45. Semula

1510 Kata
Dios turun dari mobilnya. Dia kembali terlambat untuk rapat karena padatnya jadwal. "Aku duluan, Dios! Kamu ke toilet dulu saja," saran managernya. "Baik! Tunggu di sana! Aku tahu tempatnya," pinta Dios. Padahal sudah sangat terburu-buru dan dia masih mendapat panggilan alam. Untung saja toilet di lantai bawah kosong. Setelah melapas beban hidup, Dios keluar dan masih mengenakan topi. Dia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan dan hanya menunduk tanda salam. "Kalau saja gak ada larangan untuk mengganggu artis, aku sudah minta berfoto dengannya," keluh salah satu staf. "Ambil saja foto dari jauh. Paling penting gak kamu upload ke media. Semua baik-baik saja, kok," saran yang lain. "Dari jauh, Diosnya mana kelihatan!" omel staf tadi. Dios menunggu pintu lift terbuka. Kakinya bergerak-gerak tak sabaran. Akhirnya benda itu tiba juga di depan lobi. Lekas Dios naik. Hendak menutup pintu, seseorang berlari menghampiri dan ikut masuk. "Maaf, aku telat datang dan buru-buru," alasan orang itu dan langsung menekan tombol tutup. "Maaf, ini lift khusus artis dan para pimpinan," tegas Dios sedikit galak karena merasa privasinya terganggu. "Tak apa, aku sahabatnya CEO. Nanti aku minta izin pada beliau," jawab wanita tadi dengan santainya. "Kamu!" Dios menunjuk wajah wanita itu. Pandangan mereka saling bertatapan kemudian sama-sama memalingkan wajah. Suasana mendadak sepi. Tak ada yang bicara dari keduanya. Pintu lift terbuka di lantai yang Dios pilih. Dia lekas keluar tanpa pamitan. Sedang wanita yang berdiri di sana hanya mengepalkan tangan. "Dasar bocah tidak tahu diri!" umpat wanita itu. Begitu pintu lift terbuka kembali, dia berjalan keluar dengan wajah menghadap ke depan. Matanya memerah menahan tangisan. Tak lama dia berlari masuk ke dalam toilet ruangannya dan mencuci muka. Dia atur napasnya hingga merasa tenang. Saat itu ponselnya berdering. Nama Harpa muncul di sana. "Kita harus hati-hati. Aku salah bicara sehingga Gera sepertinya sadar kalau aku memusuhinya," ungkap Harpa. "Kalau begitu, buka topeng kamu. Mulai sekarang kita tunjukan seberapa tinggi kamu hingga Gera tidak bisa menggapai. Sebelum itu, aku ingin bilang kalau proposal," kalimat Isla terpotong. "Aku sudah tahu. Votingnya berada di pihak dia. Dari sana aku bisa tahu kalau pendukungku berkurang banyak. Mereka mulai ragu dengan kepemimpinanku," keluh Harpa. "Karenanya, ambil kepercayaan mereka lagi adalah langkah paling tepat," saran Isla. "Sekarang berikan aku cara, bagaimana bisa bertahan jika proyek Gera gagal? Tanpa menjual aset walau aku tahu kejatuhan nilai saham tidak akan bisa tertahan," pinta Harpa. Isla menatap cermin di depannya. "Kita harus bertemu. Aku, kamu dan Narvi. Kita harus bersiap sekarang juga karena waktunya tidak akan lama lagi. Cara paling tepat adalah menutup kegagalan dengan kesuksesan." Isla semakin keras berpikir. Dia mulai bingung dengan satu keadaan. "Masalahnya untuk sukses, bukan hal yang mudah karena kamu masih harus memohon persetujuan direktur lain untuk menjalankan rencana dan mungkin jalanmu akan ditahan." "Besok aku pulang. Kita bertemu di luar saja seperti biasa. Katakan pada Narvi segera." Setelah itu Harpa menutup panggilan dan Isla keluar dari toilet dan ruangannya untuk fotocopy. Dia sempat bertemu karyawan lainnya. "Maaf, Nona Isla. Saya melihat Anda masuk ke dalam lift khusus bersama Dios. Apa itu tidak keterlaluan. Anda sudah melakukan dua larangan di perusahaan ini. Saya tahu Anda ini temannya CEO, hanya apa perlu sedemikian berani?" tegur staf itu. Isla berjalan maju. "Kenapa kamu gak jadi teman CEO saja?" Isla mendekatkan wajah dan memberikan penekanan. Dia tersenyum dengan penuh kemenangan. Isla berkacak pinggang. "Kalau kamu ingin melanggar aturan, pastikan seberapa penting dirimu dalam perusahaan. Kalau kamu hanya seonggok debu, tahu diri saja." Isla melangkah pergi meninggalkan dua karyawan yang terlihat kesal menghadapi. "Lebih baik kita adukan ini pada Nona Okna!" ajak karyawan lainnya. Mereka sama-sama setuju dan lekas pergi ke ruangan di mana Okna bekerja. "Apa? Berani sekali dia bicara begitu? Aku tidak suka ada orang yang bertingkah di sini. Apalagi dia hanya orang asing yang datang karena belas kasihan!" Okna berdiri dari mejanya. Dia meminta karyawan itu mengantarkan untuk bertemu dengan Isla. "Lumayan, aku jadi punya alasan untuk dipuji Tuan Gera dan membuat Harpa malu," batin Okna. Tiba di ruangan Isla, Okna menggebrak meja. "Bagaimana Anda bisa dengan mudah menolak ucapan maaf, padahal Anda melakukan kesalahan?" tegur Okna. Isla menatap wanita itu. Sementara Okna sudah terlihat kesal, Isla masih santai saja. "Aku sudah mendengar tentang Anda. Dan itu sangat menyebalkan. Bagaimana kalau kita membahas ini dengan CEO dan juga direktur lain?" ancam Okna. "Lucu sekali, hanya karena lift saja sampai harus membawa nama CEO!" timpal Isla. "Kamu sadar orang yang kamu ganggu kenyamananya, Dios! Dia artis nomor satu di sini," tegas Okna. "Terus, aku harus menyembah leluhurnya begitu?" tanya Isla dengan sindiran keras. "Kamu memang sangat tidak tahu malu, ya! Kalau aku jadi kamu, gak akan berani lagi datang ke sini!" "Kamu siapa? Kakaknya CEO? Keturunan Kariswana juga? Kalau bukan, kembali ke tempatmu dan bekerja sana!" usir Isla. Okna melotot. "Benar kata staf lain! Kamu itu sombong!" "Memang kamu tidak? Becermin sana! Kasihan sekali dengan tunangan kamu. Dia harus banyak kena mental menghadapi sikap kamu yang memalukan. Aku beri satu ketegasan saja! Kamu akan kena tegur dalam waktu dekat! Tabahkan hatimu dan urus dirimu sendiri!" Isla memanggil security. Tak lama kedua penjaga memaksa Okna keluar ruangan. "Aku gak akan lupa penghinaan ini!" teriak Okna. Isla memijiti kening. "Kenapa ada orang tidak waras di perusahaan ini, sih?" Harpa pulang ke rumah dan lekas mengganti pakaian. "Anda belum pulih benar, Nona. Dan ini terlalu malam," saran Bi Melia. "Aku perlu melakukan ini, Bi. Masalahnya terlalu pelik. Aku mohon maklumi, ya? Aku bukan lagi anaknya Bibi yang diam di rumah dan buang-buang uang. Sekarang kalau bukan aku, siapa yang akan melindungi perusahaan?" tanya Harpa. Bi Melia akhirnya mengangguk. Dia kembali menolong Harpa untuk kabur dari rumah. Seperti biasa Isla dan Narvi akan menjemput di jalan belakang rumah dan jaraknya agak cukup jauh. Keduanya melihat Harpa berlari-lari memakai hoodie hitam. "Kamu gak akan mendadak demam ini?" tanya Narvi. "Gak akan. Lagian tanganku sudah bisa digerakkan. Hanya belum boleh kena air dan dibuka perban. Barusan suster sudah gantikan, kok," jelas Harpa. Kini mobil mereka melaju menuju tempat biasanya nongkrong. "Aku kangen makanan tidak sehat ini," ucap Harpa melihat ayam goreng dan sambal. "Kamu kalau ngomong hati-hati, yang dagang bisa sakit hati sama ucapan kamu!" omel Narvi. "Iya! Teman lagi sakit malah digalakin terus!" Mereka langsung membahas sebuah proyek besar yang akan menggunakan nama Diamond. "Jadi maksudnya kita iklan dulu sehingga untuk menutupi itu, para direktur terpaksa menerima proposalku?" tanya Harpa. "Andai kalau anaknya koar-koar mau menikah Minggu depan, orang tua pasti malu dan terpaksa menuruti, kan?" terka Isla. "Kalau aku jadi orang tuanya, sudah aku kirim ke rumah sakit itu anak!" timpal Harpa sambil tertawa. Narvi menoyor jidat temannya itu. "Kamu bisa serius sedikit gak sih?" "Kamu aku pecat!" tegas Harpa. Jelas Narvi tertegun. "Ngomong apa ini orang?" Mata gadis itu menatap Isla, sedang yang ditanyai malah menaikkan kedua bahu. "Kalau aku serius, pegawai kayak kamu pasti akan aku PHK," jelas Harpa. "Ya sudah, gila saja lagi. Kamu emang sepantasnya begitu," komentar Isla dengan nada sinis. Narvi tertawa dengan puas dan menunjuk wajah Harpa. "Aku sudah merencanakan ini. Kita tahu trend pembelian PC dan album dari salah satu agensi di Korea Selatan? Rencananya aku ingin melakukan hal yang sama. Jadi satu album hanya ada satu PC. Kemudian untuk PC di luar itu, hanya PC biasa yang jelas berbeda dengan apa yang ada dalam album," jelas Harpa. "Kamu tahu efeknya banyak album yang dibuang karena hanya peduli dengan PCnya?" tolak Narvi. "Justru itu, ada startegi paling jitu! Kita beri spoiler kalau PCnya Dios akan keluar sekian jumlah penjualan pertama. Sisanya akan diberi giliran hari. Artinya penjualan," Harpa sengaja memutus kalimatnya. "Akan melonjak di hari pertama!" seru Narvi. "Lalu bagaimana cara kamu meyakinkan Dios untuk mengumumkan itu? Apa kamu gak takut member lain merasa dibedakan?" tanya Isla. "Nyatanya memang itu terjadi di mana-mana. Member lain jelas tak punya pilihan. Dibandingkan keluar grup dan mereka tak punya pekerjaan. Banyak juga member melakukan itu dan nama mereka malah tenggelam. Lagipula Diamond sangat solid dibandingkan grup lainnya. Mereka tahu cara menempatkan diri. Dan, tentu berikan mereka kenyamanan lain untuk menutupi rasa itu," saran Harpa. "Gimana?" Narvi penasaran dengan ide cemerlang apalagi yang akan keluar dari kepala Harpa. "Regal, leader grup punya kemampuan MC yang baik. Aku akan berikan dia posisi di salah satu talkshow. Niel, memiliki kemampuan membuat lagu. Aku akan mencoba sample lagu buatannya dan akan aku jadikan lagu debut grup lain. Reid dan Neo memiliki bakat akting. Aku akan carikan mereka peran dalam sinetron. Dan Dios, kalian sudah tahu rencanaku untuknya," jelas Harpa. Narvi dan Isla langsung memberikan gadis itu jempol. "Mereka akan populer dengan jalan masing-masing. Di satu sisi menambah penghasilan dan menyalurkan bakat. Lebih dari itu menambah fans Diamond." "Lalu bagaimana dengan grup baru yang kamu rencanakan?" Isla mengambil kerupuk dan menyendokkannya ke sambal. Terdengar suara renyah ketika makanan itu Isla kunyah. "Itulah. Aku masih memikirkan bagaimana cara mengatur perekrutnya. Selama orang yang mengaudisi masih orang-orang Gera, rencanaku tak bisa berjalan dengan lancar." Seekor kucing menghampiri. Harpa memberikan sepotong daging pada kucing itu. Dia tersenyum melihat hewan itu makan dengan lahap. "Kamu kelaparan, ya?" tanya Harpa. "Artinya kita harus tetap memprioritaskan untuk menyingkirkan satu per satu orangnya Gera," tekan Narvi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN