Adras mengambil tablet PC dan memboyongnya menuju kantor Harpa. Di sana pria itu menunduk tanda hormat sembari menghadap pada CEO Callir tersebut. Harpa berdiri, merapikan blazernya. Dia sedikit mengatur proporsi tubuh. "Dewan komisaris menunggu Anda di ruang rapat, CEO," ungkap Adras.
"Oke, mari kita ke sana. Walau kepalaku sedikit pusing dan badanku sakit semua. Semalam aku menghabiskan waktu di luar rumah karena aku tahu sekretarisku pun sedang sibuk pacaran." Harpa melirik Adras dengan tajam. Sedang pria yang tengah dia sindir sama sekali tak bergeming. "Bagaimana mungkin kamu masih bisa tidur nyenyak dan jalan-jalan bahagia sementara CEO kamu ini akan menghadapi hal menakutkan seperti ini?" tegur Harpa.
Adras melirik ke arah atasannya. "Karena itu bukan berasal dari kesalahan saya."
"Kamu lupa kalau aku dipecat dari posisi ini, kamu juga!" Harpa menunjuk Adras.
"Saya bisa mencari pekerjaan lain. Banyak perusahaan yang menawarkan posisi untuk saya," timpal Adras dengan mudah sambil memalingkan pandangan ke depan.
"Kamu jadi orang sombong banget!" umpat Harpa. Dia berjalan lebih cepat hingga meninggalkan Adras di belakang. Adras hanya menatap punggung CEOnya. Dia tersenyum. Sama sekali mata Adras tidak menangkap kekhawatiran di wajar Harpa.
Tiba di ruangan rapat, orang-orang sudah duduk di kursi sesuai jabatan mereka masing-masing. Gera ikut hadir tentu. Dia tidak ingin melewatkan kejadian saat sepupu wanitanya dipermalukan.
Harpa datang dan duduk di kursi utama. Dia akan jadi sasaran empuk hari ini. "Mulai saja, saya banyak pekerjaan. Bukannya tidak baik menunda kesibukan?" pancing Harpa. Para komisaris dan direktur saling tatap dengan pandangan meremehkan. Mereka semua memperbaiki posisi duduk.
Harpa menarik kursi agak ke depan. Dia pun menurunkan mic hingga setinggi bibir. Adras sendiri bersiap dengan layar yang menampilkan aplikasi khusus untuk mencatat. Dia berdiri di belakang Harpa sambil memperhatikan ekspresi orang-orang yang ada di sana. Di sini dia sedang memperkirakan apa orang-orang di pihak Chaldan masih pada pendirian.
"Nona Kariswana, belakangan kami mendapat dokumen daftar karyawan yang di PHK dan juga dipindah tugaskan. Yang menjadi masalah besar di sini, jumlah yang teramat banyak. Anda tentu tahu bagaimana aturan ketenagakerjaan sekarang ini. Kita tidak bisa memecat karyawan sembarangan," salah satu dewan komisaris mulai menjelaskan duduk permasalahan.
Harpa masih mendengarkan keluhan mereka semua. "Perbuatan ini bukan hanya membuat kita didenda oleh pemerintah, pun reaksi keras dari para karyawan. Kalau sampai begitu, perusahaan pula yang akan rugi. Tidak ada kekuasaan yang absolut, Nona. Meski Anda pimpinan tertinggi dalam organisasi perusahaan, tetap karyawan memiliki kekuatan lebih. Apalagi kalau mereka bersatu," jelas dewan lainnya.
"Selain itu. ada rumor bahwa Anda akan menghentikan pembangunan wahana Callir dan menggantikannya dengan proyek baru. Bayangkan berapa banyak biaya yang kita keluarkan untuk wahana tersebut. Kalau diberhentikan di tengah jalan, malah terkesan mubazir. Bukankah kita lebih baik mengoperasikannya hingga modal kembali?" saran komisaris yang paling tua di antara mereka.
Harpa mengangguk. Dia menutup mata sejenak, mencoba mengingat protes dan masukan para tetua itu. "Ada lagi? Mumpung kupingku sedang rajin mendengarkan orang lain. Jika sedang tidak, aku biasanya membandel. Kalian tentu tahu sendiri rumor tentangku yang nakal dan sulit diatur? Seperti itulah persisnya," canda Harpa.
para komisaris dan direktur saling berbisik seolah tengan merundingkan sesuatu. "Apa kalian terbiasa berunding tanpa diriku? Bahkan beberapa hari yang lalu pun," sindir Harpa dengan tajam hingga ruangan itu hening seketika kemudian terdengan suara dehaman.
"Intinya itu saja masukan dari kami dan tolong untuk memikirkan dampaknya dulu sebelum membuat keputusan," pinta salah satu direktur.
"Jadi itu salah? Terima kasih sudah memberitahu. Hanya saja aku kesal melihat karyawan mengobrol di jam kerja. Aku minta sahabatku untuk menuliskan siapa saja mereka yang mengganggu mataku itu. Dan itu yang kini namanya Anda sekalian pegang. Aku gak tahu kalau efeknya akan seberbahaya itu. Karena di novel aku lihat, CEO bebas memecat pegawai," jelas Harpa yang berisi dustaan.
Jelas pimpinan di sana langsung menarik alis sebelah ke atas. "Jadi pemahaman CEO hanya sebatas dunia fiksi?" tanya salah satu komisaris. Terlihat sendiri bagaimana Gera tersenyum meremehkan. Dia tak mengeluarkan satu pun kalimat, hanya reaksinya sungguh jelas memperlihatkan kepuasan melihat kebodohan Harpa.
"CEO itu ayahku, kan? Dia mana pernah memberitahu bagaimana aku harus bertugas. Jadi aku sangat mengandalkan Adras. Dia sekretaris yang sangat aku percayai karena kami dulu satu kampus dan pernah pacaran." Harpa dengan percaya dirinya tersenyum seolah semua yang terjadi hal biasa. Sedang Adras jelas tertegun dengan jawaban CEOnya itu.
Kembali orang di sana terbatuk. Gera mengusap dagunya. Dia semakin tertarik dengan Adras dan ingin lelaki itu ada di pihaknya. "Menarik kalau orang yang dipercayai itu kemudian mengkhianati bukan?" batin Gera.
"Sekretaris CEO!" panggil salah satu komisaris. Adras mengangguk. "Ada baiknya kamu memberikan masukan apabila CEO kamu itu salah mengambil keputusan seperti sekarang ini. Tolong persiapkan CEO untuk lebih mengerti lagi tentang tugasnya."
"Baik, Pak! Saya mohon maaf." Adras memilih untuk menimpalkan kesalahan Harpa pada dirinya. Sedang Harpa malah bergerak memutar kursi duduknya ke kanan dan kiri. "Saya akan kembali tarik dokumen yang dibuat Nona Harpa. Permisi." Adras berjalan meraih map yang kini dipegang oleh direktur account planing.
"Rapatnya sudah selesai? Aku bosan," keluh Harpa.
Adras menarik napas panjang. Sedang Harpa berdiri. "Jadi semua sudah clear, ya? Aku tak jadi memecat pegawai. Hanya saja aku mohon pada tuan Gera, kalau karyawannya ke kantin di jam kerja, tidur, bergosip sampai nonton drama Korea, tegur saja. Mereka kerja di sini bukan untuk makan gaji buta," tekan Harpa.
Wanita itu kini melangkah meninggalkan ruangan rapat. Beberapa anggota dewan kini menatap ke arah Gera. "Bagaimana bisa Anda tidak mempertahankan karyawan Anda sendiri. Apalagi kalau sampai diketahui CEO. Aku harap ini tak terjadi lagi. Intinya CEO bereaksi begini bermula dari kesalahan Anda, Tuan Gera," tegas salah satu komisaris.
"Mohon maaf. Itu memang kelalaian saya. Hanya karyawan yang ada di daftar tadi merupakan karyawan Tuan Sandy. Sepertinya Nona Kariswana kembali keliru. Sebaiknya dia harus menghafal nama dan jabatan direkturnya sendiri," kilah Gera. Dia mencari celah untuk menutupi kesalahan.
"Maaf, Tuan. Apa akan selamanya kita mempertahankan CEO dengan keadaan itu? Akan lebih baik kita mengangkat CEO sementara sampai Nona Kariswana benar siap," saran seorang direktur pada dewan komisaris. Namun, permintaan pria itu ditolak.
"Akan lebih baik CEO belajar secara langsung dan perlahan. Mohon bersabar sejenak. Lagipula kalau Kariswana menarik saham dari perusahaan ini dan bergabung dengan agensi lain, kita bisa saja terhempas."
Sementara Harpa dan Adras masih berjalan di lorong. "Aku pikir tadi kamu akan menimpalkan kesalahan seluruhnya padaku," komentar Harpa.
"Aku pikir Anda akan menangis di ruangan tadi kalau sampai aku tega melakukan itu. Lebih baik Anda mengikuti saran komisaris untuk mengikuti arahanku," timpal Adras.
Harpa mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Memang kamu siapa sampai aku harus menurutimu." Wanita itu menekan tombol lift sendiri dan menunggu sampai pintu lift terbuka. "Tapi, siapa yang membuat rumor bodoh aku akan membuat aplikasi berbayar? Tega sekali orang itu memfitnahku, meski ide dia brilian juga. Hanya tak perlu sampai menutup wahana mungkin," komentar Harpa.
Adras masih diam. Di sana dia menarik kesimpulan. "Okna, aku hanya mengatakan bualan itu padanya," batinnya. Adras melirik ke arah Harpa. Gadis itu masuk ke dalam lift dan Adras mengikuti.
Harpa melirik jam tangan. "Oh iya, makan siang tak perlu ambilkan. Aku ada yang membelikan makanan."
"Baik." Adras menggeser posisinya agar agak menjauh dari Harpa.
"Jadi kamu kalau mau makan sama Okna, pergi saja. Jam satu kita ketemu lagi." Lift terbuka di lantai tempat ruangan kantor keduanya berada. Adras menatap Harpa heran.
Jam istirahat saat itu, Adras turun ke kantin. Dia sudah janjian dengan tunangannya. Saat itu pintu terbuka di lantai tiga yang menjadi ruangan untuk latihan artis. Adras melihat sosok Dios di sana, membawa dua kotak makanan. Pria itu menunduk. "Maaf, aku mau naik ke lantai atas. Tutup saja," pinta Dios.
Adras mengatupkan kembali pintu lift. Dia ingat alasan Harpa menolak makan siang. Seketika tangan Adras mengepal. Dia menarik napas. Semakin lama rasanya semakin sulit bagi pria itu. Tak lama Adras mulai tenang. "Dia berhak bahagia Adras. Dengan siapa pun yang dia pilih. Kamu hanya sekretarisnya dan tak bisa lebih dari itu." Setiap kali meyakinkan diri dengan kalimat itu, rasanya Adras ingin meneteskan air mata.
"Adras!" panggil Okna sambil melambaikan tangan. Adras menghampiri. Okna ulurkan lengan meminta agar pria itu meraihnya. Begitu tangan mereka bersentuhan, Okna menarik Adras ke ruangan kantin.
"Aku senang banget kamu ajakin makan siang. Gimana rapat tadi?" Okna menunjuk meja kosong dekat dengan air mancur. Keduanya duduk di sana.
"Aku kena marah karena tak bisa menahan CEO," ungkap Adras.
Okna usap pipinya. "Kasihan sekali calon suamiku. Lagian mereka yang salah pilih, kenapa harus Adrasku yang menanggung segalanya. Semakin lama aku semakin gemas saja dengan Harpa. Dia apa gak akan pernah berhenti membuat masalah?" Okna memanggil salah satu karyawan kantin.
"Mas, sekretaris CEO lagi capek. Tolong ambilkan dua porsi ke sini," tegas Okna memanfaatkan jabatan calon suaminya. Adras menatap Okna kemudian tersenyum. Sedang karyawan itu mengangguk dan meninggalkan meja pasangan itu. "Kenapa? Setidaknya masih ada hal berguna menjadi sekretaris wanita itu."
Adras melirik ke arah jendela luar. "kamu ingat tentang yang aku bahas dengan kamu semalam? Harpa masih terus yakin akan itu. Dia bahkan sudah memanggil dua ahli IT yang pintar di masalah aplikasi. Kalau ini berhasil, dia akan dipuji. Namun, kalau gagal aku ikut terseret. Aku bingung harus berada di posisi mana, menolak atau menerima. Masalahnya Harpa memaksa kehendaknya."