15. Hidup masing-masing

1055 Kata
Langkah kaki Adras memasuki gerbang Harvard. Terdengar orang-orang di sampingnya berbicara dengan bahasa Inggris. Sebagian yang menemukan rekan satu negara berbincang menggunakan bahasa mereka. Hanya Adras yang berjalan sendirian. Dia gendong tas ransel di bahu. Sempat Adras berhenti dan mengambil daun gugur di depan patung pria yang menjadi legenda di sana. Beberapa orang berfoto dan mengusap kaki patung itu. Adras tersenyum. Dia meninggalkan masa lalu dan pergi ke sini untuk kembali dengan perasaan yang tenang hingga ikhlas menerima saat kembali nanti. "Hei, kamu dari mana?" tanya seseorang memakai bahasa Inggris. Dari logatnya, Adras tahu dia berasal dari Inggris. "Aku Adras, dari Indonesia. Aku mahasiswa baru di sini. Sejak tadi aku keliling mencari kelasku," ungkap Adras. "Oh ya? Boleh aku tahu kamu kuliah di jurusan apa?" tawar orang itu. Adras pikir akan mengalami kesulitan karena perbedaan ras dan lainnya. Ternyata tak seperti itu. Ada saja yang peka melihat Adras berkeliling sejak tadi seperti orang bingung. Rupanya Adras salah masuk pintu. Harusnya dia masuk ke pintu utama, bukannya lewat ke Harvard Square sehingga harus memutar. Begitu Adras mengatakan jurusan yang dia ambil, orang itu mengantarnya menuju kelas. Harvard memiliki area taman yang luas dengan pepohonan dan juga halaman rumput. Gedung-gedungnya bergaya America classic dan berwarna merah. "Aku Ivan. Asalku dari London," ungkap pria baik yang mengantar Adras menuju kelas. "Aku sudah menebak dari aksen Inggrismu. Hanya aku tak menyangka ternyata kamu dari kota besar," timpal Adras. "Aku baru mendengar Indonesia. Negara itu asing bagiku," ungkap Ivan. "Kamu tahu Bali?" tanya Adras. Ivan mengangguk. Sudah jadi hal yang lumrah di saat banyak orang luar tahu tentang pulau dewata itu. "Bali itu salah satu pulau di Indonesia," jelas Adras. "Ternyata negaramu terkenal. Maafkan aku," balas Ivan. Mereka akhirnya tiba di depan gedung kampus. Adras masuk ke dalam dan menaiki tangga hingga tiba di kelasnya. "Kamu kuliah di mana?" tanya Adras. "Itu kelasku, by the way," tunjuk Ivan pada ruangan kelas yang berhadapan dengan Adras. "Aku pikir kita akan sering bertemu lagi." Adras dan Ivan saling berjabat tangan. Kuliah akan dimulai pukul delapan pagi. Pria itu kini bingung memilih meja. Hanya saja sejak dulu Adras pasti memilih bangku paling depan. Sayangnya di negara ini bangku terdepan menjadi rebutan. Jadilah Adras hanya mendapat tempat di tengah. Hari pertama dosen langsung memberikan materi. Saat masuk ke kampus ini Adras sudah mencari tahu profesor yang akan mengajarnya. Semua mahasiswa pun sama. Karena itu dosen tak perlu memperkenalkan diri di awal kuliah. Selesai kuliah, Adras keluar dari kelas. Ivan ternyata sudah menunggu di sana. "Makan siang?" tawar Ivan. Adras menganggukkan kepala. Mereka turun ke lantai bawah. "Mau kenalan dengan temanku? Aku tinggal satu asrama dengannya. Hanya dia kuliah di fakultas hukum," tawar Ivan. "Tentu. Di mana kita bisa bertemu?" Rupanya di Amerika pun kemampuan bergaul Adras tetap bisa diperhitungkan. Semakin waktu berlalu, dia semakin punya banyak kenalan dan menjadi salah satu mahasiswa yang terkenal akibat prestasi. Sedang Harpa tentu selalu menjadi yang biasa saja. Hanya di London, profesornya sangat menghargai kemampuan yang Harpa miliki. Meski dia tak pintar menghafal dan hal lainnya, dia sangat pintar mencari peluang dalam sebuah tugas. Dia juga pintar mengatur bagaimana temannya bekerja dalam tim. "Harpa?" panggil Profesor Haley. Harpa berbalik dan menyapa guru besar wanita itu. "Selamat siang, Prof," sapa Harpa. "Aku suka dengan presentasi kelompokmu. Aku harap kalian akan membantuku minggu depan," tawar profesor. "Untuk?" tanya Harpa. "Aku ada sebuah proyek untuk penggalangan dana bagi anak tanpa orang tua dan orang yang tak memiliki rumah. Aku ingin kamu bantu menyusun strategi bagaimana bisa mengajak anak muda untuk bergabung dalam amal," ungkap profesor itu. "Tentu. Aku mau," jawab Harpa dengan semangatnya. "Kapan aku memulainya, Prof?" "Besok bisa kita bertemu di restoran dekat kampus? Kamu hubungin aku saja. Isla, teman kamu ajak juga. Aku ingin mahasiswaku lebih aktif karena itu akan mempengaruhi nilai jauh lebih baik. Selain itu pengalaman dalam berorganisasi sangat kamu perlukan di kemudian hari. Oh iya, aku dengar Papamu seorang CEO, kan?" "Iya begitulah, perusahan biasa. Ada apa memang, Prof?" "Kamu menuruni jiwa kepemimpinan dia. Aku yakin suatu hari kamu akan memiliki perusahaan yang besar di bawah perintahmu. Aku tidak sabar menunggu hari itu," timpal Profesor Haley. Harpa mengaitkan rambut ke belakang telinga. "Menurutku, malah aku sama sekali tak pantas meneruskan perusahaan Papaku. Aku takut menghancurkannya." Profesor Haley menepuk bahu Harpa. "Kamu hanya belum menyadari apa yang dirimu miliki. Good luck!" salam Profesor Haley kemudian pergi meninggalkan Harpa di ujung tangga. Harpa mengedipkan mata. "Benarkah? Apa iya aku begitu?" pikirnya. "Harpa! Ayo kita pulang!" ajak Isla yang baru turun. Wanita itu bingung melihat ekspresi wajah Harpa. "Kamu kenapa?" tanya Isla. "Apa aku ini memang berjiwa pemimpin?" tanya Harpa memastikan diri. Isla mengangguk. "Semua kelompok yang kamu pimpin selalu sukses dalam tugas. Menurutku begitu," jawab Isla. "Tapi aku tidak pintar," keluh Harpa. "Orang pintar dengan cara yang berbeda Harpa. Aku yakin orang yang membuat robot belum tentu mahir menulis buku. Orang yang pintar menyanyi, belum tentu bisa membangun jembatan," jelas Isla. Harpa menganggukkan kepala. "Semangatlah! Kamu luar biasa sekali." Isla menunjukkan jempol ke arah Harpa dan membuat gadis itu tersenyum. Baik Adras dan Harpa sama-sama berkembang dengan kisah mereka sendiri. Dios pun sama. Hari ini dia dan bandnya berangkat menuju Korea untuk melakukan konser. "Apa yang kamu lihat?" tanya Niel berusaha mengintip layar ponsel Dios. Meski Dios menghalangi, tetap saja Niel bisa melihat foto di sana. "Wanita itu cantik. Dia siapa? Pacarmu?" tanya Niel. "Jangan kepo dengan urusanku. Kamu urus saja masalahmu," omel Dios. "Pelit banget kamu. Kalau ketahuan agensi bisa jadi masalah besar." "Aku tahu, makanya kamu diam saja." Mereka tengah berada di bis untuk melanjutkan perjalanan dari bandara Incheon menuju pusat kota Seoul. Bis yang dikenakan merupakan bis dengan fasilitas mewah hingga memiliki tempat duduk yang luas. "Sekarang dia di mana?" tanya Niel. "London. Dia kuliah di sana. Mulai sekarang aku tidak akan bertemu dengannya lagi," jawab Dios dengan nada lemah. "Kamu takut di sana dia punya kekasih lain?" tanya Niel sambil memakan keripik kentang. Cuaca terasa hangat di Seoul hari itu. Dios menyandarkan punggung. Pria itu mengangguk. "Menurutku itu tergantung kamu, sih. Bagaimana kamu dulu meninggalkan dia. Biasanya kalau kamu meninggalkan rasa sakit, dia akan terus setia." "Benarkah?" tanya Dios dengan mata berbinar. "Mana mungkin! Hanya Tuhan yang tahu, Dios. Sisanya kamu hanya bisa berdoa," celetuk Niel sambil tertawa dan pergi. Dios melemparnya dengan bantal. Niel mengambil bantal itu dan balas melempar ke arah Dios.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN