49. Papasan

1539 Kata
Adras mengompres kening Harpa. Beberapa kali Bi Melia mengintip dari balik pintu. Dia menggelengkan kepala. Wanita itu tahu perasaan Harpa pada Adras karena sering diceritakan selama mereka pacaran dulu. Dia orang yang paling terkejut mendengar hubungan Harpa dan Adras yang hancur. Padahal keduanya sudah berpacaran sejak SMA. Adras memang jarang main ke rumah. Hanya Bi Melia sering mengantar Harpa kalau ingin bertemu pria itu di hari Minggu zaman SMA dulu. "Bagaimana caranya buat kamu menjauh dariku? Bagaimana melupakan cintamu? Aku terlanjur ingin kamu menjadi teman hidupku selamanya," batin Adras. Sesekali dia menepuk bahu. Sesak hingga Adras rasanya seperti tak menemukan oksigen dari lingkungan setempat. Awal pertemuannya dengan Harpa adalah saat masa orientasi sekolah. Adras dan Harpa duduk di lapangan. Saat itu mereka mengenakan papan dengan tulisan yang lucu dan juga pipi yang diolesi tepung terigu basah. Harpa yang baru minum soda berwarna merah, melirik ke arah Adras. Saat itu pula mata pria itu tertuju pada Harpa. Adras terkekeh melihat lucunya wajah Harpa. Bukannya menunduk malu, Harpa malah memeletkan lidah dan menunjukkan tinju ke arah Adras. Gadis itu memang tidak pandai bergaul. Hanya saja dia selalu dekat dengan siswa yang terlihat menyendiri di kelas. Belum lagi cara dia bicara yang kadang mengandung komedi. Harpa selalu membuat Adras tersenyum meski hanya mendengar suaranya saja. Hal sederhana yang membuat Adras berani menyatakan cinta sejak semester pertama. Lucunya saat itu Harpa menerima dengan alasan aneh. "Kamu ganteng, sih. Kapan lagi ada orang ganteng pacaran sama aku. Ya sudah, kita pacaran saja." Saat itu orang pasti akan menyangka hubungan mereka tidak akan bertahan lama. Bahkan ada yang menerka mereka putus dalam waktu satu minggu. Sayangnya salah besar. Adras tak tahu latar belakang Harpa, siapa orang tuanya dan seberapa kaya dia. Di mata Adras, Harpa hanya gadis yang menyenangkan. Kadang mereka sering melakukan hal gila bersama, mencuri sukun dan membakarnya di lapangan sepak bola, lari-larian di ladang ubi orang hingga menyiram kepala teman dari lantai dua sekolah dengan air mineral kemudian kabur. Mengingat masa itu, terasa begitu indah bagi Adras. Saat masuk kuliah, Adras mulai tahu siapa ayah dari pacarnya itu. Dia sempat ragu, tapi berusaha bertahan walau harus pacaran diam-diam. Sayangnya, mereka ketahuan. Peristiwa yang membuat hubungan mereka hancur dalam hitungan hari. Harpa terbangun siang itu. Dia membuka mata perlahan. Adras tertidur dengan posisi bersila dan wajahnya terbaring di sisi tempat tidur Harpa. Terasa dingin, Harpa mengusap kening dan menemukan handuk kecil. Tangannya mengulur hendak menyentuh rambut Adras. Namun, suara nada dering ponsel membuat Harpa kaget. Dia lekas pura-pura tertidur kembali. Sedang Adras bangkit dan mengucek mata. Dia ambil ponsel Harpa di atas nakas. Nama Dios muncul di sana. Adras mengguncang lengan Harpa perlahan. "Nona, pacar Anda menelepon," ungkap Adras. Harpa pura-pura masih mengantuk. Dia perlahan kembali mengangkat kelopak mata. "Mana?" Diambil ponsel itu dari tangan Adras dan lekas dia angkat. "Dios, lagi ada Adras di sini. Ada apa?" tanya Harpa. Mendengar nama yang Harpa sebut, Dios langsung mengerti kode. "Tidak, aku hanya ingin menanyakan kabar Anda," timpal Dios. "Aku lagi sakit. Mungkin gak akan masuk kerja. Hanya soal yang semalam, akan tetap aku lakukan." "Baiklah. Aku tunggu. Mau aku jenguk?" tawar Dios. "Gak apa. Besok juga aku akan masuk kerja," tolak Harpa. "Baik. Semoga lekas sembuh." Keduanya mengakhiri panggilan. Harpa tersenyum sambil menatap layar. Dia melirik ke samping dan menemukan Adras yang masih menatapnya. "Apa kamu lihat-lihat?" omel Harpa. "Tidak. Anda baru mengganti nama kontak Dios dengan nama asli?" tanya Adras. Harpa ingat di rumah sakit dia mengelabui Adras. "Iya. Soalnya suka lupa," alasan Harpa. "Kalau Anda merasa sudah lebih baik karena terobati kekasih, bagaimana kalau kita bahas tentang yang satu ini," kalimat Adras terpotong. "Kamu mau ngajak aku berantem? Peka sedikit kenapa? Aku masih sakit kepala, pusing! Kamu sengaja jagain aku cuman supaya bisa lebih cepat diajak kerja saja!" Harpa mengomel. "Anda lapar?" tawar Adras. "Tapi aku gak mau makan bubur." Adras tersenyum kecil. "Makan saja yang ada. Memang apa yang bisa Anda harapkan dari sekretaris yang menjaga Anda hanya untuk memanfaatkan Anda," sindir Adras. "Terus saja kayak gitu! Oke, aku salah. Tapi masa kamu gak bisa pesanin aku steak crispy yang saosnya pakai cabe," pinta Harpa. "Tidak pakai cabe. Steaknya akan aku pesankan," jawab Adras. "Biar, deh! Yang penting aku bisa makan." Harpa duduk bersila sambil memeluk guling. Sedang Adras membuka aplikasi pemesan makanan. "Kamu sejak tadi nungguin aku di sini? Apa gak bosen?" "Mau tidak mau, karena saya harus mengonfirmasi sesuatu pada Anda." Harpa memutar bola matanya. "Kamu memang pekerja tangguh, ya." Adras menekan tombol bayar. "Sayangnya atasan saya tidak," balas Adras membuat Harpa mencubit lengannya. Jelas pria itu langsung berteriak kesakitan. "Berani ngomong lagi?" "Gak. Maaf." Adras membacakan isi sebuah dokumen dan Harpa tinggal mengatakan jawaban untuk Adras ketik. "Lagian kenapa CEO juga harus mengisi survei?" "Karena CEO juga pegawai," jawab Adras singkat. "Terus kapan aku dapat gaji? Soalnya aku sudah gak sabar ingin beli bulu mata palsu yang lentiknya kayak gelombang cinta," tanya Harpa merasa diingatkan. "Ingat dulu pekerjaan, baru gajinya, Nona," komentar Adras dengan pedasnya. "Iya. Aku memang pemalas. Aku gak punya hak nanyain gaji. Hasil pekerjaanku saja masih harus dipertanyakan." Harpa memijiti keningnya. "Aduh, kepalaku sakit akibat stress menerima kenyataan." "Pantas saja belakang wajah Anda terlihat lebih tua dari biasanya. Katanya stress mempercepat penuaan," ledek Adras meski secara tidak langsung. "Aku sangat tidak suka sama kamu!" tunjuk Adras. Di lain tempat, Okna berjalan dengan cemas. Dia menanti pesan dari Gera. Nyatanya, Gera tak memberikan balasan. "Kalau Tuan Gera tidak cepat menolongku, bisa-bisa karyawan baru lain mengambil posisi itu. Bagaimana ini?" Dia menghentakkan kaki ke lantai. "Apa ada sesuatu buruk terjadi, Nona?" tanya salah satu karyawan yang melihat ekspresi risau Okna. "Apa kamu lihat Tuan Gera? Tadi aku mengirim beliau pesan dan belum juga dijawab. Aku juga ke ruangannya, tapi beliau tidak ada," tanya Okna. "Mana saya tahu, Nona. Karyawan biasa seperti saya mana boleh langsung bicara dengan Direktur?" timpal karyawan itu. "Terus ngapain kamu nanya tadi!" omel Okna lalu berjalan menjauh. Dia berpapasan dengan Narvi dan Isla. "Waduh, karyawan jalur orang dalam lewat. Maklumin saja, ya! Yang satu orang miskin. Jelas dapat gaji di sini merasa beruntung," komentar Okna. "Kamu masih belum sadar juga, ya? Kayaknya Harpa emang harusnya lebih kejam lagi sama kamu! Mulut kamu itu kayak orang gak pernah belajar tatakrama!" tunjuk Narvi. "Pantas aku sering lihat kamu masuk toilet. Ternyata otak kamu berasal dari sana," tambah Isla. Dia dan Narvi sama-sama saling bertepuk tangan. "Kalian jangan sombong dulu. Aku punya orang yang bisa membantuku. Yang jelas dia lebih berpengaruh dibandingkan teman kalian itu!" tunjuk Okna. "Siapa? Gera? Dia bahkan gak peduli sama kamu. Apalagi kamu gak ada gunanya selain jadi beban." Narvi berkacak pinggang. "Jangan asal ngomong, ya!" Okna mendorong tubuh Narvi. Untung Isla menahannya. Kini wanita itu maju dan menatap Okna dengan tatapan sinis. "Mau apa kamu?" "Kamu yang maunya apa? Sini biar aku sadarkan. Tahu proposal yang kamu buat kemarin? Isinya cuman bualan. Sayang banget orang tua kamu sekolahkan sampai S2 dan ujungnya bikin proposal saja sudah seperti anak SMP buat makalah." Mata Isla semakin menyipit. "Memang kamu tahu darimana? Kamu baca? Itu sudah melanggar aturan perusahaan!" "Kamu lupa kalau bidang yang kamu kerjakan itu ada di bawah kepemimpinanku?" balas Isla. Okna menatap Narvi dan Isla bergiliran. "Bicara dengan kalian memang gak ada gunanya. Malah menghabiskan waktu saja!" Dia berbalik dan hendak pergi. "Yang tabah, ya! Aku dengar Adras sedang bersama Harpa sekarang. Harpa sakit, jadi Adras temani di kamarnya." Narvi memanasi. Isla sikut lengan sahabatnya itu. "Biar saja, aku suka setiap melihat dia kayak cacing kepanasan," bisik Narvi membuat keduanya terkekeh. Okna berbalik. Dia kembali menghampiri kedua teman Harpa itu. "Jangan mengada-ada kalian!" "Buat apa? Hidup ini sulit banget buat kamu pasti. Kalau Adras baper sama Harpa maklum, sih. Meski orang bilang kamu cantik, itu dulu. Sekarang Harpa jauh berubah." Narvi semakin menjadi. "Dia tahu skincare dan juga perawatan tubuh. Sekarang kamu jauh di bawah standarnya Harpa," ledek Isla. Okna kesal. Saat itu juga tangannya langsung diangkat hendak menampar pipi Isla. Namun, seseorang langsung menahannya. "Apa pantas seorang karyawan bersikap kasar seperti itu?" tegur orang itu. Okna menarik tangannya. Isla melirik ke sisi. Dia melihat Dios ada di sana. "Bicarakan sesuatu dengan cara baik-baik. Tidak perlu memakai kekerasan," saran Dios. "Mereka berdua yang mulai! Bagaimana bisa aku tidak melawan? Aku bahkan kalah jumlah!" Okna membela diri. Dios menatap Isla. "Minta maaf saja meski itu bukan salah Anda. Orang yang minta maaf lebih dulu memiliki derajat lebih tinggi," saran Dios. Isla memalingkan pandangan. "Jangan ikut campur!" tegas Isla kemudian berjalan pergi. Narvi jelas bingung dengan keadaan yang terjadi. Dia berlari mengejar Isla. "Kamu kenapa ngomong kasar begitu sama Dios, sih? Dia idola banyak wanita." "Idolamu, bukan aku. Di mataku dia hanya orang biasa," jawab Isla dengan datarnya. "Aku heran sama kamu. Cowok seganteng itu mana berani aku bentak. Dia terlalu luar biasa. Padahal aku pengen minta tanda tangan dia tadi," seru Narvi. Isla menaik turunkan bola matanya. Dios menatap punggung Isla yang menghilang di kejauhan. Pria itu menghela napas. "Aku sudah protes soal ini pada CEO. Salah satu temannya itu sungguh kelewatan. Makanya aku marah. Tuan Dios lihat sendiri!" adu Okna. Dios tak membalas ucapan Okna. Pria itu berjalan pergi begitu saja. Okna manyun. "Orang-orang di perusahaan ini sangat menyebalkan! Aku harap mereka cepat diganti oleh orang-orang dari pihak Tuan Gera!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN