"Sesuai dengan isi proposal, proyek ini akan berjalan tanpa perubahan. Semua karena perencanaan telah dibuat matang sehingga tinggal melakukan pelaksanaan," ungkap Gera.
Harpa mengangkat tangannya. "Memang sudah melakukan tes ombak? Bagaimanapun kita tetap harus tahu pikiran konsumen. Sejauh apa pun sebuah rencana dilakukan, konsumen tak semuanya sama. Suhu, cuaca, iklim bahkan pandemi. Harusnya bisa diperhitungkan juga," saran Harpa.
"Tentu saja, Nona. Mana mungkin saya berani merencanakan proyek tanpa pertimbangan tersebut," jawab Gera.
Harpa mengangguk. "Kalau begitu lakukan saja. Aku akan menunggu proyek lemari foto itu."
Selesai rapat, Harpa langsung meninggalkan ruangan. Adras mengikutinya. "Beliau sudah sangat yakin."
"Aku tahu itu. Biarkan saja. Untuk apa memikirkannya. Dia sudah setua itu pasti tahu apa yang salah dan benar. Aku lebih baik mengurus bagianku," timpal Harpa. Dia dan Adras naik ke dalam lift. "Surat penolakan itu sudah kamu sampaikan pada Okna? Kalau kamu takut, aku akan bantu, kok!"
"Tak perlu. Setelah mengantar Anda ke ruangan, saya akan langsung bertemu dengan Okna," tolak Adras.
Adras berdiri di depan pintu melihat Harpa masuk ke dalam kantor. Kemudian dia berjalan menuju lift dan turun ke lantai bawah. Selama melewati lorong, Adras mendapat hormat dari banyak staf. Pria itu menarik napas begitu berada di ruangan para staf di mana Okna bekerja. Kini dia masuk dan melewati lorong di antara kubikel yang menjadi sekat antar meja.
"Adras!" panggil Okna melihat tunangannya mendekati. Fatur mendengar suara putrinya itu. Dia melirik ke sumber. "Kamu ngapain ke sini?"
"Aku mau ketemu kamu. Ingin menyampaikan surat dari CEO," jawab Adras. Amplop cokelat dia simpan di atas meja Okna.
"Apa isinya?" tanya Okna bingung.
"Buka saja."
Terpaksa Okna menarik kertas di dalam amplop. Dia membuka lipatan dan membaca isinya. "Maksudnya apa ini? Kenapa bisa naiknya statusku ditangguhkan?" tanya Okna bingung. Dia melihat ke arah Papanya. Sedang Fatur hanya mengusap wajah.
"Kamu sudah baca isinya, kan? Jadi gak perlu tanya lagi kenapa." Adras memperbaiki dasinya. Dia hendak kembali ke ruangan. Okna mengikuti dari belakang. Dia tak mau ribut di depan banyak orang. Hingga mereka tiba di lorong yang sepi, Okna menarik lengan tunangannya.
"Kamu tega melakukan ini sama aku?" tegur Okna.
"Okna, kamu memang belum siap menjadi pegawai tetap. Jadi lebih baik kamu belajar lebih banyak lagi," saran Adras.
Terlihat senyum meledek Okna. "Belum siap? Di mana wanita itu?" Okna berkacak pinggang.
"Kembali ke tempatmu dan bekerja dengan baik. Tidak ada untungnya kamu marah-marah," saran Adras.
Okna dorong tubuh Adras dan lekas menaiki lift menuju kantor Harpa. Di sana gadis itu mencoba melewati barisan penjaga. "Biarkan aku bertemu dengan CEO!" tegas Okna.
"Mohon maaf, Nona. Yang bisa bertemu dengan beliau, hanya yang sudah memiliki janji," tolak Andre salah seorang penjaga.
"Memang kalian siapa berani melarangku?" tantang Okna. Adras menghampiri. Dia tarik lengan tunangannya itu. "Lepasin Adras! Aku harus kasih gadis manja itu pelajaran! Dia sudah melebihi batas!" omel Okna.
"Kamu apa gak punya harga diri sampai marah-marah di tempat orang? Apa kamu gak malu bersikap kayak gini? Kamu bisa jadi bahan pembicaraan selama di sini. Hormati dia, bagaimanapun dia pimpinan kamu! Bukan lagi teman satu kelas yang bisa kamu ganggu seenak hati!" Adras mengeluarkan suara tinggi.
Keributan itu sampai di telinga Harpa. Karena penasaran, dia menelepon salah satu penjaga di luar. "Suruh masuk saja! Aku suka keributan," pinta Harpa.
"Baik, Nona." Pejaga itu lekas membuka pintu. "CEO meminta Anda menghadap," ungkap penjaga. Okna mengusap keringat di kening dan langsung masuk ke ruangan itu.
Kini Okna berhadapan dengan Harpa yang tengah santai di kursinya sambil menggeser-geser pulpen ke sisi kanan dan kiri. "Kenapa wajah kamu kayak gitu? Persis tokoh kurawa di wayang golek tahu?" ledek Harpa.
Okna bersedekap. Wajahnya diangkat dengan mata yang tajam. "Mau kamu apa sebenarnya? Kamu punya dendam pribadi di masa lalu sama aku?" tegur Okna.
Harpa tersenyum licik. "Begitu, ya? Makasih sudah diberi tahu. Aku agak lupa. Maklum karena kamu gak penting. Tapi di masa lalu memang kita pernah bertemu?" Harpa masukkan pulpennya ke dalam wadah.
"Begini? Kenapa hanya aku? Kamu tahu beberapa hari lalu, teman kamu sudah melanggar aturan. Dia naik lift yang sama dengan Dios. Lift yang jelas bukan diperuntukkan karyawan biasa! Namun, dia kini sudah jadi pegawai tetap. Begitu juga dengan Narvi. Apa ini adil?"
"Apa Isla dan Narvi berani ikut menyusun proposal bisnis dan diajukan padaku? Apa mereka berdua bertindak seolah leader padahal masih magang? Tidak diberi jabatan saja kamu sudah sedemikian berani, apalagi jadi pegawai tetap," jelas Harpa.
"Jangan tutup mata karena wanita bernama Isla itu teman kamu sendiri!" tunjuk Okna.
"Dan beraninya kamu menunjuk aku, menggunakan bahasa tidak sopan sementara kamu ingin bekerja di perusahaanku?" Harpa bertumpang kaki.
"Perusahaan ini bukan hanya milik keluarga Kariswana," jawab Okna dengan mudahnya. Adras tak bisa menahan lagi mantan tunangannya itu.
"Yang jelas perusahaan ini bukan milik keluargamu, jadi jangan sok di sini! Soal masalah Isla, aku yang berikan dia wewenang! Mau lihat suratnya?"
Okna memalingkan wajah. Tak lama pandangannya kembali pada Harpa. "Jadi kamu benar-benar pilih kasih."
"Memang kamu diberikan sebuah tugas besar olehku?" Kembali Harpa bertanya. Okna menggigit bibir bawahnya. "Isla sedang dalam perintahku saat itu. Dia harus terburu-buru. Jadi kalau mau protes, pikir dulu!" Harpa menggebrak meja hingga Okna kaget.
Telunjuk Harpa tertuju pada musuhnya itu. Mata Harpa berubah sangat tajam. "Aku gak suka sikap kamu seperti ini. Aku bisa saja beri kamu hukuman hingga melarang magang di sini! Aku masih memberikan kamu kesempatan. Tidak hanya karena masalah proposal, kamu bahkan berani membocorkan apa yang aku bicarakan dengan sekretarisku pada pimpinan lain!" bentak Harpa.
Kali ini Okna hanya bisa lari dari tatapan Harpa. "Dengar! Kamu bukan apa pun di mataku sekarang! Bersikap layaknya karyawan lain. Jangan sok padaku! Aku tidak memandangmu sebagai tunangan Adras atau rekannya Gera! Dalam satu minggu dan sikap kamu belum berubah juga, angkat kaki dari sini!" tegas Harpa.
"Kamu gak bisa sembarang memecat pegawai!" ucap Okna dengan santainya.
"Gak bisa? Kamu mau nyoba sekarang?" tantang Harpa. Jelas saja Okna merasa seram dan menggelengkan kepala. "Kembali ke kantormu dan sebelum itu, minta maaf karena sudah mengganggu pekerjaanku!" tegas Harpa.
Okna menggerak-gerakkan ujung kaki kanannya. Dia masih menimang karena takut harga dirinya jatuh kalau melakukan itu.
"Tak mau?" tegur Harpa lagi.
"Aku minta maaf, CEO," ucap Okna sambil membungkuk. Harpa langsung memberikan isyarat agar Okna pergi saat itu juga. Okna berbalik dan menatap Adras dengan tajam. Sedang Adras ikut membungkuk lalu meninggalkan tempat.
Keduanya tak saling bicara. Adras hanya masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu. "Aku akan adukan ini sama Om Thyon! Dia pasti tak senang lihat sikap kamu ini, Adras. Aku gak akan biarin kamu hilang dari genggamanku!" batin Okna.
Pusing dengan perilaku Okna Harpa putuskan mencari hal lain yang menyenangkan. Kebetulan saat itu apa yang ditunggu akhirnya muncul juga. Dios mengirim dia pesan.
Malam ini saya tak punya jadwal. Apa perlu saya jemput Anda dengan cara seperti kemarin?
Harpa harus bertemu dengan Dios untuk membicarakan rencana mereka. Syukur-syukur kalau sampai rencana pernikahan. Walau Harpa tahu itu tidak mungkin.
Lebih baik begitu untuk meminimalisir diketahui orang. Hati-hati dengan fans penguntit.
Setelah mengirim pesan itu, Harpa kembali pada pekerjaannya. Gadis itu manyun hingga lima senti meter. "Perasaan tadi sudah aku kerjakan ini. Kenapa masih halaman satu?" pikirnya. Padahal sejak tadi dia memang belum mulai.
Waktu siang datang. Adras membawa Harpa makan siang ke ruangan. Kotak-kotak bekal itu Adras bariskan di atas meja tamu di ruangan Harpa karena meja sang CEO penuh oleh dokumen.
"Padahal aku gak lapar, Adras. Hanya mengantuk saja," keluh Harpa.
"Tangan Anda masih belum pulih, Nona. Belum setelah ini Anda harus minum obat dan semua resepnya bisa diminum setelah makan," saran Adras.
Harpa menurut saja. Lengannya masih terasa perih meski bisa mengetik dengan lancar. "Habis ini, Okna gak mungkin demo di bawah sana, kan? Tunangan kamu itu memang bikin aku kaget. Dia pegawai biasa pertama yang langsung menegurku begitu." Harpa sampai geleng-geleng kepala.
"Saya sungguh minta maaf. Padahal sudah saya jelaskan dengan rinci alasannya. Namun, dia masih belum bisa menerima." Adras menuangkan air ke gelas CEOnya itu.
Sementara Okna pergi ke toilet. Dia tutup pintu salah satu bilik dan masuk ke dalamnya. Di sana Okna lekas menelepon Thyon. Dia merasa beruntung karena calon mertuanya itu mengangkat telepon.
"Ada apa, Okna?" tanya Thyon dari seberang sana.
Okna menggigiti kukunya. "Om, hari ini aku sedih sekali. Beberapa kali aku dibentak oleh Adras. Bukan hanya itu, CEO memperlakukan aku dengan cara lain. Harusnya hari ini aku sudah melakukan percobaan sebagai karyawan baru. Namun, CEO melayangkan keberatan. Aku bingung, Om. Sikap Adras pun berubah sejak selalu bersama wanita itu. Dia terlihat sangat mendukung Nona Kariswana. Sampai tidak memikirkan perasaanku," keluh Okna.
"Boleh aku tahu alasan CEO melakukan itu?" tanya Thyon.
Jelas saja Okna tak berani mengungkap. "Memang harus bilang? Aku mana tahu, Om. Kalau tahu juga, aku tidak akan protes," jawab Okna.
"Kalau begitu biar aku tanyakan sendiri pada Adras. Dengar Okna, aku mohon jangan sekalipun kamu membuat posisi Adras di perusahaan menjadi sulit. Tidak ada yang salah kalau dia mendukung CEO, sudah menjadi tugasnya. Tidak patut kamu merasa cemburu pada atasanmu sendiri. Apalagi itu CEO," nasihat Thyon.
Okna menyipitkan mata. Dia merasa semakin terpuruk. "Om, aku harap juga Om bisa mengerti posisi aku gimana. Aku sudah jatuh terperosok dan tak satu pun yang mau menolongku," curhat Okna.
"Lanjut saja bekerja. Biar Om cari tahu dulu masalahnya."
Mendengar jawaban itu, Okna langsung menendang pintu selepas dia menutup panggilan. "Mereka semua memang gak peka!"