47. Lembah Hijau

1909 Kata
"Hari ini Anda lebih bersinar," komentar Dios saat menjemput Harpa mengenakan motor matic. Terakhir Harpa mengenakan pakaian serba hitam dan sekarang abu-abu muda. "Tapi hidupku masih mendung saja Dios," timpal Harpa sambil manyun. Dia naik ke atas jok motor yang Dios tumpangi. Tak lama kendaraan roda dua itu melaju dengan cukup kencang di antara jalanan kota. Rambut Harpa yang tidak dikucir tertiup angin ke belakang. Tangannya merentang, mencoba merasakan embusan angin menyentuh tangan. "Anda sudah makan malam? Mau mencari makanan dulu?" tawar Dios. "Bukannya kita sudah sepakat untuk menggunakan bahasa non formal?" keluh Harpa karena cara bicara Dios membuat kesan seolah ada jarak yang sangat jauh antara mereka berdua. Memang ada sih, jarak antara fans dan idola. Hanya Harpa tak ingin sadar diri. Mereka tiba di gerobak martabak. Harpa sempatkan turun dan memesan rasa keju serta kacang dan cokelat. Dua dus kue basah lembut dan legit itu, kini Harpa tenteng selama perjalanan menuju lembah hijau yang sebenarnya masuk kawasan komplek elit di kabupaten Bandung. Begitu standar motor diturunkan dan kedua kaki Harpa menyentuh tanah seutuhnya. Dia langsung melompati parit dan lari menelusuri lembah. "CEO! Hati-hati!" teriak Dios. "Tenang saja, aku gak akan jatuh lagi!" balas Harpa ikut mengeluarkan suara keras. Dios mengusap keningnya. "Padahal aku takut martabaknya hancur. Tapi gak berani bilang," batin Dios. Dia melangkah masuk. Baru beberapa senti sudah tercium wangi pinus. Dios menarik napas panjang untuk mengambil oksigen di sekitar. Di sini dia merasa memperoleh kebebasan. Begitu topi dan maskernya dibuka, wajah Dios terlihat bercahaya di bawah rembulan yang bulat sempurna. Harpa berhenti berlari, dia mengalihkan pandangan ke arah pria yang tengah berdiri sambil berkacak pinggang itu. "Sungguh dunia ini begitu indah," batin Harpa. Dia diam-diam mengambil ponsel dan memotret Dios. Tak lama Harpa berseru dalam hatinya. Dia berbalik dan kembali menatap foto. "Ya ampun, fotonya Dios dan hanya aku yang punya. Aku mau cetak kalau perlu sampai ratusan biji, terus aku jual di internet. Lumayan uangnya buat beli lightstick baru Diamond." Tak lama Harpa menepuk kepalanya. "Aku ini kenapa, sih? Kenapa bisa sampai lupa kalau aku ini CEO Callir. Jelas perbuatan itu melanggar hukum dan merugikan perusahaan. Baik, aku putuskan menyimpannya untuk diriku sendiri," pikir Harpa. "CEO, Anda bilang ada yang perlu Anda bicarakan denganku?" tanya Dios yang duduk di atas rerumputan. Untung saja daun-daun hijau itu tengah kering. Harpa duduk di dekat Dios dengan pelan-pelan takut pria itu protes dan memintanya bergeser membuat jarak. Rupanya, Dios diam saja. "Begini. Aku ada satu proyek untuk Diamond. Kalau Gera sedang mengembangkan mesin cetak foto yang merugikan. Aku ingin mengeluarkan lightstick baru yang bisa berubah warna dengan bluetooth. Dan kelebihan lainya, lightstick ini lebih ringan serta fans bebas menghiasnya karena akan diberikan sticker dan lainnya. Terus pembelian lightstick akan ada tandatangan digital dengan berbagai versi. Beda member, beda pula," jelas Harpa. "Itu sangat luar biasa. Darimana Anda punya ide seperti itu?" "Sebenarnya di Korea hampir seluruh idolnya memiliki lightstick seperti itu. Aku hanya mengadopsi sedikit dan memberikan tambahan." Harpa merasa senang sekali mendapatkan pujian dari Dios. Dios mengangguk. Matanya mengedar menangkap indah pemandangan di sana. Suara serangga malam hingga kelipan dari kunang-kunang menghiasi. Di sisi lembah, alang-alang melambai-lambai seakan mengajak bersantai untuk waktu yang lama di sana. "Lalu, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu Anda?" tanya Dios. Harpa bersila. Dia biarkan tubuhnya merasa rileks. "Aku ingin kamu memberi spoiler di media sosial kamu. Ini agak riskan, sih. Soalnya mungkin kamu ditegur atasan lain. Hanya saja, aku gak akan lepas tangan. Pasti aku akan lindungi kamu dan bilang kalau itu perintahku," jelas Harpa. "Baiklah. Desainnya sudah ada? Biar aku sekalian posting." Dios malah terlihat sangat bersemangat dengan itu. Mungkin karena itu tugas langsung dari pimpinan tertingginya. "Masih dalam proses. Mungkin minggu depan baru akan dikirimkan. Pokoknya aku sangat berharap sama kamu. Kalau ini viral dan fans suka, aku yakin perusahaan mau tidak mau akan menyetujuinya." Daun kering tertiup angin yang cukup besar. Harpa menunduk dan menutup mata takut kelilipan. Saat itu daun tersangkut ke rambut panjangnya. Dios yang membelakangi arah angin jelas tak terlalu terkena dampak. Dia tersenyum. Tangannya diangkat untuk menurunkan daun dari rambut Harpa. Saat itu pandangan keduanya bertemu. Harpa bisa merasakan debaran jantung yang keras. "Ini nyangkut," ucap Dios memperlihatkan daun di tangannya. Harpa ambil daun itu dan terkekeh. "Dia ingin aku bawa pulang kayaknya," komentar Harpa. Keduanya saling berhadapan. "Dios, aku boleh tanya sesuatu?" "Silakan." Dios ikut bersila dan menopang tangan ke tanah. "Dulu aku pernah baca salah satu puisi yang kamu kirim di media sosial. Aku gak paham artinya, tapi kamu galau banget waktu itu. Kamu bikin puisi itu untuk wanita yang kamu cintai?" tanya Harpa. "Iya. Ibuku," jawab Dios. Harpa tertegun. "Ibumu? Kamu pasti sangat rindu dengannya, kan?" Dios mengangguk. "Ketika aku lahir ke dunia, dia ada bersamaku. Namun, ketika dia meninggalkan dunia, aku tak ada bersamanya. Aku ingin jadi idol demi membuat dia bahagia. Sayangnya, aku malah tak punya waktu dengannya. Aku menyesal, ingin kembali ke masa lalu. Hanya saja aku bermimpi tentang ibuku. Dia bilang, aku harus terus maju. Aku sudah banyak mengorbankan segalanya," ungkap Dios. Harpa berpaling ke sisi lain. Dia menatap ke langit. "Ibu kamu pasti sangat bangga. Setidaknya kamu sudah melakukan sesuatu yang besar. Sedang aku, enggak. Sekarang saja aku terseok-seok dan terjungkal-jungkal ketika jadi CEO," keluh Harpa. "Ibu Anda juga telah tiada, kan?" terka Dios. Harpa mengangguk. "Apa Anda pernah bermimpi didatangi beliau?" "Tidak. Bahkan sejauh apa pun aku merindukannya, dia tak pernah datang. Aku sampai lupa bagaimana wajahnya jika saja tidak menatap fotonya. Mungkin karena dia pergi saat aku masih kecil." Meski sambil tertawa kecil, Dios bisa melihat kepedihan di mimik wajah Harpa. "Saya tahu rasanya. Anda tak sendiri. Kadang memang kepedihan membuat pikiran kita menghapus sebagian memori. Bukannya rasa sayang berkurang. Kita hanya mencoba lari dari itu semua." Harpa mengangguk-angguk. Tangannya bergeser dan tanpa sengaja menyentuh Dios. Jelas saja gadis itu langsung bingung sendiri. Dia terlihat cemas. "Maaf, aku gak sengaja. Beneran! Memang aku ingin nyentuh kamu, tapi gak sampai kurang ajar begitu. Aku tahu diri. Tadi itu karena aku gak liat tangan kamu," alasan Harpa. Tawa Dios terdengar renyah. "Anda suka berdansa?" tanya Dios. Harpa mengangguk. "Mau dansa denganku?" Dios menyalakan musik dari ponselnya. Dia berdiri dan mengulurkan tangan. Harpa menerimanya dan ikut bangkit. Tangan kanan Dios memegang pinggang Harpa. Mereka bergerak ke kanan dan kiri serta berputar mengikuti irama musik. Malam itu sepulang jalan-jalan dengan Dios, Harpa menatap ke langit-langit kamar. Dia tersenyum sesekali kemudian memeluk bantal. "Ternyata gini rasanya kencan sama idol. Senang banget. Sayang saja cuman merasa bisa jadi pacar dalam kehaluan," batin Harpa. Dia duduk bersila. "Tapi Dios gak bisa aku harapkan untuk masa depan. Aku harus menikah segera. Dengan siapa? Apa aku harus ikut biro jodoh di aplikasi online? Tapi kalau ketahuan Adras malah memalukan jadinya." Harpa melirik ke arah jendela. "Ngapain aku mikirin Adras, sih? Emang dia pernah mikirin aku? Haluanku ambyar cuman karena ingat nama dia." Kaki Harpa turun dari tempat tidur. Dia berjalan ke balkon untuk merasakan angin malam. Baru membuka pintu, Harpa sudah bersin-bersin tak karuan. "Tadi jaket yang aku pakai memang tipis. Jadi sekarang pasti aku kena flu. Lebih baik aku tidur saja lagi. Daripada ngantuk dan ketiduran di mobil. Masih mending kalau gak ngiler." Harpa kembali tutup pintu balkon dengan menggesernya ke samping. Dia lari ke atas tempat tidur, berbaring dan menutup tubuh dengan selimut. Baru akan terpejam, ponselnya berdering. Harpa membuka mata, menendang selimut dan menggerakkan bibirnya ke sisi kanan dan kiri. Ada pesan dari Isla. Gimana? Dios setuju? Harpa lekas mengetik balasan. Tak lama Isla membacanya. Dia bilang kapan pun siap. Malah akunya yang belum siap. Aku takut gagal. Tak lama pesan Harpa mendapat balasan kembali dari Isla. Ide kamu selalu cemerlang, kok. Aku yakin kalau artisnya yang promokan pasti laku Membaca pesan itu membuat Harpa kembali bersemangat. "Benar! Aku pasti bisa! Besok pulang kerja, aku mau langsung ke rumah Peter untuk mengambil desain lightsticknya. Harpa, kamu pasti bisa buat bangga orang tua kamu. Selama hidup kamu bikin kesel saja, paling gak di akhirat sana mereka bisa tenang melihat kamu sukses. Apalagi kalau sampai tampil di majalah. Terus di majalahnya berduaan sama Dios!" Dia berteriak histeris dan berguling-guling. Ponselnya kembali berdering. Pesan masuk dari kontak Adras kali ini. Harpa mengedipkan mata. Dia baca isi pesan tersebut. Anehnya jantungnya tetap saja berdegup. "Apa aku ini sudah menduakan pria? Padahal aku jomlo, tapi sudah membagi hati." CEO, besok jangan lupa pelajari proposal yang sudah anda tandatangani dan adakan rapat dengan tim yang akan menjalankannya. "Hidih! Ini orang bisa gak sih sehari saja gak bikin sakit kepala!" omel Harpa. Pagi harinya ketika matahari terbit, Harpa terbangun. Dia mengucek matanya. Mendadak terasa berat di bagian belakang kepala dan nyeri di punggung hingga setiap persendian sakit ketika ditekuk. Harpa tersenyum jahil. "Aku sakit! Hore!" serunya. Saat itu juga dipegang kening. Terasa panas di punggung tangan. "Fix, aku harus panggil dokter." Mungkin hanya Harpa orang yang senang ketika sakit dan semangat memanggil dokter. Dia turun ke kamar mandi dengan tubuh terasa lemas, tapi hati masih berseri. Selesai cuci muka dan gosok gigi, Harpa semprotkan parfum kemudian terbaring di tempat tidurnya lagi. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. "Masuk!" serunya. Bi Melia membuka pintu. Dia membungkuk di depan Harpa. "Nona apa memanggil Dokter?" tanya wanita itu. "Iya, Bi. Badanku panas dan kepala pusing," jawab Harpa. Berapa kali saya tekankan untuk tidak pergi malam terus. Kalau hari kerja akan lebih baik untuk Anda beristirahat saja," saran wanita itu. Harpa nyengir kuda. "Kayaknya bukan karena pergi malam, tapi aku terlalu banyak bekerja. Jadi aku lelah," alasannya. Dokter masuk dan langsung memeriksa Harpa. Dia pun ikut mengecek tangan gadis itu. "Semuanya masih baik-baik saja. Minum obat dan istirahat sehari, lusa Anda bisa kembali beraktivitas," saran Dokter. "Maaf, apa gak bisa seminggu saja, Dok. Masalahnya saya ini kurang sekali istirahat dan butuh ketenangan batin. Sepertinya menurut video yang aku tonton di internet, aku mengalami mental healt," pinta Harpa. "Apa Anda belakangan merasa cemas?" tanya Dokter. Harpa mengangguk. "Sudah berapa hari?" "Ada mungkin lima, bukan sepuluh hari," jawab Harpa berdusta seperti biasanya. "Kalau begitu itu bukan gejala depresi. Detakan jantung Anda juga normal. Semua baik-baik saja," kilah Dokter. Bahkan dari tatapan mata sekilas saja bisa terlihat kalau Harpa tak punya masalah kesehatan mental. Akhirnya dia hanya diberi surat izin tidak masuk kerja selama satu hari. "Harusnya aku panggil Dokter yang bisa diajak kompromi soal ini." Harpa bersedekap. Tak lama Nona Melia datang membawa sarapan dan teh hangat. "Nona, Tuan Adras ada di bawah. Apa perlu saya minta beliau untuk naik ke sini?" "Iya. Lakukan saja. Biar dia tahu aku lagi sakit dan menjejaliku dengan pekerjaan." Harpa masih menatap surat izinnya. Dia sama sekali tak bisa mencurangi angka hari di surat itu karena ditulis keterangan abjad angkat tersebut. Tak lama terlihat Adras masuk ke dalam ruangan. "Selamat pagi, Nona. Bagaimana keadaan Anda?" tanya Adras. "Aku demam, badanku terasa seperti diinjak gajah, aku juga mudah haus karena keringat dingin terus bercucuran. Rasanya seluruh energiku diserap oleh dunia ini. Aku gak tahu, masih bisa bergerak atau tidak," jawabnya dengan suara lemas. "Tak tahu kenapa aku menyesal sudah menanyakan itu padanya," batin Adras. "Saya harap Anda lekas sembuh. Rapat hari ini dibatalkan dan saya gantikan dengan agenda lain," jelas Adras. Bi Melia menyuapi Harpa dengan bubur. "Marahin saja Tuan Adras. Nona ini kalau malam-malam suka main terus," adu wanita itu. "Bibi kenapa bilang-bilang, aku sudah katakan itu rahasia!" protes Harpa. "Anda bukannya lemas? Kenapa sekarang suara Anda begitu keras?" tegur Adras. "Oh, tadi ada jin masuk dalam tubuhku," timpal Harpa dengan sewotnya. Adras hanya terkekeh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN