Harpa masih sibuk merapikan anak rambutnya yang tertiup angin. Dia takut terlihat jelek di depan mata Dios. Entahlah, apa perasaan pada idola bisa disamakan dengan perasaan pada lelaki seutuhnya. Hanya saja Harpa selama ini melihat Dios dari balik kaca dan berita. Dan kini pria itu begitu nyata ada di sampingnya.
"Kamu pernah berpikir untuk meninggalkan agensi ini?" tanya Harpa penasaran.
Dios melirik gadis itu. Wajahnya telihat bingung dengan tatapan penuh pertanyaan. "Anda sedang menguji kesetiaan saya pada perusahaan?" tanya Dios balik.
Air talang jatuh menetes ke atas daun seladah yang tubuh dalam pot hidroponik. "Bukan begitu." Harpa menggerak-gerakan kedua tangannya. Dia bingung bagaimana menjelaskan. Mumpung bertemu dengan Dios, Harpa ingin memastikan kalau pria itu bisa diajak ke pihaknya. "Aku tahu kalau sepupuku pernah melakukan kesalahan besar," ungkap Harpa.
Alis Dios terangkat sebelah. "Maaf, aku tidak kenal sepupu Anda, Nona."
Harpa terkekeh dan menepuk lengan Dios. Tak lama dia sendiri yang kaget. "Itu, aku gak sengaja. Maksud aku, aku lupa harusnya menyebutkan nama. Gera Raditya, kamu ingat?"
Mendengar nama itu, bisa terlihat perubahan ekspresi Dios walau hanya beberapa detik. Setelah itu Dios berusaha menyembunyikannya. "Itu hanya masa lalu dan seseorang pasti pernah punya masalah. Aku sudah memaafkan semuanya. Lagipula kontrakku dengan Callir masih panjang," jelas Dios.
Harpa memalingkan pandangan ke arah kolam di sampingnya. "Kalau masih menyimpan dendam juga tak apa. Aku dan kamu ada di posisi yang sama. Kalau kamu ingin memberi perhitungan, aku akan berdiri di belakangmu. Kadang kita harus berjalan salin menuntun agar bisa berdiri tegak, kan?" tawar Harpa.
Dios tertegun. Matanya kini menatap Harpa dengan dalam. "Aku bukan orang seberani itu, Nona. Lagipula, apa tak masalah Anda mengatakan ini pada saya?" tanya Dios.
Harpa membasahi bibirnya. "Aku sudah lama memperhitungkan ini. Aku memang hanya sebatas fans, tapi kamu sangat aku butuhkan untuk ini. Kalau sampai aku salah jalan, Gera yang akan mengusai Callir. Aku tak punya banyak dukungan dari jajaran direktur. Hanya aku berharap memiliki dukungan dari para artis dengan bantuanmu."
Adras selesai makan dan mengantar Okna ke ruangannya. "Gak bisa kamu lebih lama di sini?" tanya Okna melingkarkan lengan di pinggang pria itu.
"Aku harus kerja. Lagipula ini semua demi hari pernikahan impian kamu, kan?" Adras mengusap rambut Okna. Wanita itu terpaksa mengangguk. Adras melepaskan lengan Okna dari tubuhnya. "Aku pergi dulu. Jaga kesehatan," pamit Adras kemudian mengecup kening Okna.
Dia berjalan pergi. Saat itu pula Adras hampir bertabrakan dengan penjaga Harpa yang menyusulnya. "Ada apa?" tanya Adras melihat penjaga itu berwajah pucat.
Pria itu menunduk di depan Adras. "Maaf, Tuan. CEO izin untuk ke toilet dan sudah selama empat puluh lima menit tidak kembali. Saya memeriksa toilet terdekat dan lantai di bawahnya, beliau tak ada di sana," ungkap penjaga itu.
"Apa?" tanya Adras kaget. Dia mengusap kening dan rasanya ingin memaki. "Periksa CCTV!" tegas Adras. Mereka berlari ke ruang keamanan. Di sana rekaman saat Harpa hilang Adras perhatikan dengan baik.
"Tunjukan CCTV di rooftop," pinta Adras. Petugas langsung mengalihkan gambar di layar. Hati Adras merasa tertusuk melihat Harpa duduk berhadapan dengan Dios. Sedang pria itu mengusap pipi Harpa. "Hapus semua rekaman ini!" titah Adras.
Lekas pria itu berlari menuju lift. "Harpa! Berapa kali aku bilang untuk jangan mendekati pria itu! Kenapa kamu nakal sekali?" batin Adras. Selama di dalam lift, kaki Adras mengetuk-ngetuk lantai benda itu. Tak lama pintu lift terbuka. Adras langsung berlari ke pintu atap dan mendorongnya. Dia melirik ke kanan, di sana pria itu menemukan Harpa tengah tertawa dengan Dios.
Adras raih tangan Harpa dan ditariknya untuk berdiri. "Anda apa masih belum mengerti tentang apa yang saya peringatkan?" bentak Adras.
Harpa mendelik. "Ada hak apa kamu mengaturku?" omel Harpa.
"Ini semua demi kebaikan Anda. Harusnya Anda tahu di mana kini Anda berada. Kalau sampai orang lain yang melihatnya, Anda akan diserang orang-orang yang ingin menjatuhkan Anda." Adras menatap Harpa dengan tajam. Napasnya naik dan turun dengan cepat. Terlihat jelas keringat yang menetes dari sudut keningnya.
Dios ikut berdiri. Dia menepuk bahu Adras. "Santai saja. Jangan berpikiran terlalu rumit. Lagipula apa salahnya?"
Adras tepis lengan pria itu. Kini mata Adras dan Dios saling bertatap tajam. "Kamu harus tahu kedudukan kamu di sini bukan siapa-siapa." Nada suara Adras penuh dengan penekanan.
"Kamu juga bukan siapa-siapa. Apa kamu saudaranya? Calon suaminya? Bukan? Jadi jangan bertindak seolah kamu yang mengatur hidupnya," balas Dios.
Tangan Adras hendak meraih kerah kaos Dios, hanya Harpa langsung tahan. "Kamu apa-apaan, sih? Gak usah berlebihan, bertindak sepantasnya sebagai sekretaris!" Harpa memperlihatkan kuasanya. Wanita itu langsung berjalan melewati Adras. "Dios, aku kerja dulu. Nanti kita bertemu lagi," pamit Harpa.
"Sampai jumpa," balas Dios sambil tersenyum.
Adras mengikuti Harpa sembari merapikan pakaiannya. "Aku memang sudah keterlaluan, tapi semua itu Anda yang memulai," ucap Adras begitu mereka melewati pintu rooftop. Harpa menekan tombol lift.
"Kamu mungkin bisa ikut campur dengan masalah lainnya. Tapi tidak dengan hubunganku dengan Dios. Lagipula kamu sendiri bilang, orang lain terlanjur tahu masalah dua tahun yang lalu. Jadi kalau sekarang tahu, tak perlu heran," dusta Harpa membuat pengertian lain di pikiran Adras.
"Dan membuat Callir hancur akibat skandal hubungan artisnya dengan CEO?" timpal Adras. Pintu lift terbuka. Harpa masuk dan berbalik. Sambil bersandar ke lift, dia tersenyum licik. Adras turut masuk, terdengar bunyi saat pintu benda itu benar tertutup. Tangan Adras menekan nomor lantai di mana kantor Harpa berada.
"Memangnya kenapa aku harus kehilangan segalanya untuk perusahaan ini? Aku hanya perempuan, kalau menikah pun Dios yang akan menafkahiku."
"Tapi impian ayah Anda bergantung di perusahaan ini."
Harpa mendengkus. "Dan bagaimana kalau impianku bergantung pada Dios? Tidak boleh?" Harpa memajukan wajahnya hingga mendekat ke wajah Adras.
"Anda bukan anak kecil lagi untuk terjebak dalam cinta buta, CEO!" Adras malah semakin sengaja mendekatkan wajahnya. Hanya tersisa jarak lima senti hidung keduanya. "Kalau Anda masih terus seperti ini, saya angkat tangan untuk menolong Anda."
Harpa terkekeh. "Kamu cemburu?" tegur Harpa.
Adras tak membalas ucapan wanita itu. "Kamu lebih seperti pria yang melarang wanitanya bersama lelaki lain, dibandingkan sekretaris yang peduli dengan masa depan perusahaan," ledek Harpa.
"Anda ingin aku cemburu pada Anda?" Adras malah ikut memancing.
Pintu lift terbuka. Kedua manusia itu masih saling tatap dengan wajah berdekatan. Mereka sampai tak sadar Okna berada di sana, kaget melihat posisi keduanya.