Harpa merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Siang tadi dia mendengar adanya rapat pimpinan, tapi Harpa tak diikut sertakan. Tentu saja Harpa curiga, dia berpikir orang-orang itu ingin menurunkan Harpa dari jabatan.
"Kalau seluruh pemegang saham berpihak pada Gera, kemungkinan aku akan diturunkan dari posisiku. Namun, aku yakin tak semua suka pada Gera meski juga tak suka padaku." Sesekali mata Harpa berkedip melihat ke arah langit-langit. Dia menarik napas dan mengembuskan pelan. Diulangi hal itu berkali-kali.
Alarm kucing di kamar Harpa berbunyi. Gadis itu perlahan bangun dari mimpi. Dikucek matanya. "Perasaan baru beberapa menit lalu aku tidur, kenapa sudah pagi lagi," keluhnya. Dengan penuh perjuangan, Harpa mencoba bangkit dari posisi tidur. Perlahan kakinya turun menyentuh lantai. "Dingin," keluhnya. Dengan kepala yang kembali direbahkan di atas tempat tidur, kaki Harpa bergeser-geser di lantai mencoba menemukan sandal khusus di kamarnya.
"Benda itu di mana, sih?" keluhnya dengan mata yang masih menyipit. Kesal, akhirnya Harpa bangun lagi dan mengintip ke arah lantai. Dia memaki begitu menemukan sandal berada di sudut dekat nakas, lumayan jauh dari kakinya. "Kamu apa gak bisa nyamperin sendiri?" omel Harpa.
Dikenakan sandal itu. Tangannya membuka gorden dan pintu balkon. "Selamat pagi dunia! Kerja lagi! Nyari uang yang banyak! Walau gak tahu jodohku ada di mana?" teriak Harpa. Dengan nyawa yang belum terkumpul semua, dia pergi ke kamar mandi.
Pelayan mengetuk pintu untuk memastikan Harpa telah bangun. Sedang gadis itu baru keluar dengan mengenakan kimono. Dia buka pintu kamarnya. "Aku bisa sediakan pakaianku sendiri. Aku sudah mandiri sekarang. Buatkan sarapan saja," pinta Harpa.
"Baik, Nona."
Harpa berpakaian dengan seragam kerjanya seperti biasa. Kemudian dia berdiri di depan cermin untuk berdandan. "Bagaimana aku menghadapi Adras?" keluhnya. Setiap mengingat peristiwa semalam, bahkan Harpa merasa tak ingin masuk kerja.
Sengaja dia memastikan pagi ini berdandan dengan paripurna agar lebih percaya diri kalau Adras membahas masalah malam tadi. Gadis itu turun untuk sarapan. Semua masih terasa tenang hingga pelayan mengatakan bahwa Adras sudah datang untuk menjemput bersama sopir pribadi Harpa.
Jelas gadis itu langsung gemetaran. Dia minum air putih, kemudian becermin memastikan wajahnya masih terlihat cantik serta tak ada cabe tertinggal di gigi. Barulah Harpa berdiri dan jalan menuju pintu utama. Adras menunduk tanda hormat.
"Tadi malam, aku sudah ketiduran. Harusnya kamu bangunkan aku," keluh Harpa. Padahal Adras tak akan membahas hal itu, justru Harpa malah memancing lebih dahulu.
"Saya sudah coba bangunkan Anda, Nona. Hanya Anda terus tertidur. Saya pikir tidak baik membiarkan Anda tertidur di mobil. Karena itu," kalimat Adras terpotong oleh teriakan Harpa. "Ada apa?"
"Kamu beneran gendong aku ke kamar?" tanyanya dengan wajah kaget. Adras mengangguk. "Selama itu, kamu gak nyentuh aku, kan?" Pertanyaan Harpa semakin terkesan aneh di benak Adras.
"Tidak mungkin kalau tidak."
Harpa memegang keningnya. "Lain kali kalau kamu mau sentuh aku, pastikan tangan kamu dilapisi sarung tangan. Aku takut kuman di tubuh Okna menempel di tubuhku," keluh Harpa lalu masuk ke dalam mobil. Sopir di dalam tersenyum geli mendengarnya.
"Nona, Tuan Adras rajin membersihkan tangan dengan handsanitizer," ungkap sopir.
Adras ikut masuk dan duduk di sana. "Kita gak tahu, mungkin saja dia lupa."
"Mungkin lain kali kalau mengantuk tahan saja, atau sadarkan diri untuk bisa bangun sendiri," sindir Adras.
Harpa mendengkus. "Kamu berani nyidir aku?"
Adras tak menjawab. Mobil berangkat menuju perusahaan. "Lagian kamu pasti cari-cari kesempatan, kan?"
"Anda bukan tipe saya," celetuk Adras.
"Tapi kamu pernah pacaran denganku!" Harpa semakin sewot.
"Anggap saja waktu itu saya khilaf," timpal Adras.
"Khilaf? Mana ada khilaf sampai bertahun-tahun," protes Harpa.
"Pikiran saya saat itu butuh perawatan. Saat ini sudah sangat membaik."
"Hah? Sopan sekali kamu bicara! Kamu gak tahu banyak pria yang mengejarku?" Harpa berkacak pinggang.
"Yang saya ingat tidak demikian."
Harpa membuka jendela mobil. "Gerah! Panas banget di sini!"
Siang itu penjaga membukakan pintu ruangan Harpa. Di sana muncul orang yang sangat dia tinggu, Isla. Wanita cantik dengan tubuh tinggi dan rambut lurus serta kulit eksotis itu menunduk di depan Harpa. "Saya siap bekerja untuk Anda, Nona," ucapnya.
Harpa memberi isyarat agar penjaga menutup pintu kantornya. Pria itu mengangguk dan menarik daun pintu hingga benar tertutup dengan rapat. "Aku masih belum mendapat bocoran tentang kejadian kemarin. Meski begitu, perasaanku tidak tenang," ungkap Harpa.
Isla melirik ke arah sisi. "Buat mereka merasa tidak yakin dengan apa yang mereka hendak ambil. Caranya, perlihatkan sisi kejelekan Gera. Namun, dengan cara yang tidak memancing kecurigaan. Anda bilang, selama ini Anda terkenal ceroboh. Mungkin Anda bisa memanfaatkannya," saran Isla.
Harpa menunjuk kursi di depannya. "Duduklah," pinta wanita itu pada Isla. Gadis di depannya menurut saja. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan Harpa. "Untuk sekarang ada baiknya jangan perlihatkan dulu kemampuan Anda, tapi perlihatkan kelemahan lawan. Orang lebih fokus pada kekurangan dibandingkan kelebihan."
"Masalah Gera yang aku tahu tentang audisi artis dan keuangan. Masalahnya aku tak tahu dia benar terlibat, atau hanya orangnya saja," ungkap Harpa.
"Narvi sudah sampai mana masuk ke dalam sistem?" Isla ingin memastikan berapa jauh mereka sudah bergerak selama ini. Dengan begitu dia bisa menentukan gerakan selanjutnya.
"Dia sudah menyebar virus dan mengambil beberapa data tersembunyi. Salah satunya tentang proyek grup pria baru." Harpa mengambil sebuah dokumen dalam laci. "Aku sudah memeriksa detail setiap anggota. Salah satunya putra petinggi perusahaan ini. Bakat? Tak ada. Hanya, untuk apa tujuan mereka mendebutkan anak ini?" Harpa menepuk-nepuk bagian ataa dokumen itu.
"Tentu saja memperoleh dukungan. Dia tampan," komentar Isla begitu melihat foto anggota trainee yang akan debut tahun depan. "Namun, bukannya ini menjadi cara terbaik menjatuhkan Gera? Suara fans bukan hal yang bisa dianggap sepele. Apalagi kalau mereka bergerak bersamaan. Mereka konsumen terbesar dan tanpa mereka, perusahaan akan kekurangan pemasukan."
Harpa menyangga dagu dengan tangan kanannya. Sementara sikut tangan itu bertumpu pada meja kerja. "Jadi, untuk ini kita biarkan saja?"
Isla mengangguk. "Ada satu cara yang sangat berisiko." Wanita itu menyimpan kembali dokumen di atas meja. Ketika kita sakit dan minum obat, tentu organ lainnya akan mengalami efek obat itu juga. Begitu pun menjatuhkan orang yang sama dalam satu perusahaan. Pasti perusahaan ini pun ikut terpukul."
"Bagaimana caranya. Meski berisiko aku akan lakukan," timpal Harpa dengan penuh keyakinan. Kalaupun perusahaan ini jatuh, setidaknya dia tak sendirian dan bukan dirinya yang disalahkan, begitu inti pemikiran Harpa.
"Biarkan grup ini debut dan ungkap skandal seluruh anggotanya, terutama yang berhubungan dengan Gera," saran Isla.
Hal yang terkesan licik, tapi apa yang diucapkan wanita itu ada benarnya juga. Citra perusahaan bisa jatuh kalau ketahuan mengangkat trainee bermasalah, tapi juga membuktikan ketidakmampuan Gera dalam memimpin.
"Kita ambil jalan itu saja. Aku akan keep masalah ini hingga waktu debut mereka."
Isla mengangguk. "Sekarang lebih baik Anda pastikan jangan sampai rencana ini terlihat. Perlahan kumpulkan bukti dan untuk menyebarkannya, kita butuh beberapa orang di fandom," tegas Isla.
Pintu kantor diketuk. Harpa dan Isla langsung berhenti bicara. "Masuk!" seru Harpa. Ketika daun pintu itu terbuka, dia melihat Adras di sana. "Ada apa?"
"Saya mendengar Nona Isla telah tiba di ruangan Anda. Sesuai dengan perintah Anda sebelumnya, Nona," ungkap Adras.
Harpa melirik pada Isla. "Ikuti dia. Nanti dia akan memberitahu bagaimana kamu bekerja dan posisimu," pinta Harpa.
Isla mengangguk. Dia berdiri dan meninggalkan ruangan mengikuti Adras. Kedua orang itu berjalan di lorong dan masuk ke dalam lift. "Anda sekretaris Nona Harpa?" tanya Isla yang langsung dibalas anggukan oleh Adras.
"Lebih baik kamu tentukan posisimu ada di mana. Kalau tidak mendukung CEO, maka mundurlah. Masih banyak orang yang ingin menggantikanmu," pinta Isla.
Adras lumayan kaget dengan ucapan wanita itu. "Anda tentu tahu alasan aku menjadi sekretaris, wasiat mendiang Tuan Chaldan tentu tidak bisa dibantah, apalagi dengan konsekuensinya."
"Kalau begitu cukup jangan mencampuri urusan Harpa. Aku sudah mencari tahu latar belakangmu dan dengan siapa kamu berhubungan. Hati-hati saja, dengan tunanganmu," tegas Isla.
Pintu lift terbuka. Adras berbalik menatap wanita itu. "Jadi, di mana ruanganku?" tanya Isla dengan senyum manis dan mata melengkung. Jelas semakin ganar saja Adras. Wanita di depannya bisa berubah ekspresi dengan begitu mudah.
Adras menunjukkan jalan yang berbelok ke arah kanan. Isla melangkah menuju tempat itu. Ada sebuah ruangan yang dilapisi dengan tembok kaca. Di sana ada banyak karyawan tengah berkerja di antara kubikel ruangan.
Adras menepuk tangan. Semua karyawan berhenti kemudian berdiri. "Selama siang. Saya di sini ingin menyampaikan sebuah informasi. Ini, Nona Isla Martian. Beliau pimpinan regu di sini."
Semua karyawan saling tatap. Mereka tak menyangka pimpinan baru itu sangatlah cantik dan terlihat sangat elegan. Bahkan dalam pandangan pertama saja sudah sangat menarik perhatian.
"Hai, salam kenal. Saya Isla dan saya akan menjadi pimpinan kalian. Saya memang masih muda dan baru lulus, tapi kalian bisa menilai sendiri kepemimpinan saya ke depannya. Harusnya saya tiba kemarin ke kantor ini. Hanya karena ada banyak hal penting, jadi saya agak terlambat datang. Maaf yang sebesar-besarnya." Isla menunduk tanda hormat.
"Salam kenal, pimpinan," seru seluruh karyawan di sana. Adras mendampingi Isla untuk berkenalan dengan karyawan lain dan menjelaskan posisi masing-masing karyawan.
"Jadi apabila Anda membutuhkan informasi tentang sesuatu, saya yang akan carikan," jawab salah satu karyawan. Isla menatap karyawan itu. "Ada yang salah, Nona?"
Isla menggelengkan kepala. "Apa kamu nyaman ada di sini?" tanya Isla. Mata Adras menyipit, dia mengerti maksud Harpa sebelumnya tentang Isla yang sangat hebat itu. Bahkan hari pertama sudah membuat Adras kagum dengan kemampuannya. "Aku tak masalah dengan cara kamu berpakaian. Itu tak menunjukkan kreativitas seseorang. Justru aku melihat sisi lain darimu. Akan lebih baik kamu berada di bagian perencanaan. Aku akan minta pada CEO untuk mengurus hal ini," saran Isla pada pegawai itu.
Karyawan itu mengangguk. Isla melihat ke sekeliling ruangan. "Aku tidak suka masalah sosial timbul dalam grupku. Harus ada kerjasama yang solid tentang pekerjaan, bukan perundungan," tegas Isla.
Adras masih memperhatikan ekspresi Isla. "Apa tujuan Harpa memasukkan orang ini di sini? Jika Narvi akan menjadi tim ahli, kenapa wanita ini tidak?" batin Adras. Pria itu menunduk di depan Isla. "Saya pamit. Ada banyak hal yang harus saya kerjakan, terutama tentang pekerjaan CEO," pamit Adras yang dibalas anggukkan Isla.