"Gimana penampilanku?" tanya Harpa sambil sedikit menaikkan bagian tengah rangka kaca mata hitamnya.
Adras melirik ke arah langit. "Hari ini mendung, Nona," jawab Adras.
Senyuman Harpa yang tadinya melengkung mendadak menurun. "Kamu gak asyik banget, sumpah!" Harpa turun perlahan dari lantai teras. Adras membuka pintu mobil bagian belakang sedan hitam yang akan mengantarkan mereka ke kantor.
"Tunggu! Jadi sekarang kamu memutuskan memanggilku dengan panggilan Nona?" tanya Harpa. Adras mengangguk. "Itu lebih pas sepertinya. Semua orang di perusahaan memanggil Anda demikian," timpal Adras.
Harpa membuka kaca mata hitamnya. Dia berkacak pinggang dengan sebelah tangan dan tangan lainnya berpegangan pada bagian atas pintu mobil yang masih terbuka. Wajahnya menghadap ke arah Adras dengan pinggang sedikit ditekuk. "Menurut kamu, aku makin cantik dan elegan gak?" Kembali Harpa bertanya.
Adras berdeham. Dia memperhatikan Harpa dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Sama seperti kemarin," jawabnya dengan wajah datar dan penuh kejujuran.
"Kamu kenapa begitu membosankan?" omel Harpa.
"Maaf. Hanya memang seperti itu. Wajah Anda tidak mungkin berubah hanya dalam waktu satu hari, kan?" jelas Adras.
"Aku heran kenapa dulu pacaran sama kamu! Gak ada manis-manisnya!" Harpa duduk dengan wajah masam hingga melipat tangan di depan. Kakinya menumpang di atas kaki lainnya.
"Karena itu Anda patut bersyukur karena kita berpisah," jawab Adras sambil menutup pintu mobil. Dia naik ke atas kursi di samping sopir. Ekspresi Harpa jelas sekali syok dengan jawaban Adras itu. Sedang si pria santai saja.
"Kamu marah sama aku?" tegur Harpa.
"Mana mungkin saya berani, Nona," timpal Adras.
"Gak berani, tapi tadi kamu nyindir aku, kan?" Harpa memegang tengkuknya. Dia sedikit mengangkat wajah kemudian menunduk kembali. "Kamu sadar gak barusan omongan kamu pedes banget? Benar-benar punya sekretaris gini amat!" protes Harpa. Wanita itu memilih kembali mengenakan kaca matanya.
Adras tak melanjutkan perdebatan mereka. Dia lebih fokus mencari jalan yang bebas dari macet. "Lebih baik di depan belok kanan, Pak." Adras berikan arahan pada sopir. Di belakang ada satu mobil penjaga mengikuti.
Ternyata jalan mana pun tak ada bedanya. Mereka tetap saja terjebak macet karena memang jam sibuk pergi kerja. Harpa memiringkan kepala dan menyandarkan bagian tubuh itu ke kaca jendela.
Karena semalaman dia telat tidur, jadilah pagi ini Harpa masih mengantuk. Wanita itu putuskan untuk tertidur sejenak. Tiga puluh menit perjalanan, Harpa habiskan dengan bermimpi. Tak jelas apa yang lewat dalam bunga tidurnya itu. Hanya suara klakson dan pembicaraan Adras dengan sopir masih terdengar.
Tiba-tiba ada sebuah motor yang memotong jalur mobil Harpa. Sopir mengerem dadakan dan membuat kepala Harpa terantuk kaca mobil. Harpa mengaduh dan mengusap kepalanya. Dia melihat ke luar jendela.
"Kenapa kalian biarin aku tidur sampai malam?" tegur Harpa.
"Ini masih pagi, Nona," kilah Adras.
Harpa menyipitkan mata. Dia membuka jendela mobil dan melihat keadaan di luar. "Tapi gelap," sanggahnya.
"Di luar mendung dan Anda memakai kaca mata hitam," jelas Adras.
Harpa menyentuh matanya. Dia nyengir sambil membuka benda itu. "Maaf, aku kadang sering khilaf." Terlihat teras gedung di depan sana. Mobil langsung berhenti. Adras lebih dulu keluar untuk membantu Harpa turun. Gadis itu mengulurkan tangan minta Adras membalas. Demi profesionalitas, Adras menurut saja.
"Semua artis sudah siap?" Harpa langsung pada inti masalah sambil berjalan masuk.
"Mereka menunggu Anda di ballroom," jawab Adras. Keduanya masuk ke dalam lift. "Anda ingin saya sediakan camilan dan minuman apa untuk makan siang?"
"Nasi," pinta Harpa. Adras terdiam, heran dengan permintaan sang CEO. "Aku orang Indonesia, di London makan roti setiap hari. Kalau perlu pesankan soto."
Adras mengangguk saja. Mereka tiba di depan ballroom dan disambut staf yang sudah bersiap di sana. "Salam kepada CEO," sapa mereka.
Harpa hanya membalas dengan senyuman. Dia langsung naik ke atas panggung. Sudah tersedia meja dan kursi untuk jajaran pimpinan baik direktur utama, komisaris, dan terakhir untuk Harpa.
Seluruh artis dan staf artis duduk di kursi yang berbaris seluas ballroom. Mereka menatap ke arah Harpa.
"Dia cantik banget," komentar Niel sambil berbisik dan menyikut lengan Dios. Sedang yang diajak bicara langsung memelototi.
"Beneran, dia terlalu cantik buat jadi CEO. Bagusnya jadi model. Beruntung banget laki-laki yang bisa nikahin dia. Menang di mana-mana," timpal Neo sambil terkekeh.
Adras memberikan teks pidato ke meja Harpa. Kemudian pria itu berjalan mundur agar CEOnya bisa bicara dengan audiens tanpa terhalangi.
"Salam kenal. Saya Harpa Kariswana, putri CEO sebelumnya dan kini menjadi pengganti mendiang ayah saya. Di sini saya sangat mengucapkan rasa terima kasih telah menjadi bagian Callir dan memberikan konstribusi pada perusahaan ini. Sebagai CEO baru, saya menunggu masukan dari rekan artis semua mengenai promosi, kreativitas serta hal yang mendukung karir Anda sekalian. Saya mengucapkan banyak sekali maaf, apabila sebelumnya ada hal yang kurang berkenan mengganggu kinerja Anda selama ini." Harpa berdiri dan menunduk.
"Sepertinya aku pernah melihat wanita itu," komentar Regal. Dia melirik ke arah Dios kemudian menutup mulutnya.
"Lebih baik jangan bahas itu. Aku sudah jelaskan saat itu aku tak tahu tentangnya dan beliau hanya menolongku," jelas Dios.
Setelah itu satu per satu perwakilan artis memberikan masukan serta ucapan terima kasih mereka. Harpa mendengarkan dengan saksama dan menuliskannya dalam buku catatan.
Terakhir, Regal sebagai leader Diamond berdiri. "Salam hormat, CEO. Saya Regal dari Diamond. Selama ini, tiada satu pun dari perlakukan Callir pada kami yang perlu direvisi. Baik masalah asrama hingga keperluan lainnya. Hanya saja, kami ingin bakat kami secara personal lebih digali kembali," pinta Regal.
Harpa mengangguk. "Apa yang Anda katakan sudah saya pikirkan sebelumnya. Mungkin sebagian dari Anda tahu bahwa saya tergabung dalam fandom grup Diamond. Saya tahu sekali bakat artis di Callir, bahkan melebihi Papa saya. Untuk itu, saya akan melakukan perombakan besar di tim perencanaan, talent dan produksi," ungkap Harpa.
Jelas yang dia ucapkan memancing keributan di ruangan itu. Mereka semua bertanya-tanya perihal apa yang Harpa maksud. "Maaf, Bu. Apa maksudnya Anda akan melakukan PHK dan perekrutan masal?" tanya salah satu Direktur.
"Ada istilah, jika ingin membuat tanaman tumbuh subur, harus membuang bagian yang busuk. PHK masal, tidak juga. Tergantung berapa banyak karyawan yang tidak kita butuhkan ada di sini. Atau mungkin melakukan rolling," saran Harpa.
"Dia wanita yang cerdas," batin Dios sambil tersenyum.
"Aku tidak akan memberikan keistimewaan pada seseorang hanya karena popularitas. Hanya saja apa yang orang itu raih, maka itu pula yang akan dia dapatkan. Jadi aku harap artis lain tidak merasa dibedakan. Selanjutnya untuk promosi, tentu akan diberikan secara adil. Selama ini promosi hanya ditekankan pada grup populer. Hal yang salah, karena akan membuat orang bosan melihat nama itu-itu saja yang muncul."