"Harpa mana?" tanya Narvi pada teman satu kelasnya yang tengah duduk di luar kelas bimbingan. Tak satu pun dari mereka yang tahu. Hari itu tepat beberapa bulan setelah Harpa dan Adrasha putus.
"Dia janji hari ini bakalan masuk. Sudah berapa kali dia bolos bimbingan skripsi. Anak itu kenapa, sih? Apa dia enggak mau lulus kuliah?" ucap Narvi kesal.
"Kemarin skripsinya enggak diACC oleh dospem baru. Dia disuruh ganti judul," ungkap salah satu teman yang dibimbing dosen yang sama dengan Harpa.
"Iyakah? Memang apa yang salah sama skripsinya? Kenapa sampai harus ulang dari awal lagi?" Narvi kini merasa kasihan dengan Harpa.
"Katanya kurang efektif. Dia bikin skripsi tentang investasi berupa foto card idol begitu," jawab teman lainnya.
Narvi menepuk jidat. "Itu anak memang sudah banyak dipenuhi nama Dios sampai skripsi saja bawa-bawa idol. Mana bisa nyambung dengan jalan pikiran dosen? Apalagi kalau dia jabarinnya terlalu berlebihan. Harpa itu kan pejuang halu," batin Narvi.
Dia mengambil ponsel dan mencoba menelepon Harpa lagi. Syukur, kali ini diangkat oleh pemeran utama. "Harpa! Kamu di mana, sih? Kamu masih waras enggak? Kenapa enggak datang bimbingan? Kamu bisa enggak lulus kalau kayak gini!" omel Narvi.
Harpa baru turun dari angkot sambil membawa satu bundel skripsinya. "Justru aku lagi usaha agar skripsiku disetujui," jawab Harpa.
"Disetujui gimana?
"Skripsi ini sudah disetujui dospem pertama. Dia bilang ideku brilian. Dospem sekarang tidak satu tujuan denganku," jawab Harpa.
"Bukannya dospem sebelumnya mundur karena sibuk, ya? Mana mungkin dia mau nanganin kamu?"
"Makanya aku mau usaha. Lebih baik aku usaha meluluhkan dospem yang sejalan denganku!" tegas Harpa lalu mematikan telepon.
Jelas Narvi langsung memaki sahabatnya itu. Sementara Harpa berjalan masuk ke dalam sebuah perkomplekan yang bagunannya kebanyakan masih berbentuk bangunan peninggalan masa Belanda. Harpa melihat kembali alamat untuk memastikan tidak masuk ke dalam tempat yang salah.
Tiba di depan gerbang, dia tekan bel rumah itu. Tak lama seorang wanita keluar dan menghampiri Harpa yang berdiri di pagar. "Pagi, Bu. Aku Harpa, mahasiswinya Pak Qonit. Aku di sini mau bertemu Bapak untuk bimbingan skripsi," jelas Harpa.
"Maaf, Neng. Bapak sama Ibunya sedang di luar kota. Paling lusa pulangnya," jawab perempuan itu.
"Oh. Bisa nitip ini enggak, Bu. Tolong bilangin sama Pak Qonit." Harpa langsung membuka tas selempangnya. Dia sobek kertas dan menulis pesan berisi penjelasannya. "Kasihin ini saja, Bu."
"Baik, Neng. Nanti saya bilang ke Bapak, ya?"
"Makasih banyak, Bu. Tolong, ya. Soalnya ini berhubungan dengan masa depan saya. Makasih banyak," ucap Harpa lalu undur diri setelah menitipkan dokumennya yang telah dijilid dengan map plastik.
Harpa lekas pulang. Dia sebenarnya kabur dari kampus setelah diantar sopir. Harpa memang kalau sudah nekat tidak bisa dilarang.
Gadis itu kini berjalan keluar dari perkomplekan. Harpa sempat tertegun pada bunga soka di salah satu pagar rumah. Kelihatannya rumah itu kosong. Waktu kecil ibunya pernah mengajari cara meminum air gula dari putik bunga itu. Iseng Harpa mengambil salah satu mahkota, dan menyedot bagian bawah kelopaknya. Manis.
Tersenyum Harpa saat itu, dia merasa ingat kembali dengan memori dengan ibunya dulu. Asyik merasakan gula alami dari bunga soka, Harpa mendengar suara daun yang terinjak. Iseng gadis itu menengok ke arah suara. Dia lihat seorang pria memakai topi, kaca mata dan masker hitam tengah sembunyi.
"Maling!" teriak Harpa. Jelas lelaki itu kaget. Dia bangkit, melewati pagar dengan melompat dan menutup mulut Harpa. Jelas Harpa langsung sulit mengeluarkan suara.
"Jangan berisik. Aku lagi dikejar wartawan. Kalau ketahuan agensiku, ini akan jadi urusan panjang," pinta pria itu. Dia berdiri di belakang Harpa dan menahan tubuh Harpa.
"Suara ini, kayaknya aku kenal," batin Harpa. Suara yang sangat khas hingga bisa masuk ke dalam alam mimpinya. "Dieyos?" tanya Harpa berusaha mengeluarkan suara.
"Jangan berisik!" Dios menarik Harpa masuk ke dalam rumah kosong itu. Dia tutup pintu dan melepaskan Harpa. Kini mereka berhadapan. Berdebar jantung Harpa hingga gadis itu terpaku tak mampu bicara. Dios kini ada di depannya. Mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
"Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau diam dan biarkan aku sembunyi," pinta Dios.
Harpa melirik ke luar jendela. Dia kaget karena ada beberapa wartawan yang lewat di jalan depan rumah itu. "Aku fansmu. Aku pasti akan lindungi kamu. Kayaknya itu fans kelas berat. Mereka pasti mau ikuti kamu. Kalau mereka wartawan, pasti bawa tanda pengenal," jelas Harpa.
"Itu yang aku maksud," jawab Dio.
Harpa mengeluarkan topi dari tasnya. Topi itu tertulis nama Adrash di bagian depan dan belakang. Tadinya Harpa tak ingin memakai topi pemberian mantan itu. Hanya saja tadi dia buru-buru. Maklum, Harpa tak punya riwayat bangun pagi.
Topi itu Harpa kenakan. "Aku akan bawa kamu pergi dari sini. Pegang tanganku!" ajak Harpa.
"Untuk?" tanya Dios bingung.
Harpa minta Dios lepas jaketnya. Jaket itu kemudian di buang ke lantai. "Ganti masker pakai ini!" pinta Harpa.
Dios menurut saja. Harpa pun meminta mereka bertukar topi dan kaca mata. "Dengar! Kita harus acting layaknya pacaran. Biar mereka kira kita orang biasa yang lagi kencan. Mengerti?" pinta Harpa.
Dios mengangguk saja. Mereka keluar dari rumah itu sambil berpegangan tangan. Sempat mereka lewat kawanan wanita yang membawa kamera. Sesuai dengan tebakan Harpa, mereka tak sadar kalau Dios lewat di samping mereka.
Dios terus mengikuti wanita itu. Mereka berjalan hingga ke jalan raya. Dios menarik napas lega. Harpa membuka topi dan kaca mata. "Kamu pakai saja itu. Aku akan pesankan taksi buat kamu," ucap Harpa. Dios tersenyum meski bibirnya tertutup masker.
"Makasih banyak atas bantuan kamu," ucap Dios.
"Sama-sama. Lagian aku tahu mereka itu suka ikutin kamu ke mana-mana. Padahal idol butuh privasi. Aku hanya sebatas suka karya kamu. Masalah kehidupan, itu lain lagi."
Lampu merah menyala. Sebuah motor berhenti di samping mereka. Pengendara motor melirik ke samping. Dia Adrasha yang kaget melihat Harpa di sana masih berpegangan tangan dengan seorang pria.
"Kamu terbaik," ucap Dios sambil mengusap rambut Harpa.
Bukan hanya Adrash, wanita yang di bonceng ikut menyaksikan hal itu. Okna, perempuan yang merebut perhatian Adrasha dari Harpa. "Ayo pulang!" ajak Harpa. Saat menghadap ke arah jalan, dia kaget matanya dan Adrash saling berhadapan. Mereka tertegun.
Dios menarik tangan Harpa. "Mumpung lampu merah, kita menyeberang sekarang!" ajak Dios.
Mata Harpa dan Adrasha masih saling tatap beberapa saat hingga keduanya sadar dan saling berpaling. Harpa menunduk sedih. "Dia salah paham tidak, ya?" pikir gadis itu. Tak lama Harpa menepuk kepala. "Ah, apa masalahnya denganku? Biarin saja!"