Dari dalam selimut Fanya mendegar suara, suara yang tidak asing ditelinganya. Berat dan sexy, mirip suara laki-laki. Pendengarannya memang tak salah lagi, suara tadi memang benar suara laki-laki. Tapi siapa? Laki-laki dirumah Fanya kan cuma ada Farel, udah gitu mana mungkin suara dia kaya begitu, setau gue nih ya selama 16 tahun tinggal bareng sama si Farel, suara dia tuh gaada bedanya sama banci kaleng yang suka ngamen dilampu merah.
"Tapi siapa? Atau jangan-jangan supir gue? Gamungkin deh." Pikir Fanya
Lah terus siapa?
"Lo ga engap kerubungan kaya begitu, hm?"
Fanya tersadar kalo ia lupa menyebutkan satu nama laki-laki yang sangat menyebalkan.
DEVAN!
Ketika di pikirannya sudah terbesit nama Devan, sontak saja Fanya langsung terpelonjat kaget, ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya.
"Devan?" Fanya membulatkan matanya saat melihat Devan sudah ada di kamarnya dan membawa tentengan kresek putih.
"Sejak kapan lo disitu?" Tanyanya yang masih memasang wajah terkejut.
"Sekitartigapuluhdelapandetikyang lalu." Jawab Devan cepat.
"Hah? Lo ngomong apa si? Cepet amat." Fanya menautkan alisnya, bingung.
Emang dasarnya telinga gue yang b***k, apa si Devan gatau caranya ngomong yang baik dan benar? Cepet amat, rel kereta api aja kalah cepet.
"Lo pasti belum makan ya?" Tanya Devan, ia berjalan medekat ke tempat tidur Fanya.
"Nih makan dulu." Devan memberikan kresek putih. Sepersekian detik Fanya sempat diam mengamati kresek yang Devan berikan padanya, tapi karena perutnya memang sangat lapar Fanya pun menerima pemberian Devan.
Dibukanya kresek itu, dan ternyata isinya pecel ayam. Makanan kesukaan Fanya.
"Dia tau makanan kesukaan gue?" Batinnya.
"Penasarannya nanti aja kalo lo udah selesai makan." Ujar Devan, lalu duduk ditempat tidur Fanya
"Gue jadi curiga kalo Devan mempelajari ilmu hitam. Kenapa gue bisa seyakin ini? Pertama, dia selalu ada dimanapun gue berada. Kedua, dia bisa baca pikiran gue. ketiga, sekarang gue ngerti kenapa tampang si Devan bisa ganteng pasti dia ngegunain ilmunya supaya dia tetep ganteng dan banyak disukain sama cewek gatel diluar sana." Pikir Fanya.
"Ini kenapa gue jadi ngalusin si Devan si? Gue tarik ucapan gue!" Fanya menggeleng cepat.
"Kenapa diem si? Mau gue suapin?"
"Eh, iya." Jawab Fanya kaget.
Devan mengambil makanan yang dipegang Fanya secara paksa. "Nih makan, buka mulut lo."
"Siapa yang minta disuapin?"
"Tadi lo ngomong iya."
"Kapan?"
"Tadi, Makan nih... Aaaaa"
"Siniin, gue bisa sendiri elahh." Fanya mengambil lagi makanan yang di pegang oleh Devan. Lalu memakannya dengan lahap. Setelah habis, Fanya bersendawa begitu keras tanpa memikirkan rasa malu karena dilihat Devan.
"Cewek ko sendawanya gede banget." Sindir Devan.
"Bodo amat, gue ini." Sahut Fanya.
"Iyadeh terserah lo, yang penting sekarang lo kenyang."
"Nih minum dulu." Devan memberikan aqua botol kepada Fanya.
"Thanks ya."
"Iya sama-sama."
"Lo boleh keluar dari kamar gue sekarang." Ucap Fanya tak tahu terimakasih. Karena jika bukan karena perhatian Devan, mungkin sampai sekarang Fanya akan lupa untuk makan.
"Gue bakal nungguin lo disini sampe lo benar-benar tidur." Balas Devan dengan tampang datar.
"Gue bukan orang sakit, jadi mending lo pulang deh. Lagian disini juga ada adek gue." Sinisnya.
"Adek lo cowok kan?"
Fanya mengangguk.
"Mulai detik ini, adek lo gaboleh masuk ke kamar lo." Ujar Devan.
"Lah emangnya kenapa?"
"Dia cowok."
"Terus kenapa?"
"Gue gasuka."
"Gasukanya kenapa?"
"Pokoknya lo gaboleh deket sama cowok selain gue."
"Tapi dia adik gue."
"Tetep gaboleh." Kekeuh Devan.
"Lo datang kerumah gue lupa bawa otak ya? Otak lo disimpen dimana si? Main ngelarang-larang gue deket sama adek gue cuma gara-gara dia cowok. Emang lo siapa gue hah?" Nada bicara Fanya meninggi.
"Calon imam."
"Pede tingkat tinggi!"
"Bangun woyy, jangan ngimpi mulu." Ujar Fanya.
"Gue ga lagi mimpi, emang nyata ko kalo gue itu calon imam lo."
"Semerdeka mulut lo! Udah sono gue mau tidur, capek hati bacot sama lo mah." Fanya menyibakkan selimutnya, dan kembali mengerubungi tubuhnya seperti sebelumnya. Tak lama kemudian, ia buka lagi selimut yang ia pakai tadi untuk melihat situasi dan kondsi di kamarnya. Ternyata Devan belum juga beranjak dari kamarnya, Devan masih tetap anteng duduk di sofa kamar Fanya.
"Lo ko belum pulang?" Fanya bangkit dari tempat tidurnya.
"Lo ga denger gue ngomong?" Gue bakalan nunggu lo."
"Tapi gue gaperlu ditunggu."
"Bohong."
"Gue ga ngantuk, Devan."
"Peremin aja matanya."
"Gabisa."
Devan bangkit dari sofa, dan beranjak untuk duduk di tempat tidur Fanya.
"Yaudah gue kelonin, biar lo bisa tidur."
"Ogahhhh. Gue gamau." Tolak Fanya, ia memukul lengan Devan berharap Devan segera pergi dari kamarnya.
"Terus lo mau nya apa?"
Devan mulai frustasi. Haha!
"Nonton."
"Nonton tv?"
"Bukan."
"Terus apa?" Tanya Devan polos.
"Ah elu mah, jadi cowok peka dikit kek." Ketusnya.
Devan membuang napasnya kasar.
"Lo mau nonton apa si?" Tanya Devan sekali lagi.
"Nonton Dilan yukk." Ajak Fanya.
"Dilan siapa?"
Fanya menepuk jidatnya. Devan katro amat.
"Ituloh film yang lagi ngehitzzz."
"Nonton yukk, gue penasaran banget soalnya Nada ngomongin Dilan terus."
"Mau yaaaa." Pinta Fanya sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Tak butuh waktu lama, Devan pun mengiyakan ajakan Fanya. Awalnya Devan tidak akan menyetujui permintaan Fanya, karena kondisi Fanya yang sedang sakit. Tapi setelah melihat perubahan ekspresi wajah Fanya, membuat hati Devan luluh ia tak tega jika harus menolak permintaan wanitanya itu.
Mereka berdua pun pergi ke bioskop dengan Fanya yang diboncengi oleh Devan.
"Yeayyyy nyampe juga." Fanya turun dari motor yang ia tumpangi.
"Devan buruan." Ucap Fanya, sambil menarik-narik jaket yang dekenakan Devan.
"Iya sabar." Devan menaruh helmnya.
Setelah sampai di bioskop, Devan dengan segera membeli 2 tiket, satu untuknya dan satu lagi untuk wanitanya. Kurang lebih 1 jam menunggu, akhirnya mereka berdua mendapat giliran menonton. Devan memilih duduk di kursi tengah keempat dari depan agar tak terlalu jauh dari layar. Sejak film dimulai, Devan tak hentinya melirik Fanya yang sangat fokus menatap kearah layar. Hingga film selesai pun mata Devan masih setia menatap wajah Fanya.
"Dev, balik yuk."
"Devan." Fanya menepuk pundak Devan.
"Eh, belum selesaikan filmnya?" Tanya Devan tak sadar.
"Lo b***t amat, kalo layarnya udah mati yaa film nya juga udah selesai lah." Oceh Fanya.
Devan baru sadar setelah melihat kearah layar, ternyata benar sudah mati. Tanpa pikir panjang karena tak ingin mendengar ocehan Fanya, Devan langsung menarik tangan kiri Fanya untuk keluar dari tempatnya menonton.
"Dev, gue mau es krim dong." Pinta Fanya.
"Kaya anak kecil aja."
"Bodoamat, pokoknya gue mau es krim. Tapi lo yang beliin titik."
"Gaboleh Fanya, lo tuh lagi sakit. Jangan makan yang aneh-aneh dulu lah."
Fanya memanyunkan bibirnya. Gue bete sama si Devan! Apa-apa gaboleh.
"Coba aja gue punya pacar kaya Dilan, udah romantis, perhatian sama ceweknya, dan yang paling penting siii pekaan." Gumam Fanya sambil tersenyum dengan mata yang ia pejamkan.
"Dilan, Fanya rinduu."
Kuping Devan benar-benar sudah panas mendengar penuturan Fanya yang dari tadi hanya memuji tokoh Dilan yang hanya fiksi belaka. Sementara dirinya yang memang sudah benar-benar nyata malah dihiraukan.
"Lo tunggu disini." Ucap Devan, yang langsung berlari ketempat tujuannya.
"Ishh, bukannya ngertiin kek kalo gue pengen dibeliin es krim. Ini malah kabur, dasar cowok nyebelin gila sters kerjaannya gangguin hidup gue mulu lagi." Tak ada Devan, sedari tadi Fanya mendumel terus gaada capeknya.
"Dasar Devan nyebelinnnnn.."
"Fanya."
Saat namanya dipanggil, otomatia Fanya ngebalikin badannya karena arah suara it dari belakang.
"Devan."
"Buat lo, katanya lo mau ini."
Kalo boleh teriak, gue pengen teriak sekarang juga. Devan datang bawain es krim yang gue mau, sooo swittt banget.
"Thanks ya."
Devan melangkah maju, hingga mereka berdua kini saling berhadapan.
"Gue emang ga seromantis Dilan, tapi gue berusaha biar engga buat lo kecewa sama gue. Perlu lo inget, gue sayang sama lo dengan cara gue sendiri bukan orang lain." Setelah mengucapkan itu, Devan mengecup singkat kening Fanya dihadapan banyak orang, sehingga orang-orang yang tadinya sedang sibuk dengan aktivitasnya, lebih memilih untuk melihat dua insan yang sedang kasmaran.
Jangan tanya lagi perasaan Fanya bagaimana.
Jantungnya kembali berdegup kencan, kakinya melemas, wajahnya mendadak panas saat benda kenyal menyentuh keningnya. Sialan!
"Mereka cocok banget yaa"
"Romantis banget siii."
"Gue envy sama mereka. Kapan gue kaya begono?"
"Anjirr, itu ka Devan anak Harpbang kan? Ganteng amaddd."
"Cek ig ceweknya buruan."
"Buruan potoin mereka."
"Wahh, bakalan jadi hot news nih SMA Harpbang."
"Woyy itu yang lagi pacaran bisa pergi ga? Tau gue baru putus."
"Ceweknya kegatelan. Dasar jamet."
"Pelakor dimana-dimana."
"Emang Devan laki lo?"
"Bukan si, baru calon. Wkwk"
Mungkin itulah ocehan-ocehan dari manusia yang masih bisa bernafas yang selalu mengurusi kehidupan orang. Sampai-sampai mereka lupa bahwa hidupnya juga masih banyak yang harus mereka urusi.
"Gue sayang sama lo Indira Fanya Azzahra." Bisiknya lembut