Chapter 4. Mendapat Kepastian

1014 Kata
"Har!" panggil Narvi lewat telepon. Harpa baru bangun tidur saat itu. Dia kaget dengan ponsel yang bergetar. Ternyata Narvi menelepon. Dengan tubuh yang nyawanya belum terkumpul semua, Harpa mencoba membuka mata. "Kamu cek media sosialnya Adras," saran Narvi. "Ada apa emang?" tanya Harpa bingung. "Buruan!" paksa Narvi. Harpa mengaktifkan tombol speaker. Kemudian dibuka salah satu aplikasi berlogo burung. Harpa lakukan pencarian akun milik Adrasha. "Terus aku ngapain?" tanya Harpa bingung. "Bukannya kalian punya banyak foto sama-sama di sana?" Narvi membuat Harpa sadar akan apa yang salah saat itu. Harpa menggeser layar semakin ke bawah. Tak ada satupun foto mereka. Kemudian, Harpa buka aplikasi media foto. Di sana pun foto mereka berdua telah Adrasha hapus. Hanya tersisa foto Adrasha dengan teman dan keluarga. Tangan Harpa mengepal. "Aku beneran diputusin," keluh Harpa. Matanya terasa perih hingga sampai ke hati. Tangannya gemetaran. Tak lama air mata menetes dari sana. Harpa mengusap d**a. "Salah aku apa? Kenapa mendadak dia kayak gini sama aku? Bahkan dia terus hindarin aku, Nar. Aku sudah coba minta maaf sama dia." "Yang sabar," ucap Narvi bingung bagaimana dia harus menghibur sahabatnya itu. Harpa membuka kontak Adrasha di aplikasi obrolan. Dia mencoba mengirim pesan meminta penjelasan dari pria itu. Dia tak ingin digantung terlalu lama. Adras, kenapa kamu hapus semua foto kita? Aku bikin salah sama kamu? Aku minta maaf, Dras. Aku janji enggak akan ulangi lagi. Namun, pesan itu jangankan terkirim. Malah ceklis satu. "Nomor Adras enggak aktif, Nar," ungkap Harpa lirih. Narvi mencoba mengirim ping ke nomor Adras. "Loh, aktif kok." Tak lama Adrash membalas pesan Narvi. Ada apa, Nar? Jelas Narvi bingung. "Ini dia balas pesan aku." Harpa semakin terisak. "Dia blokir aku pasti," keluhnya. Narvi menggigit bibir bagian bawah. Dia semakin serba salah dalam keadaan ini. "Aku coba chat dia, ya?" Dras, foto kamu sama Harpa kok enggak ada di medso kamu? Narvi menunggu jawaban Adras sambil mendengarkan tangisan Harpa di seberang sana. Dia ikut merasakan sakitnya. Sedang Adras masih terlihat mengetik pesan. Aku sama dia sudah putus. Ngapain masih majang foto bareng? Jawaban itu membuat Narvi kaget. "Dia bilang kalian sudah putus. Kayaknya hari itu dia memang serius ngomong putus. Bukan sebatas lagi emosi saja," jelas Narvi. "Telepon dia, Nar. Biar aku ngomong dari sini," pinta Harpa. Narvi langsung menelepon Adras dengan ponsel satunya lagi walau wanita itu tak yakin Adras akan mengangkat. Untung saja Adras mau. "Kenapa, Narvi?" tanya Adras di telepon. "Adras!" panggil Harpa. Adras kaget mendengar suara perempuan itu. "Aku sudah bilang jangan ganggu aku lagi, 'kan?" pinta Adras. "Iya, tapi kenapa? Karena Papaku? Jawab! Kasih penjelasan. Jangan tiba-tiba bilang putus terus menghindar. Kamu tahu gimana perasaan aku?" tanya Harpa sambil meneteskan air mata. Adras menarik napas. "Kalau memang karena papa kamu kenapa? Aku cuman enggak mau direndahkan karena perempuan yang aku pacari lebih kaya dari aku. Satu lagi, aku enggak suka sama sikap manja kamu. Harusnya kamu sadar itu. Aku capek. Kalau kamu mau nyari laki-laki yang maklumin sikap kamu, cari saja orang lain," tegas Adras. "Kamu tega sama aku, Dras!" bentak Harpa. "Terserah. Tolong banget jangan ganggu aku lagi. Kalau bisa kita enggak perlu ada hubungan apa-apa." Adras langsung mematikan teleponnya. Narvi menarik napas. Dia merasa kasihan dengan keadaan Harpa saat ini. "Sabar, ya?" pinta Narvi. "Aku benci dia!" teriak Harpa. Dia matikan telepon. Diambil bantal kemudian Harpa lempar hingga menghantam televisi. Terdengar benda itu jatuh dan pecah. Napas Harpa terlihat berat. Dia turun dari tempat tidur dan lari ke luar kamar. Lorong demi lorong dia lewati hingga sampai di kantor Papanya. Dibuka pintu kantor itu dengan paksa setelah mendengar suara Chaldan tengah bicara dengan Prapto. "Harpa, kenapa kamu?" tanya Chaldan melihat putrinya datang dengan rambut berantakan dan mata merah basah. "Papa puas?" tanya Harpa sambil membentak. "Tunggu, ada apa ini?" tanya Chaldan bingung. "Ada apa? Jelas Papa pasti bikin Adras mutusin aku, 'kan? Kenapa? Karena Adras anak sekretaris? Papa malu aku pacaran sama dia? Papa tahu apa? Adras lebih tahu banyak hal soal aku daripada Papa. Papa cuman bisa ngurusin perusahaan terus! Papa enggak punya waktu buat aku! Adras yang selalu dukung aku, bikin aku senang dan sekarang aku kehilangan dia karena Papa! Apa enggak bisa sekali saja Papa biarin aku senang?" Setelah berkata begitu, Harpa keluar dari ruangan itu. Chaldan berdiri sambil menarik napas. Dia terdiam lama sebelum mengusap wajahnya. Sedang Harpa kembali ke kamar dan melempar semua benda yang dia lihat. Harpa buka laci. Di sana banyak benda kenangan bersama Adras. Dia kumpulkan ke tengah ruangan kamar beserta hadiah dari Adras lainnya. "Kamu pikir cuman kamu saja? Aku juga bisa!" pekik Harpa. Harpa panggil pelayannya. Dia minta semua barang itu dibawa ke halaman belakang. "Bawakan bensin dan korek!" pinta Harpa. Tak ingin melihat nonanya marah, mereka menuruti permintaan Harpa. Tak lama Harpa dapatkan apa yang dia inginkan. Benda itu disiram dengan bensin kemudian dia bakar. Mengepul asap pembakaran saking banyaknya benda yang ingin Harpa lenyapkan. Gadis itu duduk di depan benda-benda itu. Seketika dia mengingat kenangan dengan orang yang memberinya. "Kenapa aku harus jadi perempuan? Kayaknya Papa kesal karena itu. Dia maunya anak laki-laki. Karena aku enggak sesuai ekspektasi, makanya kerjaan dia ngomel terus sama aku," keluh Harpa saat itu. Adras mengusap rambutnya. "Terus kenapa?" "Ya, aku merasa enggak berharga untuk Papaku." "Yang penting aku merasa kamu berharga buat aku. Kalau kita menikah kelak, aku yang akan ambil tanggung jawab atas kamu, 'kan?" Jawaban Adras saat itu membuat Harpa banyak berharap padanya. Sekarang jawaban itu hanya harapan palsu yang Harpa ingin lupakan karena begitu menyakiti. Bersamaan dengan api yang terus semakin besar membakar. Kebencian Harpa ikut bergejolak. "Aku enggak akan pernah lagi percaya sama kamu! Aku enggak mau kenal kamu lagi! Kamu jahat! Kamu sama Papa enggak ada bedanya! Aku benci sama kamu!" Harpa memeluk lututnya. Sementara Thyon melihat dari balkon di lantai dua. Jelas Harpa duduk sambil sesegukan. Chalda bingung bagaimana harus bersikap. Dia tahu sudah sangat bersikap salah. Hanya saja dia pikir efeknya tidak akan sebesar itu. Masih terdengar tangisan Harpa. Tubuhnya gemetaran. Tak lama setelah semua barang peninggalan Adras lenyap, hujan turun. Harpa masih duduk di sana. Ada pelayan yang mengajak masuk dan memberikan payung. "Pergi!" usir Harpa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN