bc

Cinta di Antara Dosa

book_age18+
66
IKUTI
1.3K
BACA
dark
forbidden
age gap
kickass heroine
boss
mafia
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
serious
kicking
city
office/work place
cheating
secrets
love at the first sight
friends with benefits
athlete
like
intro-logo
Uraian

Abella dan Chiara adalah anak kembar yang tak terpisahkan, tetapi cinta membuat mereka berseberangan.

Abella jatuh hati pada Kieran Ezrepaty yang hidupnya dipenuhi kebebasan tanpa batas. Ia percaya cintanya cukup untuk menyelamatkan. Tapi bagaimana jika cinta itu justru menyeretnya ke dalam luka yang tak ia pahami?

Chiara memilih sosok pria dewasa, berwibawa, dan mengayomi bernama Lucan Maelric. Namun, di balik pelukan hangat itu tersembunyi sikap dingin dan mengikat—cerminan luka masa lalu yang seharusnya sudah mati bersama kenangan ayah mereka.

Ketika cinta mulai memecah mereka, ketika luka masa lalu kembali hadir lewat wajah pria-pria yang mereka peluk ... mampukah mereka memilih jalan yang benar, sebelum segalanya terlambat?

Ini adalah kisah tentang cinta yang salah, pilihan yang pahit, dan keberanian untuk menyelamatkan diri—bahkan dari orang yang paling kita cintai.

"Cinta Di Antara Dosa"

—His love felt like drowning in fire—

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Pertemuan Tidak Sengaja
Dalam remang cahaya gedung pencakar langit, denting piano mengalun pelan, mengisi sunyi malam. Seorang gadis memainkan tuts dengan hati yang muram—sorot matanya sendu, tak secerah biasanya. Gadis pengagum seni satu ini sedang tidak baik-baik saja. Padahal sudah terhitung enam bulan berlalu, dia masih saja terjebak pada kenangan masa lalu. Kadang satu hari dirinya terlihat biasa saja, namun di hari lain dia tampak seperti seseorang yang kehilangan arah. Dan ya, mungkin ini yang namanya relapse. Saat di mana seseorang berpikir dia berhasil sembuh, tetapi nyatanya hanya denial saja. Ini part paling menyebalkan setelah perpisahan, ingin sekali melupakan, namun rasa cinta yang dimiliki pada orang tersebut sangat besar. Chiara memilih menelan lukanya dalam diam, berharap terbiasa, lalu sembuh—sebab lari tak pernah benar-benar menyembuhkan. Dia menutup permainannya dengan melodi indah, sebuah penutup yang manis tapi penuh luka. Lagu itu akan selalu menyisakan sakit di hati siapa pun yang mendengarnya. Chiara bangkit dari sana, membiarkan piano dalam keheningan. Angin dingin menyusup lewat tirai putih yang terbuka, merayap perlahan, menambah hening malam. Melangkah ke ruang tengah, Chiara sembarangan menggulung rambut ikalnya. Ponsel di tangan bergetar, menunjukkan tiga panggilan tak terjawab dan belasan pesan dari kembarannya. Chiara belum sempat menelepon Abella, matanya terpaku pada kotak merah muda dekat televisi yang tak tersentuh sejak minggu lalu—tempat dia menyimpan sisa-sisa kenangan yang harus disingkirkan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Chiara mengambil tempat pembakaran kecil di pojok balkon. Dulu, tempat itu sering digunakan sang mantan untuk membuang sisa-sisa rokoknya ketika main di unit Chiara. Mereka senang menghabiskan waktu santai di balkon sambil bercerita banyak hal. Saat api menyala lembut, satu per satu foto mereka diserahkan pada kobaran itu, perlahan lenyap dalam abu. Mulutnya tetap diam, tapi hati menjerit berisik. Air mata jatuh tanpa izin, bibirnya bergetar pilu, menahan sesak saat kenangan berubah menjadi debu yang hilang tanpa jejak. Bukan hanya foto, Chiara juga membakar barang-barang pemberian sang mantan—jepit rambut bergaya karakter, ikat dan bandana, serta perhiasan yang dulu memperindah dirinya. Hubungan yang berakhir enam bulan lalu itu, bermula sejak mereka masuk perkuliahan. Jika sekarang usianya dua puluh tiga tahun, berarti hubungan mereka berlangsung hampir lima tahun—tepatnya dimulai saat Chiara berusia delapan belas tahun, lalu ditambah tiga tahun ketika Chiara menyukai lelaki itu diam-diam semasa sekolah menengah atas. Bukan waktu yang singkat, wajar jika Chiara tak semudah itu beranjak dan melupakan. Dia perlu waktu dan menghargai setiap proses sembuhnya, meski kadang masih sering gagal. Dering ponsel membuyarkan lamunan Chiara, benda pipih di atas meja itu berputar pelan sepanjang getaran dering si penelepon. Masih sama seperti tadi, Abella yang menghubunginya. "Apa sih, Abell. Nggak tau tengah malam, ribut aja kerjaannya." Chiara mengomel sebal, dia melirik jam yang sudah menunjuk hampir ke angka satu dini hari. Antara dua kemungkinan saja, jika tidak berkeliaran di luar, berarti anak itu sedang mengalami insomnia. Biasanya Abella selalu meminum berbagai jenis teh khusus insomnia dulu agar tidurnya lebih tenang. Sebelum menelepon Abella, Chiara memadamkan api dengan percikan air, lalu membungkus tubuhnya rapat dalam selimut. Gerimis menciptakan udara kian dingin hingga menusuk tulang, tetapi Chiara enggan masuk. Suasana sendu seperti ini justru terasa makin menenangkan baginya. "Chiara Chesna Faresta. Di mana lo?" pekik seseorang di seberang sana ketika sambungan terhubung, bahkan tanpa aba-aba. Gadis yang tengah diteriaki ini, langsung menjauhkan ponsel dari telinga. Refleks mengumpat kesal. "Minum lagi nih pasti. Lo mabuk, 'kan?" Abella ketawa tanpa dosa, sambil menggaruk-garuk pelipisnya yang terasa gatal. "Tebak gue di mana sekarang?" Chiara mengerutkan dahi, mulai mendengarkan kebisingan dari lawan bicaranya tersebut. Bahaya, Abella rupanya tidak bersenang-senang di unit pribadinya. "Pulang, nggak? Gue aduin Bang Zio kalau lo nekat setiap malam ke club!" Terdengar dari suara Abella yang berayun, kembarannya itu sedang di bawah pengaruh alkohol. Chiara hapal sekali. Mengadu pada Zionathan adalah pilihan paling rendah risiko, daripada harus mengadu pada Damian maupun Ratih. "Nggak, gue lagi sebel sama Kieran. Kami berantem lagi, dia ilang nggak ngabarin gue. Cowok brengsekk itu lagi-lagi buang gue kayak sampah," adunya nyerocos tanpa henti, sesekali menekan dadaa terasa sesak. "Cewek secantik gue diginiin. Hellow?!" "Belum tau aja dia siapa bokap gue. Nanti ditembak kepalanya baru tahu rasa. Bokap gue Damian Faresta coy, Damian Faresta." "Udah? Pulang sekarang!" Abella menangis, terisak pilu. Kali ini dia berjongkok di depan wastafel toilet salah satu club yang cukup terkenal di pinggiran kota. Padahal Damian sudah melarang si kembar ke sana, menyuruh beberapa orang mengawasi pergerakan mereka, setelah minggu lalu ketahuan party ugal-ugalan sampai ngesot di lantai. Keduanya mabuk berat. "Kieran ninggalin gue, Chia. Katanya nggak bisa tidur tanpa denger suara gue, terus sekarang apa? Udah dua hari dia nggak ada kabar. Gue harus cari Kieran ke mana?" Chiara beranjak dari balkon, mendengkus sebal. Tidak menyangka Abella sebodoh ini dalam percintaan, melebihi dirinya. "Gue jemput. Lo diam di sana." "Nggak. Jangan jemput gue, biarin Kieran aja yang jemput." "Gue yang jemput atau Damian Faresta yang ke sana, Abell? Bukan cuman Kieran yang bakalan ditembak Papa, kepala lo juga sekalian." Chiara menggeram, geregetan sambil melangkah menuju lift, meninggalkan unitnya di tengah malam begini. Mereka tinggal di gedung apartemen milik Almeer bersaudara. Semoga saja kepergiannya kali ini tidak ketahuan sang Papa. Kalau Damian tahu, Abella maupun Chiara tidak diperbolehkan lagi tinggal di apartemen, harus kembali ke kediaman Faresta, dan itu tidak menyenangkan. Berada di kediaman orang tua membuat mereka tidak bisa hidup bebas, apalagi ada Oma-nya yang cerewet sekali. Kalau kata Zionathan, si wanita tua bangka itu masih saja panjang umur. "Chia, lo jangan ke sini. Gue mau kabur aja." "Diam, atau langsung gue laporin ke Papa?" Sambungan telepon mereka terputus sepihak, Abella langsung menonaktifkan ponselnya agar Chiara tidak bisa mengomel atau menerima pesan berbentuk apapun. "Damn. Bocah tengil ini." Chiara memasang mantel tebalnya, mengemudi laju membelah jalanan ibu kota. Dia sebenarnya sedikit meriang tidak enak badan, tapi Abella tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jalanan sangat sepi, memudahkan mobilnya melaju tanpa hambatan. Namun, sebelum sampai pada club malam itu, ternyata mobil soul red crystal milik Chiara tiba-tiba mogok di tengah perjalanan. Tidak henti dia mengumpat, mengacak rambutnya frustasi. "Sedini hari ini harus mogok, Cherry? Ngerepotin banget kamu. Lama-lama kujual kamu, ya." Mobil kesayangannya bernama Cherry, kali ini sudah terhitung dua kali dia mengamuk di saat yang tidak tepat. Chiara terus menghubungi Abella, berharap gadis itu menyahut tanpa drama, tetapi nihil. Akhirnya mau tak mau, Chiara beralih pada salah seorang kepercayaan Papanya, meminta pertolongan agar menjemput dan mengamankan Cherry tanpa sepengetahuan Damian. Sayangnya, pria itu juga tidak dapat dihubungi. "Uncle Felix ih, katanya selalu bisa diandalkan," katanya berusaha mengirimkan beberapa pesan, menyuruh Felix bangun jika pun ketiduran. "Badan aku panas. Aku kayaknya mau demam ini." Chiara duduk di pinggiran jalan, tepat di depan Cherry, mengacak cepolan yang sudah tidak beraturan sambil melihat layar ponselnya yang terus berusaha menghubungi Felix. Penampilan Chiara acak-acakan, seolah dirinyalah yang seharusnya diselamatkan bukan Abella. "Nggak ada taksi di sini, Uncle. Tolong angkat teleponnya." Chiara sesegukan, suasana hatinya berantakan. Ini saat yang tepat dia mengeluarkan emosi yang tertahan sejak tadi. "Semua cowok brengsekk. Mati aja, mati." Chiara menenggelamkan wajah pada kaki yang terlipat, memeluk dirinya sendiri. Dia akhir-akhir ini sangat emosional dan kesepian, malas berinteraksi dengan siapa pun. Hatinya sakit, sampai kesulitan menjelaskan maunya apa. Chiara kembali merasa sedih berkepanjangan karena terjebak oleh rasa rindu, mungkin? "Semoga cowok yang nggak cukup satu cewek, alat kelaminnyaa dipotong malaikat." Seseorang yang sejak tadi berdiri tak jauh dari Chiara, langsung berjengkit kaget, membulatkan mata. Baru datang, dia sudah kena sumpah serapah. "Tamat dong masa depannya?" sahut dia asal, sekenanya saja. Merasa ada yang menyahut makiannya, Chiara menoleh ke sumber suara, was-was kalau orang jahat atau orang gila. Keduanya saling menatap hingga beberapa saat, sebelum akhirnya tubuh Chiara oleng. Gadis itu pingsan, tanpa bisa dicegah. "Taylor. Bawa mobil gadis ini." "Ke kediaman Anda?" Hanya dibalas anggukan singkat. "Kita tidak jadi mengunjungi kediaman orang tua Anda?" "Masih ada hari lain." Kemudian sigap menggulung lengan kemejanya hingga siku, sebelum mengecek keadaan Chiara. Takutnya gadis itu pura-pura pingsan, dia sudah sering menemui wanita yang berpura-pura demikian hanya untuk menghabiskan malam dengannya. "Sebaiknya telepon pihak rumah sakit saja. Anda harus segera menghadap Tuan Thorne, sebelum terjadi sesuatu." Bukan tanpa sebab dia berhenti di tengah jalan seperti sekarang, bukan? Mungkin saja ini pertanda dari Tuhan untuk menyelamatkan dirinya dari cecaran sang Ayah. "Gadis ini demam, Taylor, dia perlu pertolongan." Menggendong Chiara tanpa banyak mikir, membawa ke mobil. Dia mengecek suhu tubuh Chiara, kemudian mengambil kotak obat yang tersedia. Untungnya masih ada stok kompres demam keponakannya. "Mobilnya mogok." Supir sekaligus tangan kanan bernama Taylor kembali menginformasikan lebih lanjut setelah tidak bisa menyalakan mesin mobil Chiara. "Anda tidak kapok dijebak wanita? Ini sudah sering terjadi, hanya membuang waktu Anda." Bukannya terpengaruh, pria itu malah sibuk mengemas barang Chiara yang akan dia bawa. "Kamu atur semuanya, sementara saya akan mengurus dia. Jangan beri tahu pada orang tua saya mengenai hal ini." Saat tangannya terangkat, artinya Taylor tidak diberi kesempatan bicara lebih banyak. "Jika perlu, tidak usah mengangkat telepon dari mereka. Abaikan saja, saya tidak akan ditembak mati." Sebelum melajukan mobil, dia tersenyum miring seolah ini lelucon mengasikkan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.4K
bc

TERNODA

read
198.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
53.4K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook