29. Cemburu yang salah

1106 Kata
"Apa-apaan ini?" tegur Okna. Dia langsung menarik tubuh Adras dan memposisikan diri di depan Harpa. Mata dan wajah memerah. Otot-otot leher menegang. Bibir Okna bergerak-gerak. Bisa diterka, mulut gadis itu ingin memaki hanya bingung bagaimana dia harus berucap. "Apa kamu punya harga diri? Dia tunanganku! Calon suamiku! Kamu pimpinan di sini, harusnya bisa memberi contoh yang baik, bukannya menggoda calon suami orang!" bentak Okna. Napas Okna naik dan turun dengan cepat. Sedang Harpa masih menatap gadis itu dengan santainya. Malah Harpa menahan tawa, dia merasa puas menyimpan Okna di posisi yang sama dengannya dulu. "Jauhi tunanganku! Kalaupun kamu gak merengek pada Papamu, dia gak akan jadi sekretaris kamu! Lebih baik dia kerja lainnya dibandingkan mengurus wanita manja dan bodoh kayak kamu!" tunjuk Okna. "Okna, kamu salah paham," ucap Adras memegang tangan Okna dan berusaha menjauhkan wanitanya. "Aku ke sini karena aku merasa bersalah, takutnya kamu disalahkan kalau wanita manja ini hilang! Ternyata yang aku lihat kayak gini!" Harpa berjalan keluar dari lift. Okna menyusulnya menarik tangan Harpa dan hendak menampar. Saat itu tangan Harpa menahan. "Kamu pikir, siapa kamu? Hanya pegawai magang dan berani bersikap begini padaku! Orang tuamu hanya manager di sini? Mau aku singkirkan mereka saat ini juga?" ancam Harpa dengan tatapan tajam. Tangan Okna langsung Harpa hempaskan. "Jadi kamu sekarang beraninya cuman main ginian?" sindir Okna. "Nyatanya itu perbedaan kita berdua. Terima saja, aku jauh ada di atasmu hingga gak bisa kamu raih. Berhenti bersikap seolah kita masih teman satu kampus, dulu pun kita gak berteman!" Harpa menunjuk-nunjuk wajah Okna. Adras menempatkan diri di tengah kedua wanita itu. Dia berdiri menghadap Harpa kini. "Saya meminta maaf atas namanya." Pria itu menunduk. Harpa tersenyum licik. "Saya tahu dia sudah bersikap tidak sopan pada Anda. Saya janji ini tidak akan terulang kembali. Silakan lanjutkan tugas Anda, CEO. Izinkan saya menyelesaikan semua ini." Malas lama berdebat, Harpa berbalik. Dia melangkah maju menuju ruangannya. Adras sempat melirik pada Okna. "Tadi kami hanya berdebat karena sesuatu. Tak perlu khawatir," jelasnya kemudian pergi meninggalkan Okna. Wanita itu hanya bisa diam menatap kepergian Adras yang menyusul Harpa. Okna duduk di lantai sambil memeluk lutut. Dia terbayang apa yang terjadi di masa lalu. Adrasha sudah menjadi pujaan hatinya. Pria tampan dengan sikapnya yang baik pada siapapun. Saat itu, Okna datang ke kampus sendiri. Mahasiswi yang menjadi korban perundungannya bersatu mengeroyok Okna di gudang kampus. Dia dipukul dan dikatai. Adras datang ke gudang untuk mengambil lap pel akibat tanpa sengaja menumpahkan enam gelas coklat dingin. Melihat Okna diperlakukan demikian, Adras membela wanita itu. "Tapi dia yang lebih dulu memperlakukan kami begini!" salah satu dari pelaku membela diri. Adras mendekati mereka. Dia membantu Okna untuk berdiri dan memberikan jaket. "Lalu apa bedanya kalian dengan dia? Tak perlu menuntaskan sesuatu dengan balas dendam. Cukup saling melindungi kalau kalian jadi korban lagi. Biar dia mendapat hukuman sosialnya sendiri," nasihat Adras. Kini mata Adras menatap Okna dengan hangat. "Bersikap baik pada orang, sayang wajah kamu cantik kalau bersikap kasar. Mereka juga sama-sama manusia seperti kamu." Pria itu langsung meninggalkan gudang sambil membawa lap pel. Sejak itu jantung Okna berdebar setiap kali melihat Adras. Setelah meminta pendapat teman-temannya, Okna putuskan untuk mengajak Adras berkenalan dengan mengembalikan jaketnya. Dia sudah memasukkan benda itu ke dalam tas kertas cantik. Tiba di kelas Adras, Okna berdiri di pintu. Adras berdiri, menatap ke arahnya. Perasaan Okna melambung begitu Adras melambaikan tangan. Karenanya Okna balas. "Cantikku!" panggil Adras kemudian berlari ke arah pintu. Okna hendak melangkah, tapi seorang gadis berlari melewatinya dari belakang. Adras mengulurkan tangan dan memeluk gadis itu, membuat Okna kaget hingga terdiam dengan mata yang terbelalak. "Kangen aku, gak?" tanya gadis itu. Adras mengangguk. Tangannya mengusap lembut gadis dalam pelukan. "Mau bilang kangen, takutnya kamu pingsan," jawab Adras sambil terkekeh. "Kamu gitu, ih! Padahal aku kangen banget," keluh gadis itu. "Adras sama Harpa cocok banget, ya? Sama-sama baik," komentar salah satu mahasiswa. Okna kenal dengan wanita itu, Harpa Kariswana dan mereka satu kelas. Sejak itu rasa tidak suka Okna muncul. Dia sering menghasut orang agar tidak suka dengan Harpa. Ujungnya, Harpa tak punya banyak teman di kampus. Sayangnya, Adras tak pernah terpengaruh. Pria itu masih selalu mendampingi Harpa, memegang tangannya dan menjaga dengan penuh perhatian. Sedang Okna hanya bisa melihat dari kejauhan. Kini kejadian yang sama rasanya seperti terulang. Meski Adras sudah jelas menjadi miliknya, pria itu tetap berada di sisi Harpa. Pintu lift kembali terbuka. Dios keluar dari sana dan melihat Okna duduk sambil menangis. "Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Dios. Okna mendongak. Dia berdiri dan menghadap ke arah pria itu. Mata Okna sempat melirik ke lift. "Baru dari mana kamu?" tanya Okna penasaran. Dios menyipitkan mata. "Anda bukan manajer saya, jadi tidak perlu saya jawab," tegas Dios kemudian pergi ke lift khusus karyawan biasa untuk turun ke ruang latihan. Okna tersenyum sinis. "Dios? Bukannya dulu dia punya hubungan dengan Harpa? Kenapa mereka turun dengan lift yang sama?" pikir Okna. Lantai di atas setelah lorong ini hanya rooftop. Kalau Harpa dan Dios turun dari lift, artinya mereka ada di lantai yang sama. Sedang Harpa duduk di kursinya. Adras berdiri menghadap wanita itu. "Temanku Isla akan masuk besok. Aku sudah siapkan posisi untuknya. Aku harap kamu bisa menunjukkan pegawai yang akan membantunya memahami pekerjaan," pinta Harpa. "Baik," jawab Adras. Harpa melirik sejenak ke arah pria itu. "Tumben dia gak ngajak berantem lagi," batin Harpa. "Kalau begitu, saya pamit ke ruangan untuk mempersiapkan pesta malam ini," izin Adras. "Kamu ada pesta apa?" Harpa mengambil pulpen di atas meja. "Coba Anda baca kembali jadwal," pinta pria itu. Harpa melirik jadwal yang dia print dan tempel di atas meja. Karena meja dilapisi kaca, jadilah Harpa bebas menempelkan apa pun. "Oh, aku lupa lagi. Ya sudah, tenangkan dulu tunangan kamu sekalian sana. Dia bisa bikin aku darah tinggi. Aku gak mau marah-marah, nanti cepat keriput," protes Harpa. Adras berbalik. Baru beberapa langkah, dia berhenti kemudian berbalik lagi. "Apa yang sebenarnya Anda rencanakan?" tanya Adras. Harpa mengangkat wajahnya. Hendak menandatangani sebuah dokumen, dia terlanjur kaget dengan pertanyaan Adras. "Maksud kamu?" tanya Harpa terlihat bingung. "Ada dua teman yang Anda masukan ke perusahaan ini. Aku tahu jelas siapa Narvi, walau tidak dengan yang satunya lagi. Anda memang baik, tapi tak mungkin Anda memasukkan orang hanya karena hubungan persahabatan. Apalagi Anda sangat tegas tentang perombakan pegawai." Harpa menggaruk kulit kepala dengan ujung pulpen mahalnya yang menembus harga dua puluh juta. "Kamu cerdas juga. Tapi cerdasnya masih kurang. Narvi dan Isla aku kenal karena sama-sama fans Diamond. Ngerti?" Adras mengangguk. Dia menunduk di depan Harpa dan kembali berjalan ke luar. Harpa mengerutkan bibir. "Sudah aku tebak, dia pasti akan curiga cepat atau lambat. Sepertinya aku memang harus medekati Dios seolah punya perasaan. Kalau tidak, bisa hancur rencanaku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN