"Hati-hati, Nona," saran Melia. Kepala pelayan itu membukakan pintu belakang rumah. Dia memastikan lampu halaman belakang dimatikan agar Harpa tak ketahuan pergi ke luar rumah.
"Makasih banyak, Bi. Aku sayang Bibi." Harpa memeluk pelayannya itu dan mengecup pipi Melia. Terlihat senyuman terkembang di wajah wanita sepuh itu. "Nanti aku kembali, pasti aku telepon lewat telepon rumah. Matikan lampu tamannya seperti sekarang," tambah Harpa.
"Jangan terlalu lama di luar."
Harpa lekas melewati gerbang. Melia menutup pintu itu. Kini Harpa harus berjalan hingga ke dekat danau. Di sana Isla dan Narvi sudah menunggunya. Tentu saat seperti ini, mereka harus membicarakan strategi saat di rapat bersama dewan komisaris besok.
Harpa mengenakan pakaian serba hitam. Dia sengaja mengucir rambut dan menggulungnya masuk ke dalam topi hingga rambut panjangnya tak terlihat. Jalanan saat itu terlihat sepi. "Mbak Kun, Mas Cong, tolong jangan ganggu dulu, ya? Teman kalian yang namanya Gera sedang bikin masalah sama aku," pinta Harpa ketika melewati pepohonan di pinggir jalan.
Akhirnya dia melihat mobil mini bus terparkir di pinggir jalan. Harpa lekas berlari dibandingkan tersiksa karena merinding. Angin malam bukannya memberi kesegaran, malah mengajak berhalu bernuansa horor.
Harpa buka pintu bagian belakang. "Kalian lama nungguin aku, ya?" tanyanya. Dia kaget karena malah menemukan sepasang muda-mudi tengah berpelukan. Jelas baik Harpa dan pasangan itu berteriak kaget. "Kalian siapa?" tanya Harpa. Justru dia yang salah masuk, malah dia yang menegur.
"Kok malah kamu yang nanya? Beraninya masuk mobil orang tanpa izin!" omel si pria sambil menunjuk wajah Harpa.
Barulah gadis itu sadar posisinya tidak bisa dibenarkan. "Tetap saja, gak baik kalian berbuat tak senonoh di sini! Bisa bawa sial empat puluh rumah!" Harpa balas mengomel.
"Kami suami dan istri, Mbak!" alasan si wanita.
"Mana ada pasangan nikah mojok dalam mobil di jalan sepi! Halu juga ada batasnya, Mbak! Untung saya bukan polisi, kalau enggak sudah saya periksa buku nikahnya!" Harpa turun dari mobil sambil dimaki oleh orang dalam kendaraan itu. Dia santai saja mencari mobil kedua temannya.
"Dasar pasangan gak tahu diri. Teganya mereka mojok di depan orang jomlo!" umpat Harpa. Dia berbelok dan akhirnya menemukan mobil sedan hitam.
"Kali ini aku gak mau kena prank lagi! Aku harus intip dulu jendelanya," tekad Harpa. Begitu dia berada dekat mobil, jendela mobil itu turun. Narvi melambaikan tangan. "Akhirnya aku menuju jalan yang lurus dan benar," ucap syukur Harpa.
Gadis itu naik ke jok ke dua. Dia duduk kemudian menyandarkan punggung. "Kenapa kalian parkir jauh amat. Jadi aku kena jebakan tadi." Harpa berselonjor di atas tempat duduk.
"Emang kena apa?" tanya Narvi penasaran.
"Gak usah diomongin. Soalnya berhubungan sama aib orang," tolak Harpa. Mobil sedan itu akhirnya meninggalkan komplek rumah. Rencananya mereka akan pergi ke tenda pecel lele. Memang paling aman membicarakan bisnis di sana. Mana ada orang membuat strategi perusahaan besar di tenda pecel lele. paling juga yang dengar anggap Harpa dan teman-temannya tengah halu bersama.
"Mang, aku ayam goreng saja. Sambalnya yang pedas sampai bibirku jontor kalau perlu," pinta Harpa.
"Baik, Bu," jawab penjual warung pecel itu.
"Mang, sekali lagi manggil Ibu, aku tekanin kasih diskon lima puluh persen!" ancam Harpa.
Narvi dan Isla malah terkekeh. Kini mereka mulai membuat strategi. "Jadi apa yang harus aku lakukan ketika aku ditanyai nanti?" Harpa membuka lebih dulu.
"Pertama, kamu bilang kalau ini ide Narvi. Katakan bahwa menurut penilaia Narvi, pegawai di sana banyak yang tidak memenuhi standar. Kalau ditanya bagaimana kamu bisa berpikir kalau Narvi benar, jawab saja karena kalian penah jadi fans gila," jelas Isla. Dia sedang membangun strategi bagaimana menciptakan anggapan lain dalam otak manusia.
"Intinya hanya boleh aku yang terlihat pintar. Aku yakin mereka akan penasaran denganku. Gera memerintahkan orangnya untuk mencari latar belakangku," ungkap Narvi.
"Tahu dari mana?" tanya Harpa bingung.
Narvi terkekeh. "Memang Gera saja yang bisa menyimpan alat penyadap, Narvi juga bisa." Narvi mengangkat kedua kerah kemejanya.
"Gimana caranya kamu masuk ruangan Gera?" Kembali Harpa mengorek jawaban dari Narvi.
Sedang wanita yang ditanyai malah terkekeh. "Namanya cleaning service pasti bertugas membersihkan ruangan. Aku tinggal pura-pura jadi mereka."
Harpa menunjukkan kedua jempol ke arah sahabatnya itu. "Oh iya, Adras sudah mencium gelagat kita bertiga," ungkap Harpa.
"Terus?" Isla malah terlihat biasa saja.
"Kalau dia tahu segalanya dan bantu tunangan dia gimana?" Harpa menangkup tangan ke wajah. Kemudian menurunkan tangan dan mengusap lututnya sendiri.
Isla menungkan air teh ke dalam gelas. "Ingat dosen kita pernah bercerita. Musuh itu tidak memandang hubungan darah, apalagi sosial." Setelah satu gelas penuh, dia seret ke dekat Harpa dan menuang gelas lainnya.
"Maksud kamu, dia gak akan ganggu kita?" Harpa mencoba menegaskan maksud Isla.
"Dia bukan pria gampangan," jawab Isla dengan ekspresi datarnya. Karena bisa membaca mimik wajah orang, Isla sendiri mudah menutupi gestur wajahnya.
"Buktinya dia gampang banget putus dan nyari cewek lain," sanggah Narvi. Harpa menganggukkan kepala.
Isla menatap ke arah pemilik warung yang masih sibuk menggoreng pesanan. "Kita tak bisa menilai uang dari satu sisi. Bisa saja itu uang palsu. Memandang dan menyentuh akan memberikan dua penilaian berbeda. Semua orang juga bisa terlihat cantik dengan filter kamera," jelas Isla.
"Dia ngomong apa, sih?" Harpa memiringkan kepala kemudian bertanya pada Narvi. Meski pintar sekalipun, Narvi masih kurang peka dengan kalimat penuh filosofi yang diucapkan Isla.
"Sepertinya bekerja dengan kalian akan membuatku lebih lelah seratus kali lipat. Maksudku dibandingkan kamu memikirkan Adrasha akan memihak siapa, kamu selesaikan dulu masalahmu dengannya," saran Isla.
"Masalah apa? Perasaan, aku baik-baik saja," kilah Harpa sambil membuang muka ke arah jalanan yang tengah macet.
"Kalau perasaanmu masih baik dengannya, harusnya kamu tak perlu khawatir apa pun tentang Adras dan Okna."
Harpa menyipitkan mata. Dia kembali menatap Isla. "Aku khawatir sebagai orang yang menyimpan rahasia besar dalam perusahaanku."
"Namun yang kulihat kamu khawatir akan perasaan pribadi Adrasha, bukan sekretarismu."
"Sudahlah! Masalah perusahaan lebih penting! Aku pastikan akan move on dalam waktu dekat!" protes wanita itu.
Tak lama pemilik tenda datang menyajikan pesanan. Harpa langsung mencomot ayam gorengnya. Narvi tepuk tangan wanita itu. "Cuci tangan dulu kenapa?" omel Narvi.
"Aku sudah cuci tangan, kok!" Harpa menunjukkan kedua telapak tangan ke hadapan temannya itu.
"Kapan?" tegur Narvi lagi.
"Tadi sore," jawab Harpa datar kemudian lansung memakan hidangan. Jelas Narvi dan Isla langsung memukul gadis itu dengan lalapan di atas meja. Sedang Harpa hanya nyengir kuda seakan merasa tak bersalah.
Lain dengan Adras yang berkumpul dengan teman-temannya di bar mewah. Pria itu duduk dengan perasaan tak nyaman. Sejak pacaran dengan Okna, Adras terpaksa masuk circle gadis itu. Meski dia sendiri tak cocok ada di sana. Terbukti saat lainnya bercanda dan minum-minum, Adras hanya diam saja.
Dia sesekali membuka grup chat yang berisi temannya saat kuliah dulu. Tentu dua teman Adras itu tak ada di sana. "Kamu gak minum?" tanya Okna duduk di samping Adras sambil mengasongkan sebuah gelas.
"Tidak, besok aku kerja dan ada rapat komisaris yang harus aku hadiri," tolak Adras.
Okna pura-pura heran. "Rapat komisaris? Artinya ada masalah di perusahaan, dong?" tanya wanita itu.
Adras tersenyum. "Setiap perusahaan pasti punya masalah," timpal Adras.
Okna menganggukan kepala. "Kamu datang pasti bersama CEO? Jadi CEO juga diundang?"
"Sesuai yang kamu katakan. Dia masih muda, tidak heran membuat keputusan yang salah," timpal Adras.
Okna terkekeh. "Dia gak salah. Orang yang angkat dia ke sana yang buat kesalahan. Semua orang juga tahu siapa Harpa Kariswana."
"Harpa? Kenapa dia?" tanya Selly, teman satu geng Okna.
"Kalian memang gak tahu kalau dia jadi CEO?" ungkap Okna.
Semua orang di ruang VIP itu tertawa. "Apa gak akan hancur dalam sekejap perusahaan itu?" ledek Marion.
"Benar, orang zaman sekarang powernya karena orang dalam. Ingat di kelas dia disuruh bikin presentasi saja malah nanya cara bikinnya kayak gimana? Ini dia jadi CEO. Jangan-jangan kalau mau kerja dia harus buka dulu browser." Tasya ikut menimpali.
"Aku malah mikirnya dia cuman duduk buat absen doang, sedang semua pekerjaannya diberikan ke orang lain." Saking puasnya tertawa, Marion sampai memegang perut.
"Memang. Apa-apa yang kerja keras Adras, kan? Dia mana bisa mikir. Ikat sepatu dengan benar saja gak bisa." Okna menyandarkan kepala di bahu tunangannya.
Wajah Adras sudah memerah, dia ingin meledak saat itu juga. Namun, pria itu menutup wajah sejenak, memikirkan apa yang akan berdampak untuk itu semua. "Dia bahkan tidak bisa membedakan mana copy writer dan art director," ucap Adras kemudian tersenyum licik.
Okna menatap Adras. Dia agak terkejut sejenak, kemudian menyeringai. "Apalagi masalah yang akan dia buat?" pancing Okna.
Adras melirik tunangannya. "Dia akan membuat sebuah aplikasi khusus berlangganan. Aplikasi itu digunakan untuk berinteraksi antar idol dan fans. Masalahnya biaya yang dikeluarkan cukup besar hingga dia memutuskan menghentikan pembangunan wahana milik Callir," ungkap Adras.
"Apa dia masih waras? Wahana itu sudah menjadi rencana papanya sendiri." Okna menyimpan gelas di atas meja.
Adras hanya menggeleng. Dia memutar ponsel di tangan. "Kita tunggu berapa lama Gera akan menghubungiku," batin Adras.
"Kamu kenapa masih bertahan kerja dengan dia, sih? Kalau aku jadi kamu, mendingan kabur ke luar negeri," saran Selly.
"Papanya Harpa mengancam keluarga Adras harus mengembalikan semua hal yang pernah digunakan termasuk penalti bonus selama ayahnya Adras menjabat," ungkap Okna.
"Wah, ini beneran aneh, sih! Gimana bisa kayak gitu?" Rangga sampai menepuk meja.
"Biasa, Nona besar itu ingin mendapatkn hati Adras kembali," timpal Okna.
"Sayangnya aku sama sekali tak tertarik dengan anak manja," sambut Adras.