12. Bandingkan

1063 Kata
"Ini putri Tuan Chaldan yang akan kuliah di London?" tanya ayah Okna ketika Harpa menyapa papanya. Chaldan mengangguk sambil memegang tangan putrinya. "Putri sulungku yang manjanya luar biasa. Sekarang sudah mulai tobat ya, Nak?" tanya Chaldan sambil terkekeh. Harpa menunduk memberikan salam. "Saya Harpa Kariswana, Om. Salam kenal," ucap Harpa. "Cantik sekali. Semoga kuliahnya di London lancar, ya? Beruntung sekali saya bertemu dengan calon pewaris Callir entertainment," timpal ayah Okna. Semua mata tertuju pada Harpa hari itu. "Dia beda banget, ya? Apa dia melakukan operasi? Cantik sekali," puji salah satu tamu yang kebetulan satu kampus dengan Harpa. Yang lainnya mengangguk setuju. "Biasanya dia gak pernah dandan. Sekarang dia benar-benar terlihat dewasa dengan penampilan itu sampai membuat aku pangling. Dia wanita paling cantik hari ini. Aku iri," timpal yang lainnya. Okna menaikkan sebelah sudut bibirnya. Dia sedikit mundur, merasa kecewa akibat Harpa yang menjadi bahan perbincangan dibandingkan dirinya sebagai pemilik acara. Mereka hanya basa-basi memuji Okna, sedang Harpa terus saja dibicarakan. "Aku yakin banyak pria setelah ini yang mendekatinya," tambah yang lain. "Siapa lagi? Semua orang tahu dia dekat dengan Dios. Aku yakin itu bukan karena dia putri CEO, tapi karena Harpa memang cantik. Dios memang hebat bisa menemukan hidden gem." Semakin lama mendengar ucapan mereka Okna semakin kesal dengan Harpa. Matanya melirik ke arah gadis yang kini tengah bicara dengan tamu-tamu penting di acara pertunangannya. Harpa menunduk, dia pamit pada para orang tua yang tengah berbincang dan berjalan berkeliling mencari Narvi. "Harpa, kamu cantik banget," puji salah satu teman kuliah Harpa sambil menyentuh lengan wanita itu. "Terima kasih banyak," jawab Harpa sambil tersenyum. "Aku yakin gaun yang kamu pakai pasti mahal. Ini cocok sekali denganmu. Kalaupun dikenakan orang lain, belum tentu bagus," tambah teman itu. "Menurutku juga Harpa yang membuat gaunnya luar biasa, bukan sebaliknya." Teman lainnya ikut memuji. "Pujian kalian terlalu berlebihan, padahal aku hanya orang biasa," kilah Harpa. Dia melihat Narvi ada di sudut ruangan sedang makan. "Aku pamit dulu, ya?" Harpa melanjutkan perjalan. Okna lekas menyusul wanita itu. Hingga tiba di bagian yang agak sepi, Okna menarik lengan Harpa. "Maksud kamu apa?" tanya Okna. "Yang tadi? Kita gak tahu apa yang akan terjadi dalam dua tahun kemudian, kan?" tanya Harpa sambil tersenyum licik. Okna mendengkus. Matanya mendelik ke sisi kemudian kembali menatap Harpa. "Bukan hanya itu! Kamu sengaja berpenampilan seperti ini karena ingin mengalahkan aku, kan?" tegur Okna. Harpa tersenyum licik. "Kamu kenapa tega nuduh aku kayak gini. Orang kalau ke pesta pasti dandan, kan? Kalau mau ke kampus fokus belajar, bukan nyari perhatian. Salahnya di mana?" Harpa berusaha untuk playing victim. "Aku tahu kamu, ya? Kamu benci banget sama aku. Apalagi soal Adras. Kamu belum bisa move on dari dia, kan? Makanya kamu mau godain dia lagi?" Okna masih terus menekan Harpa. Kini Harpa maju. Dia melirik ke sisi kanan dan kiri. "Kamu gak malu sama orang lain, bikin keributan di hari pertunangan kamu sendiri?" tanya Harpa sambil berbisik. Dia mengusap rambut Okna. "Dengarkan aku baik-baik. Memang aku sengaja. Biar kamu sadar, sampai kapanpun kamu akan selalu ada di belakang aku. Kamu itu bukan apa-apa. Dan soal Adras. Kamu ambil saja. Memang begitu posisi kamu, mengambil apa yang sudah aku buang. Serendah itu," hina Harpa dengan suara pelan. Tangan Okna hendak menamparnya, tapi Harpa tahan. "Orang lain lihat ke sini. Nanti kamu akan jadi bahan olokan mereka." Harpa turunkan tangan Okna kemudian meninggalkan wanita itu untuk bertemu dengan Narvi. Sampai di akhir acara, Harpa meminta Narvi untuk pulang. Di mobil, kedua sahabat itu langsung membahas masalah di pesta. "Kamu memang hebat bisa memprovokasi dia. Aku sampai kaget lihat dia hampiri kamu tadi," komentar Narvi. "Dia menegurku seperti kurang didikan saja," timpal Harpa sambil tersenyum puas. Wanita itu Harpa antar hingga ke rumahnya. Narvi mengucapkan banyak terima kasih pada Harpa karena sudah didandani dan diberikan pakaian baru. Harpa melambaikan tangan tanda perpisahan. Mobilnya kembali berjalan. Hingga tiba di tengah perkomplekan sebelum sampai ke rumah, Harpa meminta untuk turun. "Tapi, Nona. Tuan akan marah pada saya kalau Nona ketahuan pergi dari rumah tanpa izin," ucap sopir takut. "Aku hanya ingin main di danau. Nanti pastikan saja aku di sana. Lagian viewnya cantik banget malam ini. Aku mau ambil foto, ya?" paksa Harpa hingga sopirnya terpaksa mengiyakan. Harpa membuka pintu mobil dan turun. "Pak, pulang saja. Kalau sudah, aku akan minta jemput lagi." Gadis itu menutup pintu kemudian lari ke arah danau yang dikelilingi rerumputan pendek nan hijau. Harpa terus melangkah, dia mengambil beberapa batu sepanjang jalan. Hingga berada di pinggir danau, Harpa lempar batu itu satu per satu ke tengah danau hingga menimbulkan riak. "Kalian semua menyebalkan! Aku benci kalian!" teriak Harpa. Di sana memang sepi dan jelas tidak akan ada yang mendengar suara Harpa. Gadis itu duduk di samping danau dan memeluk lutut. Dia menarik napas hingga seketika air matanya menetes. Tangannya gemetaran karena menahan amarah dan rasa rindu terlalu lama. Di tengah keheningan malam dan suara serangga, sesenggukan Harpa membuat lirih suasana di tempat itu. Dia menepuk tubuhnya beberapa kali seakan ingin menghempaskan rasa sakit. Hanya luka itu terus berada di dalam sana tertanam. "Sampai kapan aku berhenti jadi bodoh? Dia sudah tak punya perasaan padaku. Kenapa aku gak lupain dia saja? Kenapa aku lemah sekali?" ucap Harpa dengan suara bergetar. Dia mengangkat wajah, menghapus air mata. Ketika melihat ke sisi, Harpa menemukan seseorang yang duduk tak jauh darinya sambil menghadap ke danau. Kakinya berselonjor. Harpa tak dapat melihat jelas wajah orang itu karena memakai topi dan masker hitam. "Siapa kamu?" tanya Harpa. Orang itu tak menjawab. Dia hanya mengangkat tangan dan menunjukkan angka satu. "Terserah!" balas Harpa kesal. Wanita itu tetap di sana menangisi takdir tanpa memedulikan keberadaan pria itu. Harpa pikir dia hanya orang gabut. Tak lama Harpa melihat jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam. Dia ambil telepon dan meminta sopirnya menjemput. Harpa berdiri dan pria itu pun sama. "Ngapain kamu ngikutin aku?" tegur Harpa galak. Pria itu menaikkan kedua bahu. "Kamu gak bisa ngomong?" tanya Harpa lagi. Orang itu menggelengkan kepala. "Aneh! Kamu bukan orang jahat, kan?" tegur Harpa. Pria tadi menunjuk jalan keluar seakan mempersilakan Harpa untuk pergi. Semakin lama Harpa jadi seram juga. Dia berlari meninggalkan danau menuju ke sisi jalan. Namun, pria itu masih mengikuti. Tak lama mobil yang dibawa sopir menepi. Harpa lekas naik ke atasnya. "Jalan, Pak," pinta Harpa. Gadis itu masih menatap ke luar jendela. Pria bertopi hitam berdiri menatap mobil dan tak lama berbalik pergi. "Dia siapa?" pikir Harpa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN