"Dios! Kamu ke mana lagi?" tegur Regal. Sudah ke sekian kali dia memergoki salah satu member boygrupnya itu pergi tanpa izin meski tidak ada jadwal kerja. Hanya saja setelah skandal Dios dengan Harpa terakhir kali, membuat was-was member lainnya.
"Aku hanya cari angin. Tanyakan pada Miel, aku pergi baru beberapa jam lalu," jawab Dios sambil membuka topi hitamnya. Dia buang masker ke dalam tong sampah.
"Aku harap kamu gak bikin masalah di luar sana. Ingat, kita masih punya kontrak delapan tahun dan selama itu kalau kita sepi job, kita hanya bertahan dengan sedikit gaji dari agensi sementara mereka tidak akan mempromosikan kita," nasihat Regal.
Dios mengangguk. "Aku tahu. Nama kalian juga akan ikut terseret jika aku melakukan kesalahan. Jangan khawatir." Dios melangkah masuk ke dalam asrama. Member lain terlihat duduk di depan televisi sambil menonton acara favorit mereka.
"Kamu bawa apa yang aku pesan?" tanya Miel. Dios mengangguk. Dia berikan sebuah keresek pada temannya itu. Miel lekas membuka bungkusan dan berbinar melihat isinya. Ada sebungkus cimol dan cilor.
"Apa itu?" Neo mengintip ke dalam bungkusan. Begitu mengetahui isinya, dia toyor kening Miel. "Apa kamu waras? Kalau berat badan kita naik lagi, manager akan marah! Buang saja itu!"
"Aku tak makan dari pagi hanya untuk bisa makan ini, tenang saja!"
Selalu terjadi keributan di asrama itu karena isinya ada lima laki-laki. Dios masuk ke dalam kamar dan berbaring menatap ke langit-langit. Dia merasa setelah menjadi idol hidupnya sangat membosankan. Dios menutup mata dan mengingat wajah seorang wanita yang baru dia temui. Tangannya memegang sprei dan menahan rasa kesal. Rindu berkecamuk di hati Dios. "Kadang aku berharap hanya jadi orang biasa agar bisa memilikimu," batinnya. Sesak hati Dios di posisi itu.
Kadang banyak hal yang harus dikorbankan hanya demi mimpi dan termasuk rasa cinta. Meski Dios berharap wanita itu menemukan orang lain, tapi di satu sisi dia tak mau kehilangan. "Tunggu aku delapan tahun lagi, aku mohon," batinnya.
Terdengar suara ketukan di pintu. "Dios, kamu mau makan? Aku tak melihat kamu memasukkan makanan sedikitpun hari ini," tawar Neo.
"Aku tidak lapar," jawab Dios. Neo masuk ke dalam kamar. Dia duduk si samping tempat tidur Dios. "Ada baiknya kamu ceritakan kesulitanmu pada orang lain. Meski orang itu tak bisa menolong, tapi mungkin itu mengurangi beban hatimu," saran Neo.
Dios bangkit. Dia tarik kakinya hingga melipat dan dipeluk lututnya. "Wajarkan di usia kita untuk jatuh cinta?" tanya Dios.
Neo menganggukan kepala. "Hati seseorang tak bisa dibatasi. Kamu bebas suka pada siapa saja, tapi bukan artinya untuk meluapkan, jika kamu sudah memilih menjadi seorang idola. Fans adalah hal utama yang harus kita jaga perasaannya," jelas Neo.
"Aku tahu. Tapi aku ingin tak mengakui perasaanku sendiri karena takut menjadi egois. Jika boleh kembali ke masa lalu, aku ingin bersama dengannya saja. Hanya aku bukan orang yang bisa belajar dengan baik."
Neo menepuk bahu Dios. "Cari uang yang banyak anak muda, setelah kau pensiun dan fans mulai berkurang, barulah perjuangkan cintamu. Karena saat itu tak akan ada yang melarang. Sekarang waktunya kamu fokus dengan masa depan."
Apa yang Neo katakan ada benarnya. Cinta saja tak akan mampu menghidupi sebuah rumah tangga. "Jika kamu punya banyak uang, kamu akan bisa dapatkan apa yang kamu mau." Kalimat ibunya itu selalu Dios ingat hingga saat ini.
Di tempat lain, Adras melihat kemeja putihnya. Dia merapikan dasi dan berjalan masuk ke dalam rumah. "Kamu sudah antar Okna pulang?" tanya Thyon yang sudah tiba di rumah lebih dulu.
"Iya. Aku antarkan sampai ke teras. Papa dan Mamanya juga menunggu di sana," jawab Adras.
"Kenapa kamu lama sekali?" Kembali Thyon mengeluarkan pertanyaan.
Adras menggaruk kening. "Tadi macet di jalan, Pa. Rumah Okna melewati jalanan padat, kan?" jelas Adras.
Thyon mengangguk. Dia berdiri dan berjalan menuju kamar. "Tidurlah, sudah malam. Papa sangat berharap kamu cepat menikah dengan Okna."
Adras menarik napas. "Aku akan fokus kuliah dulu, Pa. Lagipula Okna tak diterima di Harvard. Mungkin kami akan menjalani hubungan jarak jauh. Dengan keadaan begitu sepertinya menikah bukan pilihan yang tepat saat ini?" tanya Adras.
Thyon mengangguk. "Kamu benar. Karena itu aku harap kamu fokus pada kuliahmu tanpa memikirkan hal lainnya. Papa ingin kamu tidak meninggalkan Amerika selama kuliah tanpa izin dariku," tegas Thyon.
"Baik, Pa."
Mereka berpisah di sana. Adras masuk ke kamarnya. Dia duduk di sisi tempat tidur. Matanya memindai seisi ruangan. Adras angkat jemari. Dia terpaku pada cincin yang melingkar di sana. "Aku harus menerimanya. Keadaan ini," ucapnya. Beberapa kali Adras ulangi kalimat itu. Namun, matanya basah dan memerah. Pada akhirnya dia tak bisa membodohi diri sendiri.
Beberapa kali Adras mencoba menepis rasa. Namun, semua begitu terasa berat akibat pertemuan. Adras pikir dengan berpisah jarak akan membuat semuanya lebih mudah. Ternyata tidak, semuanya semakin sulit. Rasa rindu membuat keadaan semakin buruk.
Adras berdiri. Dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai berganti dengan pakaian tidur, Adras mengambil ponsel di atas nakas. Beberapa teman mengirimkan foto digrup.
Adras melihat foto-foto saat acara pertunangannya itu. Fokus matanya teralih pada salah satu foto yang tanpa sengaja mengambil gambar Harpa yang tengah berjalan di belakang orang yang berfoto. Dia terus menatap wajah Harpa.
Tanpa sadar tanganya terangkat dan mengusap layar. Pipi Adras kembali basah. Beberapa kali dia hapus air mata, tetap saja mengalir begitu saja. "Aku rindu kamu," ucap Adras.
Perasaannya terbentur antara cinta dan kepatuhan. Rasa sayang sebagai kekasih tak bisa sejalan dengan rasa hormat sebagai anak. Adras memeluk ponselnya. "Kamu boleh benci aku. Biar saja, supaya kamu lupa. Jangan sakit sendiri. Kamu berhak bahagia," ucap Adras.
Beberapa kali Okna mengirim pesan, Adras hanya mengabaikannya. Gadis itu menaikkan sebelah alis. "Apa Adras sudah tidur, ya? Tadi Papanya bilang, dia belum pulang. Aku khawatir. Aku telepon ke rumahnya saja," ucap Okna. Dia mencari kontak rumah Adras.
Terdengar deringan telepon di lantai bawah. Pembantu Adras yang hendak mematikan lampu berlari ke arah telepon. "Halo?" tanya pembantu itu.
"Maaf, aku bicara dengan siapa, ya?" tanya Okna.
"Saya pembantu Tuan Adiswara, Nona."
"Bi, aku Okna, tunangannya Adras. Kira-kira apa Adras sudah pulang ke rumah?" tanya Okna.
"Tuan muda sudah tiba sejak tadi, Nona," jawab pembantu itu.
"Syukurlah. Om Thyon sempat menanyakan Adras padaku. Syukur kalau dia sudah pulang. Biar aku telepon dia besok pagi. Makasih banyak, Bi."