38. Melelahkan

1514 Kata
"Ujungnya semua gak kamu bongkar?" tanya Nolan melalui sambungan telepon. Adras memijiti pelipisnya. "Aku terlalu kaget dengan Okna. Mungkin hal ini tidak akan aku bicarakan dengannya. Kita tidak tahu, dia yang bicara sendiri dengan Tuan Gera atau mungkin orang tuanya," jelas Adras. Kepalanya sudah cukup sakit menghadapi masalah ini hingga terpaksa minum obat sakit kepala. Padahal selama ini Adras paling menjauhi obat. Apalagi hanya untuk rasa sakit yang bisa hilang dengan bahan alami. "Hubungan kamu ini rumit, ya? Di satu lain ingin berjuang dengan masa lalu, di sisi lain tak ingin menyakiti masa depan," komentar Nolan. Tengkuk Adras kini menyandar pada lengkungan atas sandaran kursi. Layar laptopnya masih menyala dengan cerah. "Tak tahulah! Terbiasa itu hal yang menyulitkan hingga aku tak mau terbiasa lagi dengan sesuatu," jawab Adras. Nolan memeriksa setiap kode yang kini ada di hadapannya. "Kamu tahu? Kalau kamu mencoba membongkar isi sebuah sistem, ada banyak simbol yang berpadu menjadi bahasa. Sulit mencari hanya sebuah kata di antara semuanya. Hingga tanpa sadar ketika kamu dengan hati-hati membaca satu per satu, ada sesuatu yang pernah kamu tinggalkan di masa lalu. Hanya saja belum kamu buang karena dia tersembunyi di antara lainnya," jelas Nolan. Mata Adras berpendar ke seisi ruangan kantor. "Dan saat kamu ingin hapus. Rasanya sayang sekali. Karena itu satu-satunya jejak yang masih tersisa dari dirimu di masa lalu," timpalnya begitu dalam. Adras memang bukan sesuatu yang mudah untuk dimengerti, bahkan oleh dirinya sendiri. Dia tahu harus berdiri tegak dengan keputusannya, di sisi lain dia tetap pohon yang bisa lapuk di makan suhu, usia dan serangga. Kemudian setiap kali dia becermin, yang Adras lihat hanya wajah yang menyimpan banyak beban. Dia ingin bahagia, tapi tak tahu bentuk seperti apa yang membuatnya bahagia. Dia ingin tertawa, hanya hal seperti apa yang harus ditertawakan olehnya. Semua yang dia temui sama sekali tak menyenangkan dan lucu. "Kamu tahu pria yang pakai sandal itu!" tunjuk Okna ke lorong di mana ada seorang pria tengah memakai hoodie dan celana pendek. "Dia kenapa PD banget pakai alas kaki kayak gitu ke sini, sih? Mau dikira orang kaya yang Budiman. Vibe orang kaya beda kali!" komentar Okna lagi yang kemudian menjadi bahan candaan temannya hingga mereka tertawa dengan puas. Sedang Adras masih merasa seperti di tengah samudera, terdampar di atas balok kayu dan hanya ada suara burung-burung laut. Adras berdiri, dia melangkah menuju toilet. Sudah beberapa hari ini dia pulang lebih awal. Ingin istirahat, tapi Okna malah membuatnya sibuk dengan circle pertemanan. Sampai di toilet, Adras mencuci muka. Dia menarik napas. Dengan wajah basah, di tatapnya cermin di depan. "Kenapa tak kabur saja?" tanyanya pada diri sendiri. Wajah itu tersenyum. Kemudian Adras membasuh tangan dan keluar dari toilet. Okna ternyata sudah menunggu di depan pintu sambil bersedekap. "Kamu kenapa? Mereka teman aku. Setidaknya kamu hargai mereka. Sudah beberapa kali kita ketemuan dan ngumpul, kamu cuman diem saja. Rangga sampai nanya, dia takut kalau mereka ngomong sesuatu yang salah. Please, ini gak asik!" protes Okna. Wanita itu langsung berjalan pergi. Adras tak menahan wanita itu. "Perasaan teman kamu lebih penting dariku?" tanya Adras dalam hati. Ingin dia ungkapkan itu. Tak lama Adras menoyor kepalanya. "Kamu kenapa gak punya nyali Adras!" Adras tahu, sejak kecil dia memang begitu. Banyak hal yang ingin dia raih, tapi selalu ragu. Meski dia mudah bergaul dan tak pernah terbully, Adras lebih senang menjadi seseorang yang berdiri di belakang. Dia senang membuat orang lain bahagia. Walau, dia sendiri tidak. Adras hanya takut menyakiti. Ketika perjalanan pulang, Okna hanya diam saja. wanita itu memainkna layar ponsel. Adras tak berusaha untuk bertanya atau memperbaiki suasana. Dia lebih asyik dengan kemudi. Sesekali Adras meraih air minum di atas dashboard dan meminumnya. Lama kelamaan, Okna mulai semakin berang. "Besok kamu gak usah ikut aku lagi nongkrong!" tekan Okna. "Iya, enggak apa-apa." Dengan santainya Adras menjawab. Okna tertawa miris. "Kamu sebenarnya sadar gak? Harusnya kamu tanya kenapa?" Okna sampai harus memberikan penekanan dalam kalimatnya. "Kenapa?" Tunangan Okna itu dengan polosnya menurut. Sedang orang yang protes hanya bisa mendengkus. "Maaf. Aku salah lagi, ya?" "Adras! Perasaan, dulu kamu itu baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi sering ngeselin? Kamu beban mental gara-gara CEO kamu itu? Kalau gitu, kamu bisa minta cuti dan tenangin diri sesaat, kan? Kalau gini terus, yang ada malah aku yang jadi korbannya!" Okna memalingkan pandangan ke sisi lain. "Aku banyak pekerjaan. Jadi gak bisa cuti. Memang lebih baik aku ikuti saran buat gak ikut sama kamu," tolak Adras. Mata Okna berputar. "Bilang saja, kamu memang sengaja kayak gitu karena gak mau nemenin aku, kan? Kamu lebih suka pergi berdua sama CEO kamu itu!" Okna sama sekali tak melirik ke arah Adras. Karena sangat marah, Okna sampai membanting pintu begitu turun dari mobil Adras. Sedang pria yang ada di dalam mobil hanya bisa mengatur napas. Pada akhirnya mobil itu meninggalkan halaman rumah Okna. Harpa pun tak jauh berbeda. Sejak tadi sore dia hanya menaik dan menurunkan kursor mouse komputer sambil membaca komentar. Harpa sedang mencari gagasan yang mungkin diungkap oleh salah satu penggemar idol Korea. Gagasan itu yang nantinya akan dijadikan strategi bisnis Callir ke depannya. Namun, bukannya mendapatkan ide. Harpa malah asyik membalas komentar pedas. Pada akhirnya dia kesal sendiri dan mengomel. "Aku yakin yang ketik ini pasti masih bocah! Dia mau melawan senior!" omel Harpa. Sempat dia kalah argumen dan berujung dengan menonton music video sambil memakan kentang. Lama kelamaan, Harpa menjadi kesal sendiri. Gadis itu mengambil ponsel dan mengechat teman-temannya. Dimulai dengan Narvi lebih dulu. kamu lagi sibuk, gak? Main bareng, yuk? Ada film bagus di bioskop. Namun, pesan itu tak juga dibaca oleh penerima. Mata Harpa sampai menyipit akibat tak langsung mendapat jawaban. Tatapan sayu itu akhirnya berubah bersinar begitu melihat notif mengetik di samping foto profil pemilik akun. Kamu ajak Isla saja. Aku mau pergi sama cowokku. Maaf banget, ya? Besok mungkin baru aku bisa main sama kamu. Harpa menahan napas hingga hidungnya mengembang. Begitu mengempis, gadis itu langsung berteriak dan memukul meja. "Kenapa Narvi sudah punya pacar sementara aku enggak? Padahal dulu, dia yang jomlo. Hidup memang seperti roda. Sekarang aku yang jadi kambingnya," keluh Harpa. Isla, kalau gak sibuk. Gimana kalau kita makan di luar? Harpa masih berusaha sekuat tenaga untuk memperjuangkan jalan keluar dari kegabutan ini. Sayangnya, Isla tak beda jauh dengan Narvi. Hari ini aku mau kencan buta. Temanku yang kenalin dia sama aku. Memang Narvi gak bisa temenin? Sesedih apa pun nasib seseorang yang diputuskan, tidak akan lebih sedih dibandingkan jomlo yang kehilangan teman. Harpa menggeser layar ponsel di sebelah kanan di mana status orang di kontaknya berada. Wanita itu melihat milih Dios. Pengen ngadem. Harpa yakin hanya sebagian orang yang bisa melihatnya. Karena status itu baru dibuat tiga menit lalu, Harpa putuskan mengirim pesan pada Dios. Sekarang lagi di mana? Aku gabut banget. Ternyata Dios langsung membalas pesan Harpa. Pria itu pun tengah terbaring di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Di kamar. Inginnya ke luar. Tapi pergi sendiri sama saja. Gak ada asiknya. Membaca balasan itu, Harpa rasanya mendapatkan peluang. Temannya bisa saja punya kehidupan baru. Harpa juga. Gadis itu meneguhkan hatinya. Mau jalan bareng? Makan, nonton atau motor-motoran? Begitu membacanya, Dios sama-sama senang. Dia menunggu saat di mana ada seseorang yang memiliki semangat yang sama dengannya. Tentu saja Dios langsung setuju. Pria itu lekas mengambil kaos hitam dan jaket jeans navy. Tak lupa masker dan topi putih dia kenakan. Harpa pun sama. Berkeliling setiap lemari di walking closet, ujungnya Harpa kenakan kaos bermerk dan celana jeans hitam. Tak lupa dia pun mengenakan topi abu-abu. Sepatu kets dia pilih agar lebih nyaman saat berjalan. Keduanya sepakat untuk naik motor meski Harpa tak tahu Dios dapat kendaraan itu dari mana. Yang jelas sudah sangat lama Harpa tidak duduk di jok belakang, tertiup angin dan mengenakan helm. Sungguh sensasi yang tak bisa dirasakan dengan naik mobil. Apalagi kepuasan saat menyalip satu per satu kendaraan. "Nona kenapa pergi malam terus. Kalau Pak Thyon tahu, saya bisa kena omel," Bi Melia protes melihat Harpa turun ke lantai bawah dengan pakaian bebas. Kali ini gadis itu tidak diam-diam pergi lagi. "Bi, aku ini sudah dewasa. Justru melarangku sama saja melanggar hak asasi manusia. Apalagi aku ini CEO sekarang. Mana berani Om Thyon marahin aku?" timpal Harpa dengan santainya. Gadis itu berjalan menuju gerbang rumah. Sempat dia bertemu dengan sopir pribadi. "Belum pulang, Pak?" tanya Harpa sambil mengintip Pak Jaja yang tengah memeriksa ban mobil. "Belum, Non. Masih harus cek mobil buat besok. Kayaknya perlu ganti oli. Besok saya ganti mobil. Yang ini mau dibawa ke tempat service dulu," jawabnya. "Uangnya nanti minta sama Adras, Pak! Kalau bisa minta dua kali lipat buat jajan anaknya Bapak," saran Harpa. Pak Jaja menggelengkan kepala. "Gak perlu, Non. Kerja di sini dan dapat gaji saja saya sudah lebih dari cukup. Yang penting saya kerja bisa bikin Nona Harpa senang," tolak pria itu. Harpa membuka tasnya. Dia mengeluarkan uang dua ratus ribu dari dompet. "Kalau gitu, kasih ini ke istri Bapak. Beliin sepatu buat yang bungsu," pinta Harpa sambil memberikan uang pada sopirnya. Harpa melambaikan tangan. "Aku pergi dulu, Pak! Mau ada janji sama calon suami masa depan. Doakan saja mudah-mudahan lancar," pinta Harpa sambil nyengir kemudian meninggalkan tempat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN