“Pak, file yang Bapak minta sudah saya simpan di atas meja,” ucap Thyon setelah mereka sampai di ruangan Chaldan.
Pimpinannya itu hanya menjawab dengan anggukan kepala. Thyon menunduk lalu meninggalkan ruangan. Mendadak suasana di antara mereka menjadi dingin. Thyon pun bingung bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Dia pun kaget melihat putra sematawayangnya tengah bermesraan dengan putri CEO di perusahaan tempat ia bekerja.
Tak lama setelah Thyon menutup pintu kantor Chaldan, pria itu bertemu dengan pimpinan bodyguard CEOnya itu, Prapto. “Pak,” sapa Prapto.
“Siang Prapto. Bapak sudah ada di kantor,” ungka Thyon.
“Bapak menyuruh saya memberitahu anda bahwa beliau ingin anda libur untuk beberapa waktu sampai pemberitahuan selanjutnya, “ ungkap Prapto.
Thyon menarik napas. Padahal barusan dia dan Chaldan baru bertemu. Thyon bingung kenapa Chaldan tak langsung mengatakannya dan malah memilih meminta Prapto. “Baik, aku akan mengambil cuti untuk beberapa waktu,” jawab Thyon. Dia tak ingin memperpanjang masalah.
Pria itu pulang dengan wajah penuh kecewa. Dia duduk di ruang tamu sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Adrasha mana?” tanya Thyon pada istrinya, Berlian.
“Belum pulang kuliah,” jawab Berlian. Dia pijiti bahu suaminya yang terlihat tegang. “Apa ada masalah di kantor?” tanya Berlian. Wajah Thyon begitu kusut, bahkan tak ada senyum tersirat di bibir pria itu.
“Ada yang perlu aku bicarakan dengan putramu dan ini penting. Telpon dia dan suruh pulang segera,” pinta Thyon.
“Baik.” Berlian mengambil ponsel dan mencari kontak putranya. Lumayan lama tersambung hingga Adrasha mengangkat telpon itu.
“Adras, Papa minta kamu pulang segera. Katanya ada yang mau dibicarakan. Cepat, ya?” pinta Berlian.
Dalam posisi itu Adras semakin ketakutan. Dia tutup telponnya. “Dari siapa?” tanya Harpa yang tengah duduk di kursi taman dan berhadapan dengan pacarnya.
“Papa ingin bicara denganku. Kayaknya soal di lampu merah tadi,” ungkap Adras dengan suara lemah.
“Santai saja. Salahnya apa, sih? Papa kamu juga pasti pernah pacaran. Wajar, namanya anak muda, ‘kan?” timpal Harpa tenang sambil meminum es kelapa yang Adras belikan.
“Mana bisa tenang, Har. Kamu tahu siapa Papaku di kantor dan siapa Papamu. Pasti Papamu berharapnya kamu bisa dapetin pacar seorang CEO atau putra CEO juga. Sedang aku hanya anak sekretaris.” Adras menunduk sedih.
“Terus kenapa? Kan yang penting Papamu kerja. Kalau Papamu itu enggak mau kerja, malas-malasan, itu baru masalah.” Harpa memutar sedotan dalam gelas es kelapanya.
“Kita pulang saja, Har. Perasaanku enggak enak. Besok kita ketemu lagi di kampus. Aku antar sampai depan rumah,” tawar Adras.
“Esnya belum abis, Yang.” Harpa menunjuk gelas es kelapanya.
“Abisin dulu. Aku tunggu.”
Setelah gelas Harpa kosong, mereka kembalikan ke penjual es. Lekas pasangan itu naik ke atas motor. Bandung sibuk sekali setiap mentari berada di puncak langit. Tak tahu orang dengan kendaraannya itu hendak ke mana. Jalanan begitu macet sampai asap knalpot membuat udara panas dan pengap.
Akhirnya mereka tiba di depan gerbang rumah Harpa. Wanita itu turun, tak lupa melepas helm. “Hati-hati di jalan, Adras,” pesan Harpa.
“Kamu juga, jangan lupa makan,” pesan Adras. Harpa memegang tangan Adras lalu mencium punggung tangan pacarnya itu. Mereka berpisah di sana.
Adras meneruskan perjalanan menuju rumah. Tiba di teras jantungnya sudah berdebar tak karuan. Adras mengucap salam. Pintu dibuka oleh pembantunya. “Mas Adras, Bapak sudah nunggu di ruang keluarga. Katanya langsung ke sana saja.”
“Iya, Bi.” Adras melangkah masuk ke dalam rumah. Dari ruang tengah, dia berjalan melewati beberapa pintu hingga tiba di salah satu pintu berwarna hitam yang terbuka. Adras masuk. Sudah ada ibu dan ayahnya di sana. Mata mereka menatap ke arah Adras dengan wajah pucat.
“Duduk, Nak!” titah Thyon.
Adras duduk menghadap kedua orang tua. Tangannya gemetaran. Adras sama sekali tak mampu melihat mata mereka. Suasana di ruangan terasa dingin tak seperti biasanya, meskipun cahaya mentari masuk dengan bebas melalui jendela.
“Apa hubungan kamu dengan Nona Kariswana?” tanya Thyon.
Adras diam saja. Dia tak berani menjawab. “Adras? Selama ini Papa selalu percaya sama kamu. Papa titipkan nama keluarga kita sama kamu. Jadi Papa mohon, tolong kamu mengerti Papa.”
“Apa salahnya kalau aku sayang sama dia. Papa juga pernah muda. Pasti Papa pernah pacaran, ‘kan?” timpal Adrasha.
Thyon sedikit menggeser posisi duduknya. “Dia pewaris Callir Entertaiment. Dia putri pimpinan Papa di perusahaan. Kamu tahu karena peristiwa tadi apa yang terjadi? Papa diminta cuti sampai waktu yang tak ditentukan. Papanya mendadak bersikap sangat dingin pada Papa. Padahal selama dua puluh tahun lamanya Papa menjadi sekretaris beliau, Tuan Chaldan pimpinan yang paling ramah. Dari situ saja kamu tentu mengerti bagaimana reaksi beliau melihat putrinya dengan kamu?” jelas Thyon.
Meski kesal, Thyon masih berusaha menahan emosi. Selama ini dia didik putranya bukan dengan kekerasan, tetapi ketegasan. “Nak, Papa tahu kamu masih muda. Kamu ingin pacaran seperti teman-teman kamu. Hanya saja wanita yang kamu pilih kali ini tidak tepat.”
Setelah obrolan itu, Adras mengalami kebimbangan. Pria itu sampai tak konsentrasi terhadap tugas kuliah yang diberikan dosen. Tiba waktu pagi, tak seperti biasanya Thyon masih memakai kaos dan celana pendek. Pria itu tak pergi ke kantor, tetapi duduk di halaman belakang sambil membaca koran.
Adras menunduk. Papanya hampir kehilangan pekerjaan karena dirinya. Adras menatap sepatu yang ia kenakan. Selama ini dia hidup berkecukupan dari hasil kerja keras Thyon. “Kenapa aku sangat tidak tahu diri?” batin Adras.
Pria itu pergi ke kampus. Dengan lemas, Adras memarkirkan motor dan berjalan menuju kelas. Hari ini dia seperti tak memiliki lagi energi.
“Adras!” panggil seseorang.
Adras berbalik dan melihat Harpa berlari ke arahnya. “Kamu kenapa? Kenapa lemes gitu? Kamu sakit?” tanya Harpa khawatir.
Adras menatap dengan lemah. Matanya berkaca-kaca. Wanita ini sangat dia sayangi hingga tak kuasa Adras mengucap sesuatu yang menyakiti hati. Namun, Adras ingat dengan Papanya. “Harpa, kita putus saja,” ucap Adras.
“Hah? Ngomong apa tadi?” Harpa mendekatkan telinganya ke arah Adras.
Tangan Adras mendorong pelan tubuh Harpa agar sedikit menjauh. “Kita putus saja. Aku enggak bisa lanjutkan hubungan kita. Mulai sekarang, jangan hubungin aku lagi.” Setelah mengatakan itu, Adras berjalan pergi.
Harpa tertegun. Dia sempat mematung beberapa saat. Tak lama gadis itu melangkah dan menarik lengan Adras. “Papaku nyuruh kamu ninggalin aku?” terka Harpa.
Adras menepis tangan Harpa begitu saja. “Aku muak sama kamu. Jangan ganggu aku lagi!” tegas Adras lalu pergi begitu saja. Harpa masih berusaha mengejar dan memegang lengan Adras lagi. Namun, kembali Adras tepis tangan Harpa.