Chapter 7. Kenyataannya

1058 Kata
"Pinjem HP!" pinta Harpa pada salah satu pelayannya. Jelas pelayan itu bingung sendiri. Tangan Harpa mengulur dan bergerak-gerak jemarinya. "Mana?" "Untuk apa, Nona? Mohon maaf, apa saya melakukan kesalahan. Seingat saya, selama bekerja saya tidak pernah sambil bermain ponsel," jelas pelayannya yang ketakutan. Sedang Harpa pun ikut bingung karena pelayannya merasa kebingungan. "Kamu ngomong apa, sih? Aku mau minjem buat stalking. Nanti aku ganti pulsanya, deh." Pelayan itu merogoh saku. Dia berikan ponsel pada Harpa walau dengan tangan gemetaran. "Gimana bukanya? Ini dikunci," keluh Harpa. Lekas pelayan itu membukakan kunci ponsel. Harpa begitu semangat mengambil ponsel. Dia mencari aplikasi media sosial. Dicari akun milik Adrasha di sana. Walau dia tahu harapannya itu konyol, gadis itu ingin memastikan kalau Adrasha dan Okna tidak benar-benar bersama. Namun, postingan paling akhir tidak menunjukkan hal itu. Terdiam Harpa untuk beberapa detik. Ditarik napasnya dalam. Hampir semua postingan terbaru Adrasha bersama dengan Okna. Bahkan pria itu mengetik kata-kata indah untuk Okna. Harpa berikan ponsel itu pada pelayan. "Makasih banyak, Bi. Nanti kirimkan nomormu ke aku, ya? Aku isi kuota," ucap Harpa dengan nada lemas. Pelayan mengangguk. Harpa mungkin lupa kalau dia tidak mengeluarkan tampilan akun milik Adrasha. Jelas pelayan langsung menghadap Chaldan dan memberitahukan segalanya. "Dia sejauh ini?" tanya Chaldan. "Benar, Pak. Belakangan ini saya melihat Nona Harpa begitu pucat dan juga selalu terlihat sedih. Biasanya saya dengar dia berteriak sambil mendengarkan musik. Belakang kamarnya sepi. Saat saya masuk, Nona duduk di balkon sambil diam melihat ke luar," ungkap pelayan itu. Chaldan menyandarkan punggung. "Kamu boleh pergi. Lain kali tolong ceritakan perkembangan Harpa lagi." "Baik, Tuan Besar." Begitu pelayan keluar, Chaldan mengambil pulpen. Dia memainkan benda itu dengan cara memutar di atas meja. "Siapa pun orang, pasti akan memanfaatkan Harpa untuk kepentingannya. Aku tidak ingin putriku jadi korban. Mungkin nanti semua akan membaik, 'kan?" "Saya bukan orang yang pandai menasihati, Pak. Hanya saja suatu hari nanti tentu Anda harus menemukan orang tulus yang bisa menerima putri Anda. Karena tidak selamanya Anda akan hidup bersamanya. Mungkin akan lebih baik Anda mengenal orang dulu sebelum memberikan stigma padanya. Dan saya yakin Anda kenal baik Tuna Thyon," jelas Prapto. Chaldan mengangguk. Sementara Harpa masih duduk di depan televisi yang mati. "Apa aku harus jalan ke luar, ya?" batinnya. Gadis itu turun dari Sofa. Dipakai jaket dan sepatu pun membawa dompet serta kunci mobil. Begitu keluar dari kamar Melia, kepala pelayan Harpa langsung menegur. "Nona hendak pergi ke mana?" "Aku mau jalan-jalan dan makan di luar, Bu. Tahu sendiri aku gabut," keluh Harpa. Gadis itu berlari dan menuruni tangga. Dia panggil pelayan pria untuk menyiapkan mobil di depan teras. Lumayan lama Harpa menunggu. "Maaf, Nona. Saya harus panaskan dulu mesinnya," ungkap salah satu pelayan. "Tak apa, makasih banyak." Harpa masuk ke dalam mobil. Kendaraan itu meninggalkan tempat. Dia tahu hendak ke mana dirinya pergi. Sebuah lapangan besar tempat pria bermain futsal. Harpa parkir mobil di sana. Dia melirik ke arah parkiran motor mencari motor Adrasha. "Aku pastikan kamu hanya mengelabui aku saja. Aku yakin kamu enggak beneran pacaran sama gadis genit itu!" tegas Harpa. Namun, tiada motor Adrasha di sana. Harpa melenguh. "Kayaknya dia hari ini enggak ke sini, deh," keluhnya. Saat berbalik, Harpa kaget melihat Adrasha turun dari mobil. Setahu Harpa itu mobil milik Thyon, papanya Adrasha. Lekas Harpa lari dan sembunyi di antara barisan motor di parkiran yang berhadapan langsung dengan parkiran mobil. Mata Harpa mengintip. Hampir seluruh tubuhnya tersembunyi oleh motor besar di depan. Hanya dari mata hingga ujung kepala yang terlihat. Okna keluar dari sisi lain mobil. Adrasha mengulurkan tangan. Keduanya saling lempar senyuman. Okna balas uluran tangan itu dan mereka saling menuntun masuk ke dalam lapangan. Harpa memegang erat pada motor di depannya. Terasa sakit hingga menjalar ke kepala dan tulang. "Mereka beneran," batin Harpa. Berapa kali dia berusaha menepis nyatanya memang seperti itu. Harpa berdiri. Jalannya lunglai dan melemah. Dia hanya berpegangan takut jatuh tersungkur karena tak mampu menerima kenyataan. "Aku sendirian," tambahnya. Harpa tahu tidak bisa memaksa Adrasha kembali. Pria itu mungkin sudah tak peduli. Harpa lebih memilih kembali ke mobil dan membawa benda itu pergi ke suatu tempat yang sudah lama dia tidak datangi. Turun di tempat itu, Harpa memegang erat tali tasnya. Dia kumpulkan keberanian dan masuk ke dalam. Satu demi satu makam Harpa lewati. Gadis itu gemetaran. Hingga tiba di sebuah makam dengan naungan dan taman bunga di sisinya. Harpa naik ke atas teras naungan. Di tengah teras ada makam yang tertata rapi dengan rumput sintetis dan buket bunga di atasnya. Nisan terbuat dari marmer mahal. Adelina Amanda tertulis pada nisan itu. "Ma!" panggil Harpa. Ada alasan gadis itu tidak ingin ke sana. Dia ingin menepis kenyataan kalau ibu yang dia sayangi telah tiada. Setiap kali orang bertanya, Harpa hanya kan menjawab kalau ibunya berada di luar negeri untuk berobat. Dia tidak datang ke upacara kematian Adelina. Ini pertama kalinya Harpa datang. Itu pun dia tahu letak makam ini dari petunjuk jalan. Ini memang makam keluarga Papanya. Tak banyak yang dimakamkan di sini. Karena tempat paling tinggi hanya akan menjadi pemakaman keluarga CEO langsung. "Ma, Harpa kangen. Semua orang ninggalin Harpa. Papa sibuk dengan kerjaannya. Dan Adrasha juga. Orang lain yang sering jahatin Harpa rebut dia. Kenapa harus Okna, Ma? Kenapa enggak perempuan lain saja?" Harpa terduduk. Dia baringkan kepala di atas makam ibunya. Meski tak ada jawaban, Harpa tetap terisak di sana. Dipeluk nisan ibunya sambil terus mengungkapkan perasaan. Hingga sesegukan Harpa akibat terlalu lama menangis. Tanpa sadar hari sudah semakin malam. Ponsel Harpa berdering. Dia bangun dan membuka tas. Telepon dari Papanya. "Ada apa?" tanya Harpa galak. Hanya saja dari suara lirih terdengar jelas Harpa baru menangis. "Kamu di mana, Nak?" tanya Chaldan. "Bertemu ibuku! Memang kenapa? Karena hanya dia yang peduli aku. Papa tidak!" ucap Harpa dengan keras. Chaldan jelas tertegun mendengar itu. "Ini sudah malam, lekas pulang," saran Chaldan meski dia tahu Harpa pasti tidak akan mengindahkan. "Kenapa semua orang yang menyayangiku pergi, Pa?" tanya Harpa lirih. Suaranya melemah. "Karena terus disayangi hanya membuat kamu jadi lemah. Hidup memang begitu. Kamu harus kuat menerima kenyataan kalau orang di sekitar akan mengkhianati dan meninggalkanmu. Rekan bisnis, teman, keluarga. Semakin dewasa akan semakin sering kamu kehilangan." Harpa kembali meneteskan air mata. "Pa, aku boleh ikut fansigning Diamond? Sekali ini saja. Kasihani aku. Aku sedang sedih. Aku baru diputuskan dan pria itu pacaran dengan orang lain. Boleh ya, Pa?" pinta Harpa keluar dari tema. "Kamu ini!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN