24. Rencana

1023 Kata
"Akhirnya selesai juga," ucap Harpa dengan lega. Dia berdiri sambil merenggangkan tubuh. Diambil sebuah cermin di dalam tas. Harpa melihat tampilan wajahnya. "Aku masih cantik ternyata. Eye shadow dua puluh juta memang gak main-main," celetuknya. Dia tersenyum sambil memiringkan kepala ke kanan dan kiri seakan tak sadar Adras ada di sana. "Saya akan siapkan mobil jemputan," tawar Adras kemudian menuduk dan undur diri. Adras menenangkan debaran jantung. Baru sehari saja dia sudah banyak melakukan kesalahan. "Mungkin nanti akan terbiasa," batinnya. Adras meminta penjaga yang ada di depan pintu untuk menyiapkan rombongan yang akan mengantar Harpa pulang, barulah dia kembali ke kantor Harpa. "CEO, mobil sudah siap. Waktunya Anda pulang dan beristirahat," saran Adras. Harpa mengambil tas dan berjalan melewati meja. "Kamu pulang sendiri?" tanya Harpa. "Saya akan mengantar Anda hingga benar tiba di rumah dan besok pagi, saya juga yang akan menjemput Anda," jawab Adras. Harpa mengangguk-angguk, Thyon juga dulu melakukan hal yang sama. Dia selalu memastikan atasannya pulang dan pergi dengan selamat. "Besok apa yang harus kita lakukan?" tanya Harpa sambil berjalan menuju depan lobi. Adras membuka tablet PCnya untuk memastikan. "Besok malam ada pesta dari salah satu brand ternama. Saya sudah meminta designer pribadi Anda membuatkan gaun sesuai dengan dress code. Beliau sudah menyanggupi dan besok pagi saya akan ambil untuk dibawa ke laundry khusus," jawab Adras. "Hanya itu?" Adras menekan tombol lift. Pria itu tertegun membaca jadwal berikutnya. "Anda akan bertemu dengan jajaran artis Callir Entertainment." Harpa tersenyum sambil naik ke dalam lift. "Artinya anggota Diamond juga ada di sana, kan?" Wajah Harpa begitu penuh dengan maksud. Adras mengangguk saja. "Saya harap Anda bisa menjaga wibawa Anda di sana. Jangan sampai ada salah satu yang merasa dispesialkan hanya karena Anda pernah menjadi fans," pinta Adras. "Pernah? Aku masih ngefans dengan Diamond. Perasaan fans itu abadi, Sekretaris," tegas Harpa. Dia mendelik tajam ke arah kiri. "Lagian aku tahu posisiku. Kamu pikir aku masih anak kemarin sore," omelnya. Mobil Harpa mulai melaju menuju rumah. Gadis itu menurunkan kaca mobilnya. Dia menikmati angin yang berembus meniup rambut. "Waktu di London, aku biasa buka jendela mobil kalau lagi nyetir. Tahu kenapa?" tanya Harpa. Adras menggelengkan kepalanya. Sedang gadis itu malah tertawa cekikikan. "Cowok di sana ganteng-ganteng," jawabnya dengan nada bercanda. Meski begitu Adras tetap saja menyipitkan mata. "Kamu kuliah di mana?" Harpa memajukan posisi duduknya. Dia bersandar pada bagian belakang jok yang Adras duduki. Saat itu Adras memang duduk di samping sopir. Sedang Harpa di belakang. "Harvard," jawab Adras. "Wah! Keren. Kenapa kamu gak kerja di Amerika saja?" tanya gadis itu lagi. Tak lama dia manyun. "Karena surat wasiat Papaku." Harpa duduk kembali sambil bersandar. "Pekerjaan apa pun akan menjadi menyenangkan apabila kita tekun. Popularitas, gaji dan segalanya bukan pengukur kebahagiaan. Intinya adalah hati yang menikmati apa yang dilakukan," jelas Adras. "Artinya kamu menikmati saat-saat bekerja denganku," ledek Harpa. Adras hanya tersenyum kecil. "Anda dan saya sama-sama kuliah di luar negeri. Pasti tahu rasanya rindu pada negara sendiri, kan?" Apa yang Adras katakan memang benar. "Di London, aku gak bisa buang sampah sembarangan." "Bukan itu maksud saya, CEO." Adras terkekeh. Akhirnya mereka tiba juga di rumah Harpa. Adras membukakan pintu untuk gadis itu. "Kamu gak mau mampir dulu? Anggap saja rumah orang tua sendiri," tawar Harpa. Adras menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih banyak." "Bercanda. Mana mau aku kena santet tunangan kamu itu." Harpa melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah. Adras pulang diantar oleh sopir Harpa. Tiba di rumah, Thyon sudah duduk di sofa menunggu putranya datang. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Thyon. Adras menunduk tanda hormat pada Papanya. Dia duduk berhadapan dengan pria itu. "Sejauh ini, semuanya aman terkendali." "Kamu harus tegaskan agar Nona Kariswana tidak melakukan suatu perbuatan yang merugikan nama perusahaan. Apalagi kamu tahu sendiri bagaimana sifatnya yang sering ceroboh," tegas Thyon. Adras mengangguk. "Dia memimpin dengan sangat baik sejauh ini. Hanya saja memang agak emosian," ungkap Adras. "Aku harap kamu menilainya secara objektif. Bagaimana dengan Okna?" Thyon tentu masih ingat kalau calon menantunya itu sangat bersikap keras atas pekerjaan Adras. "Beberapa kali dia menelepon dan mengungkap atas rasa tidak sukanya. Hanya aku berusaha menjelasan keadaan. Aku harap dia bisa mengerti," jawab Adras. "Sudah dua tahun berlalu dan baiknya masa lalu sudah kalian lupakan. Fokus pada pekerjaan dan cita-cita masing-masing. Nama baik perusahaan sekarang tergantung kamu bisa mengatur CEO." Thyon bangun dari posisi duduknya. Dia berjalan menuju kamar. "Hanya kamu perlu ingat Adras, keluarga kita tak sepadan dengan Kariswana. Sampai kapan pun demikian." Adras hanya bisa mengangguk. "Iya, aku selalu sadar diri," batinnya. Sementara di rumah Harpa rebahan di atas sofa. Ponselnya masih tersambung dengan ponsel Narvi. "Untung saja jantung kamu masih di tempat," celetuk Narvi sambil terkekeh. "Aku biasa saja, sih," kilah Harpa. Dia memang tengah bercerita tentang Adras yang menolongnya. "Kata orang ya, wanita itu paling sulit melupakan sejauh apa pun dia disakiti sama lelaki. Aku gak yakin." Narvi melempar handuk ke dalam keranjang pakaian. "Gimana kerjaan kamu? Kalau gak bener, aku pecat baru tahu rasa!" omel Harpa. Narvi mendengkus. "Kamu cuman mau belokin pembicaraan saja, kan? Gak bisa! Di sini kita lagi ngomongin soal Adras. Eh, tapi ini saatnya kamu godain dia lagi, gak? Kamu jangan ikut baper, biar dia saja. Pas hubungan dia sama Okna hancur, kamu tolak mentah-mentah," saran Narvi. "Ide kamu sudah aku pikirin sejak kemarin. Aku bahkan masa bodo sama pekerjaan. Tujuanku cuman membalas Adras. Jangan pikir aku maafin dia semudah itu." Harpa memandang licik ke arah lampu tidur. "Kamu lagi ngapain sekarang?" Narvi meminum teh yang dia buat sebelumnya. Sudah dingin, tetap saja dia nikmati. "Pakai masker. Besok aku ketemu Dios, mana mungkin kelihatan jelek. Lagian pasti orang-orang sudah lupa karena masalah dulu, kan?" Harpa menekan-nekan maskernya untuk memastikan kertas itu sudah mengering. "Kayaknya sudah, karena skandal perselingkuhan artis wanita sama pejabat." Narvi menaikan kedua kakinya dan bersila di atas tempat duduk. Harpa mengangguk. "Kamu sudah sebar semut?" tanya Harpa. Sengaja dia menggunakan istilah agar orang tidak sadar apa yang dia maksud. "Pasukannya mulai menyebar setelah aku menyimpan ratu. Sebentar lagi sedikit demi sedikit makanan akan mereka angkut ke dalam kandang," jawab Narvi. Harpa berdiri dan menurunkan maskernya. "Aku ingin tahu bagaimana tanaman membuat makanan itu. Yang pasti rumput liar harus segera dicabut hingga akarnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN