempuan berhati malaikat itu berdecak kesal. "Aku nggak sakit, Killa boleh istirahat." ucapnya. Tetapi Zafi menggeleng dengan keras. Ia tidak sudi kecolongan. Dokter Killa memang sahabatnya namun dia ada di sini adalah untuk bekerja dengannya. Ketika dipanggil maka harus segera datang.
"Aku bisa istirahat di sini, Nara. Kondisimu lebih penting dari apapun," balas dokter Killa. Dia sudah pernah mengatakan bahwa Kanara sudah dirinya nggap sebagai adiknya sendiri. Tidak masalah baginya tidak tidur malam ini demi menjaga Kanara.
Dokter Killa meminta Kanara berbaring untuk memeriksa keadaannya. Bagaimanapun guncangan beberapa saat lalu juga telah membuatnya terkejut. Kemungkinan Nara juga mengalami hal yang sama. Dirinya sampai dalam beberapa detik ke kamar ini juga karena memang sudah dalam perjalanan menuju ke sini saat Zafi menelponnya.
Kanara sendiri meskipun enggan menuruti tetapi ia berbaring juga. Jujur saja dirinya memang sangat terkejut hanya saja dia tak ingin membuat Zafi khawatir. Tetapi ternyata usahanya percuma saja. Zafi sudah lebih dulu membaca dirinya sebelum ia membuat kebohongan. Itu terbukti saat lelako itu menyuruh Killa datang ke kamarnya.
"Sudah ku duga, kamu pasti terkejut. Tenangkan dirimu Nara, ini memang badai pertama kita sejak berlayar. Tapi aku yakin kamu kuat. Pulau yang ingin kamu tuju masih sangat panjang," ucap dokter Killa sambil menenangkan Nara. Ia juga memberi perawatan untuk pasiennya itu.
Kanara mengangguk singkat. Meski sempat merasa kesal namun akhirnya wajah teduhnya kembali lagi. Kanara memejamkan matanya hingga benar-benar tertidur. Zafi yang melihat itu mengusap rambut Kanara. Dia terlihat sangat rapuh namun selalu pura-pura kuat. Sama dengan seseorang.
"Seseorang?" Zafi mengulang isi pikirannya. Mendadak ia mengingat Namira. Astaga bagaimana keadaan perempuan itu. Ck. Kenapa juga Zafi harus memikirkannya? Itu pasti karena dirinya ingin melihat Namira kesusahan. Akan ada perasaan bahagia ketika melihat perempuan itu menderita. Ah, rasanya Zafi tidak sabar untuk melihat penderitaan perempuan itu. Zafi sungguh sangat membencinya. Bagus jika ia mati ketakutan. Nanti mayatnya bisa dilarung di lautan. Ck. Sayangnya Zafi tidak sekejam itu.
Dengan segera ia berlari untuk memastikan apakah Namira masih bernapas. "Zafi mau ke mana?" tangannya tertahan dokter Killa. "Jaga Kanara!" ujarnya penuh penekanan. Zafi berusaha melepas kekangan tangan Killa. "Tunggu di sini sebentar. Aku mau ngecek seseorang, apakah dia masih bernapas atau nggak," ucapnya.
Dokter Killa mengerutkan dahinya. Mendadak raut wajahnya berubah terkejut dan panik. "Astaga Namira!" ujarnya. "Cepat! Bisa jadi dia pingsan karena panik," ucap dokter Killa. Dirinya sedikit mengerti jika Namira bisa saja trauma pada badai. Apa lagi hantaman ombak beberapa kali sangat kuat hingga membuat kapal bergoyang. Zafi menganggukan kepalanya. Ia tidak peduli pada Namira tetapi dirinya memikirkan perasaan Kanara. Kekasihnya itu akan merasa bersalah jika sesuatu terjadi pada Namira, perempuan yang pernah dirinya tolong.
Membayangkan wajah sedih Kanara karena Namira membuat Zafi tak bisa menahan diri lagi untuk segera mengetahui keadaan perempuan itu. Ia berlari menuju kamar Namira. Awalnya mengetuk dengan sopan, lantas berubah menjadi dobrakan ketika tak sekalipun Zafi mendengar jawabannya. "Sialan!" maki Zafi ketika pintu tak juga terbuka.
Zafi mencoba lagi dan lagi namun ia tak juga berhasil. Dirinya terpaksa berteriak memanggil Namira hingga saat ia ingin kembali mendobrak, pintu terbuka dengan santai. Zafi terdiam. Posisinya sebelum pintu terbuka adalah menyamping pada pintu, ia sudah sangat siap untuk mendobraknya lagi namun ketika pintu terbuka, tubuhnya terhuyung dengan posisi yang sangat memalukan.
Sementara itu Namira mengerjabkan matanya dengan lucu sejak melihat posisi tubuh Zafi yang konyol. Namira tak bisa menahan tawanya hingga meledak. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya berusaha menahan tawa. Zafi membenarkan posisi tubuhnya, ia berdiri dengan tegap. Diperhatikannya kondisi Namira yang jauh dari kata takut. Rambut yang diikat seperti kuncir kuda membuat leher Namira yang mulus terekspos begitu saja. Perempuan itu terlihat santai dengan piyama tidurnya. Ah, jangan lupakan ada earphone yang menyumpal telinganya. Zafi menduga Namira sedang menyetel musik dengan volume kencang hingga tidak mendengar ketukan pintunya.
Tetapi persetan dengan semua itu. Lihat apa yang sedang perempuan ini lakukan disaat Zafi mengkhawatirkannya setengah mati. Ah, ralat, maksudnya adalah mengkhawatirkan perasaan Kanara ketika sesuatu bisa saja terjadi pada Namira di tengah badai mengingat gadis itu pernah terombang ambing di lautan.
Ck. Namira terlihat baik-baik saja. Bahkan perasaan takut yang tadi sempat membayang di mata gadis itu kini hilang entah ke mana.
"Haloooo apa yang kamu lakukan di depan kamarku??" Namira mengulang pertanyaannya sebab Zafi masih saja terdiam. Lelaki itu hanya memberikan tatapan tajam padanya. Benar-benar menakutkan, lebih menakutkan dari pada badai yang saat ini sedang berlangsung.
Zafi menunjuk Namira. Dirinya sungguh kesal terutama menyesal datang ke sini untuk yang ketiga kalinya. "Kamu!" geramnya. "Apa yang kamu lakukan, huh?" bentak Zafi. Suaranya yang menggelegar mengalahkan deburan ombak yang menghantam kapal.
Namira yang terkejut dan takut mundur selangkah. Namun tangannya menyiratkan untuk berhenti kepada Zafi. Tak lupa ekspresi wajahnya yang ceria pun masih ia pertahankan. Wajah manisnya harus terlihat konyol karena beragam rasa ada di sana.
Selangkah kaki Namira mundur maka dua langkah kaki Zafi maju ke depan. "Stopppp!" teriak Namira karena Zafi tak juga berhenti. Sejujurnya Namira sangat takut berada di kamarnya sendirian di tengah badai. Apa yang Zafi lihat saat ini bukan apa yang sejak tadi Namira lakukan. Perempuan itu sudah lama mendengar teriakan Zafi tetapi sengaja tidak membukanya. Namira pikir Zafi marah padanya karena sesuatu telah terjadi pada Kanara ditengah badai ini sehingga Zafi kembali melampiaskan kemarahannya pada Namira. Begitulah apa yang tadi Namira pikirkan tentang kedatangan Zafi. Hal itu membuatnya mencari apapun agar terkesan dia tak mendengar teriakan kelaki itu.
Beruntung ia menemukan earphone sekaligus spiker kecil ini di dalam laci nakasnya. Segera saja Namira berpura-pura sedang memakainya dan menghidupkan musik yang kencang seakan tak pernah mendengar teriakan Zafi. Meski pada akhirnya Namira membukanya juga.
"Kamu mau ngapain?" pekik Namira tanpa menyebut nama lelaki itu.
Zafi tersenyum sinis. Ia menutup pintu dan menguncinya. Membuat bola mata Namira melotot dengan sempurna.
"Kanara lagi tidur, dia nggak akan tahu kalau aku ada di sini dan buang kamu ke laut," ucap Zafi menakuti Namira.
"Dasar gila," Namira mencoba terkekeh meskipun terdengar sangat aneh.
Namira mengangkat dagunya dengan sombong, ia sedang menggertak Zafi agar lelaki itu berhenti menakutinya. Lagi pula jika Zafi benar-benar akan melemparnya ke laut, mana mungkin orang-orang yang ada di kapal ini membiarkannya, ya kan? Ck. Namira ragu. Sebab semua yang ada di kapal ini adalah milik Zafi. Kecuali Namira tentu saja. Selain karena Namira adalah pengganggu, Zafi juga tidak sudi mengkalimnya sebagai miliknya.
"Gila? Sini aku tunjukin kayak gimana gila itu," ucap Zafi yang sudah sampai tepat di depan Namira. Lelaki itu dengan berani menyentuh wajah Namira membuat Namira bergidik ngeri. Namira kesal sekali karena hari ini Zafi muncul di depannya berkali-kali. Padahal lelaki itu sendiri yang melarangnya untuk menampakan diri.
Sungguh, demi apapun Namira rela terkurung di kamar mandi sendirian dalam keadaan gelap gulita dari pada mendapat tatapan mengancam yang saat ini Zafi tunjukan. Bahkan saat ini lelaki itu semakin mendekatkan kepalanya kepada Namira. "Seperti ini," perkataannya semakin membuat Namira ketakutan. Mungkin lebih baik Zafi melemparnya ke tengah laut dari pada memperlakukannya dengan cara yang seperti ini. Namira yakin dirinya akan terbunuh karena tak bisa menahan degup jantungnya sendiri.
"Zaf lepasin!" pinta Namira dengan lembut. Ia tak lagi berteriak karena itu tak akan mempan bagi Zafi.
Zafi berdecak. "Jangan sebut namaku dengan cara itu, Nara." wajah Namira yang tadi sedikit berubah takut kini kembali terkekeh. Sudah dia duga, Zafi tidak sanggup mendengar suara lembutnya, persis Kanara. Sekarang bolehkah Namira sedikit menunjukan bakatnya pada Zafi dengan meniru cara bicara Kanara? Ck. Pada siapa Namira meminta izin? Dia berhak melakukan apapun untuk melindungi diri dari lelaki ini.
Namira berdehem sejenak sebelum memulai ektingnya. "Kenapa Zafi?" tanyanya lembut. Seketika Zafi terdiam. Ia tidak mengerti wajah Namira yang kecil terlihat imut di matanya. Dia juga tak paham kenapa suara lembut Namira sedikit mempengaruhinya. Sementara itu Namira juga terkejut dengan reaksinya sendiri ketika mata tajam Zafi menatapnya dengan lembut. Namira tak bisa berkata-kata, ia hanya diam menyaksikan betapa indah seorang Zafi bila dilihat dari jarak yang sedekat ini. Wajar saja Kanara sangat mencintainya. Seperti yang Kanara katakan bahwa Zafi adalah lelaki yang lembut dan penuh kasih. Namira dapat melihat itu hanya dengan sekali menatap lekat ke dalam matanya.
Cukup lama keduanya terdiam sampai guncangan yang cukup kuat membuat mereka sama terkejut dan mengakibatkan Zafi terjatuh. Satu-satunya tempat ia berpegangan adalah Namira sehingga perempuan itupun ikut jatuh ke atas tubuh Zafi. Lagi, keduanya sama-sama terdiam hingga suara teriakan dokter Killa terdengar nyaring memanggil nama Kanara.
.
.
.
B E R S A M B U N G