Seiring waktu, semua mulai terbiasa dengan kehidupan baru. Tanpa terasa dua setengah tahun berlalu dan Harpa kini telah melewati wisuda strata duanya. Dia berdiri menghadap venue di tengah lapangan kampus. Wisuda di kampus ini memang diadakan secara formal, tapi outdoor agar terasa rasa kekeluargaan. Dia memeluk ijazah di tangan.
Semua orang datang bersama orang tuanya. Hanya Harpa yang tidak. Sebulan lalu, dia mendengar kabar keadaan Papanya. Harpa ingin pulang, hanya saja dia masih harus berjuang dengan tesis. Chaldan bilang, Harpa harus tetap di London dan lekas pulang jika sudah mendapatkan gelar.
Air matanya menetes. "Papa," panggil gadis itu. Dia menatap langit. Tadi pun Harpa ingin melakukan panggilan video dengan Chaldan, hanya pria itu tertidur setelah minum obat. Harpa pun tidak bisa bertanya tentang keadaan Chaldan pada dokter pribadi pria itu. Alasannya karena Chaldan tak ingin Harpa kepikiran.
Pulang wisuda, Harpa berjalan dengan malas menuju parkiran. Isla mengejarnya dari belakang. "Harpa!" panggil gadis itu. Harpa berbalik dan tersenyum. "Kamu masih sedih karena Papa kamu?" tanya Isla.
Harpa menganggukkan kepala. "Kamu beruntung orang tua kamu datang," timpal Harpa.
"Anakku!" panggil orang tua Isla mendekati. Harpa kira mereka memanggil Isla, ternyata ibunya Isla memberikan buket bunga pada Harpa. "Selamat wisuda, ya? Semoga kamu semakin sukses dan menjadi orang yang hebat," puji wanita itu.
Harpa terdiam. Ibunya Isla memeluk gadis itu. "Aku dengar sejak kecil kamu sudah tak punya ibu. Ayahmu juga sedang sakit-sakitan. Bukan artinya kamu tak punya orang tua. Kami berdua bisa jadi orang tuamu," tegas ibunya Isla lagi.
Harpa mengangguk. Dia peluk buket bunga dari ibu temannya itu. "Makasih banyak, Tante," ucap Harpa.
"Sama-sama. Tersenyumlah."
Harpa pulang ke rumah mengendarai mobil. Dia turun di depan rumah. Harpa sengaja pulang lebih cepat. Dia melakukan laporan kepulangan jauh sebelum acara wisuda dimulai. Gadis itu bahkan sudah siap dengan koper-koper berisi barang pribadi dan juga oleh-oleh. "Aku harus pulang. Aku hubungi Isla saja nanti kalau sudah di Bandung," pikirnya.
Harpa turunkan satu per satu koper ke lantai bawah kemudian dinaikan ke dalam mobil. Itu mobil sewaan yang Harpa pinjam setiap bulan. Dia sudah bilang pada pemilik mobil untuk membawa di parkiran bandara, termasuk uang parkir. Sedang surat-surat sudah Harpa kembalikan sebelumnya. Karena selama ini Harpa sangat telaten mengurus mobil itu, pemilik mobil tak masalah.
Tiba di bandara, Harpa lekas mengurus bagasi. "Aku sudah bayar tambahan. Yang ini biar dikirim lewat kargo saja," jelas Harpa. Padahal dia masih mengenakan pakaian toga. Hanya topinya saja yang dia masukan ke dalam koper. Gadis itu berlari ke petugas imigrasi dan langsung check in.
Hanya dua jam Harpa menunggu. Akhirnya dia dipanggil masuk ke dalam pesawat. Selama di sana, ponselnya dimatikan. Harpa betapa nekatnya sampai tidak menelepon ke rumah dan naik pesawat ekonomi. Selama di pesawat, dia melihat ada orang tua dengan anak perempuan mereka. Dulu Harpa dan orang tuanya sering begitu. Mereka jalan-jalan bersama dan selama di perjalanan pesawat, mereka saling berbagi obrolan.
Pesawat itu akan transit selama beberapa jam di Singapura. Harpa lupa menyalakan ponsel. Betapa tak sabar ingin pulang, dia lebih memilih fokus pada jam tangan dan membuat catatan di buku serta mengambil gambar dengan kamera. Tak lama Harpa mencari makanan karena perutnya berbunyi.
Mustahil tak ada yang merasa aneh melihat gadis itu dengan pakaiannya. Banyak yang mencibir sombong, ada juga yang menertawakan. Harpa biasa saja. Persis saat perutnya terisi, Harpa mendapat panggilan masuk pesawat lagi. Dia naik pesawat kedua menuju Tangerang.
Tiba di Tangerang pun, Harpa terburu-buru naik taksi hingga ke terminal bus. Dia menarik dua koper dengan lancar meski berat. Tenaganya memang kuat. Dalam pikiran, Harpa sengaja ingin memberikan kejutan untuk ayahnya. Karena itu dia sengaja tak meminta bantuan orang rumah.
Akhirnya Harpa tiba di rumah setelah dari terminal Bandung naik taksi online. Di sana, malah dia yang memperoleh kejutan. Banyak orang datang memakai pakaian serba hitam. Karangan bunga berjajar dari depan pintu gerbang hingga ke carport. Harpa tertegun melihat Papanya sudah terbaring di atas peti mati di tengah ruangan. Gadis itu sampai menjatuhkan koper. "Papa!" panggil Harpa. Dia lari menghampiri Papanya dan memegang pipi pria itu yang terasa dingin.
"Papa kenapa? Papa sudah janji sama Harpa mau nunggu Harpa pulang. Papa kenapa diam saja? Ini Harpa!" panggil gadis itu. Air matanya berlinang. Dia tak peduli orang-orang menatapnya. Harpa hanya terus mengguncang tubuh Chaldan.
"Papa! Jangan pergi! Terus Harpa sama siapa? Harpa gak punya siapa-siapa!" Tangan Harpa berusaha menarik tubuh Chaldan agar bangun dari peti. Salah satu pelayan Harpa menarik tubuh gadis itu. "Gak! Jangan pisahin aku sama Papa!" teriak Harpa.
"Non, Tuan sudah gak ada. Yang sabar, ya?" nasihat pelayan itu. Harpa menggelengkan kepala. Dia jatuh terduduk di lantai sambil menepuk peti mati Chaldan. "Aku ingin Papa lihat ijazahku. Lihat, aku pakai baju ini supaya kita bisa foto sama-sama. Kenapa malah gini?" Harpa meratap.
Satu per satu kolega datang untuk melayat. Harpa masih duduk di lantai sambil memeluk lutut. Dia merasa ada dalam mimpi buruk. Apa tadi pesawatnya celaka hingga dia tak sadarkan diri? Andai jika itu benar, dia harap Papanya masih baik-baik saja.
Thyon berdiri di pintu untuk menyambut satu per satu tamu. Adras juga ada di sana. Matanya menatap Harpa dengan iba. Saat Adras pulang, dia disambut hangat keluarga. Sedang Harpa malah disambut oleh kabar buruk.
Tangan Adras rasanya ingin meraih tubuh gadis itu dan memeluk hangat. Hanya saja Okna berdiri di samping sambil memeluk lengan pria itu. "Beruntung banget dia. Baru lulus sudah bisa menggantikan posisi Papanya. Sedang kita masih harus berjuang nyari kerjaan. Kalau aku jadi dia, aku gak akan nangis kayak gitu," komentar Okna.
"Seorang ayah lebih berharga dari apa pun di dunia. Jangan samakan pemikiran kamu dengan dia," tegas Adras. Dia melepas lengan Okna dan berjalan pergi menghampiri ayahnya. Okna mendelik.
"Buat apa dia balik lagi ke sini, sih? Padahal Adras baru pulang, dia malah ikut pulang!" ucap Okna kesal.
Pagi itu Chaldan dimakamkan. Harpa dipapah oleh pelayannya. Dia duduk di depan makam sambil memeluk foto Chaldan. Tangannya bergetar. Harpa tak hentinya menangis semalaman. Bahkan dia tak sempat berganti pakaian. Dia masih memakai toga dan sepatu pantofel hitam. Chaldan dimakamkan di samping istri tercintanya. "Kalian pergi berdua saja. Kenapa gak ajak aku?" ucap Harpa lirih.