27. Pertemuan Dengan Dios

1028 Kata
Adras menyimpan dua nampan makanan di atas meja. Dia menata piring-piring, alat makan dan gelas minuman. Sedang Okna hanya duduk menunggu di kursi kantin. Kini mereka berdua saling berhadapan. Suasana di kantin ramai saat itu. Ada banyak orang-orang tengah berbincang. Makanan di kantor disediakan gratis. Hanya camilannya saja yang tidak. Minuman lain harus bayar, kecuali teh dan air putih. Ada banyak meja panjang dengan kursi yang mengelilinginya. Semua kursi itu penuh oleh grup karyawan di sana. Hanya meja Okna dan Adras masih kosong. Sejak tahu Adras menjadi sekretaris CEO, karyawan lain menjadi sangat menghormatinya. "Akhirnya atasan kamu itu berhenti merepotkan kamu lagi," komentar Okna sambil membersihkan sendok dengan tissue. Adras melakukan hal yang sama. "Itu menjadi tugasku" jawabnya. Terdengar Okna membersut. "Terus saja kamu bela dia. Bukannya di sini aku yang jadi tunanganmu? Bahkan yang kamu antar dan jemput malah dia," protes Okna. Adras tak membalas ucapan gadis di depannya itu. Dia terlalu lelah dan lapar. Karena Adras tidak mengacuhkan, Okna terpaksa langsung makan walau masih mendumel di dalam hati. Wanita mana yang tak kesal saat tunangannya terus bersama mantan. Apa yang Okna rasakan sangat manusiawi, hanya tidak tepat dalam hal pekerjaan. Kadang dia sering mengkhayal Harpa tengah menggoda Adras dan pria itu masuk dalam rayuan. "Kamu mungkin merasa aku berlebihan. Hanya saja Harpa pernah memperingatkan aku kalau dia akan memastikan pernikahan kita tak pernah terjadi. Memang kamu tidak curiga kalau kedudukan kamu sekarang hasil dari rengekannya pada Tuan Chaldan?" ungkap Okna. Adras sempat terdiam. Beberapa saat Setelah itu, dia kembali makan. "Kamu hanya akan sakit dan depresi karena memikirkan ucapan orang lain. Orang tua kita sudah sama-sama sepakat atas pernikahan ini. Jadi tak perlu merasa takut. Hubunganku dengan CEO hanya sebatas pegawai dan atasan," tegas Adras sudah kesekian kalinya. Okna memegang tangan pria itu. "Hari Minggu ini kamu libur, kan? Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan. Kamu pasti sudah lama gak main basket," ajak Okna. Adras tersenyum. "Baiklah. Aku akan jemput kamu jam sembilan pagi." Tubuh Okna bergerak-gerak senang. "Makasih banyak," ucapnya. Sambil makan, mereka saling berpegangan tangan. Sesekali mereka membicarakan tentang apa yang mereka lakukan selama berpisah karena melanjutkan studi. "Jadi aku pikir dia sudah gak ada urusan lagi denganku," ungkap Okna. "Kenapa gak kamu coba chat dia duluan?" saran Adras. Pria itu membersihkan bibir Okna. Sedang si wanita menggeleng. "Dia lebih dulu memulai, kenapa harus aku yang hubungi dia duluan? Bukannya malah kesannya kayak aku yang membutuhkan dia?" protes Okna. Adras menyimpan tissue bekas di atas nampan agar mudah dia buang nanti. "Kadang kita harus menurunkan ego, karena tak semua orang bisa peduli dengan orang lain. Hanya sebagai manusia yang baik, lebih bijak kita mengalah lebih dulu." "Kalau dia malah makin melunjak?" Okna sedikit memiringkan wajahnya. "Artinya dia bukan teman yang tepat untuk kamu. Jadi kamu bisa jauhi. Lagipula kamu punya banyak teman, kan? Kehilangan satu yang menyebalkan tak apa." Bibir Okna bergerak ke sisi kanan dan kiri. Tak lama dia tersenyum dengan kelopak mata ikut melengkung. "Paling penting punya calon suami yang tepat." Harpa melihat jam tangan. Sudah pukul satu dan Adras belum kembali juga. Wanita itu tersenyum licik. "Bagus kalau dia lupa dan asyik pacaran. Aku bisa bebas." Harpa berdiri dari kursinya. Pelan-pelan dia mengendap ke luar ruangan kantor. Ada beberapa penjaga di sana. "Aku mau ke toilet dulu. Jaga kantorku saja. Nanti aku kembali," alasan Harpa. Jelas penjaga di sana merasa heran. "Nona, di dalam kantor Anda bukannya ada toilet dan kamar mandi?" Harpa berkacak pinggang. Salah satu kakinya mengetuk ke atas lantai. "Toilet di dalam rusak. Terus kamu mau aku nunggu sampai selesai dibenerin?" omel Harpa. Penjaga itu menunduk. "Mohon maaf, Nona. Saya tidak tahu, karena seingat saya, Tuan Adras sudah memeriksa semuanya." "Marahi saja dia! Kerjanya gak bener! Ya sudah, aku pergi!" pamit Harpa sambil melambaikan tangan. Dia berlari di sepanjang lorong hingga merasa benar lepas dari penjaga. Selama langkah kakinya di jalan lantai ini, hanya terlihat pintu, tembok, lukisan, nakas dan vas bunga. Harpa berdiri di depan lift khusus. Naik ke dalamnya, dia melihat tombol menuju ke roof top. "Aku cari angin saja, ah!" idenya. Harpa naik hingga ke bagian paling atas tower itu. Tiba di sana dia tertegun dengan taman yang ada di sana. Tanaman bunga tumbuh dengan subur dan bermahkota lebat. Angin bertiup terasa segar dan suara gemericik dari kolam air begitu nyaman di hati. Langkah Harpa semakin maju. Karyawan lain kalau ingin ke sini perlu menaiki tangga, sehingga mereka kebanyakan malas. Hanya lift khusus pimpinan yang menyediakan akses hingga ke lantai teratas. Tidak heran kalau sekarang sepi. "Bandung! Selamat siang! Di sini gak panas!" teriaknya di sisi railing balkon karena memang atap itu diberi naungan. "Bukannya ini waktu Anda bekerja, Nona?" tanya seseorang. Harpa kaget hingga melirik ke sisi. Dia melihat Dios di sana tengah memasukkan tangan ke dalam saku celana. "Kamu sendiri lagi ngapain di sini?" tanya balik Harpa. "Karyawan lain tak punya banyak waktu untuk ke sini. Sedang jam istirahatku kalau tidak latihan sangat panjang. Jadi aku menghabiskan waktu sambil melihat pemandangan. Dan di sini sinyalnya bagus sekali," jelas Dios. Harpa tersenyum. Dia mengaitkan rambut ke belakang telinga. "Aku baru tahu ada tempat ini," jawab Harpa. Dios mengangguk. Dia menunjuk salah satu kursi taman di sana. "Duduklah. Anda bisa pegal kalau berdiri terlalu lama," saran Dios. Harpa menurut saja. Dia duduk di kursi putih itu. "Kamu juga duduk saja, gak perlu sungkan," balas Harpa. Mereka kini duduk saling bersampingan dan melihat ke luar balkon. "Maaf aku tadi sering kirim chat sama kamu," ucap Harpa. "Tak apa. Tadi aku masih latihan, jadi jawabnya agak lama. Justru harus aku yang meminta maaf. Terutama tentang kejadian dua tahun lalu. Anda pasti sangat kesulitan." Harpa terkekeh. "Tidak juga, kok. Aku hanya ingin menolong saja. Aku pikir, orang-orang itu saja yang berlebihan." Ada jeda cukup lama di antara keduanya. Harpa ingin sekali bertemu dengan Dios dan bicara empat mata. Ternyata saat bertemu tak semudah itu. Dia malah sibuk dengan jantungnya yang berdebar. "Soal tadi, aku malu banget karena sudah bilang kamu ganteng. Pasti kamu gak nyaman," celetuk Harpa. Dios terkekeh. Senyumnya begitu manis hingga kembali menyihir pandangan Harpa. "Tapi kamu memang terlihat begitu di mataku dan manis," puji Harpa lagi. "Anda juga sangat cantik, Nona. Lagipula saya hanya manusia biasa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN