Does she hate me that much?

3019 Kata
Gue terbangun di tempat tidur dengan pakaian yang masih sama seperti yang semalam gue pakai saat ke rumah Jessica Veranda. Sejujurnya, gue sudah membulatkan tekad untuk gak akan hadir di acara ulang tahunnya semenjak cewek itu meninggalkan gue begitu aja di laboratorium bahasa beberapa hari yang lalu. Tapi sepertinya nasib sial selalu berpihak pada gue. Ada aja alasan yang membuat gue terpaksa mengunjungi rumahnya malam itu. Siapa lagi kalau bukan Jordan! Tanpa gue duga, Jordan ternyata menerima undangan dari Queen untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Setahu gue, Jordan bahkan gak pernah bertegur sapa dengan cewek itu. Mungkin karena posisinya sebagai Ketua Osis sehingga Queen memberikan undangan untuknya. Cuma alasan itulah yang menurut gue masuk di akal dan bisa diterima. Jordan meminta gue, lebih tepatnya memaksa gue untuk menemaninya ke acara tersebut. Akhirnya setelah melalui perdebatan sengit dengannya, gue terpaksa menemani Jordan kesana tapi tentu aja dengan beberapa syarat yang harus dia penuhi. Pertama, kehadiran kami kesana hanya untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun dan memberikan kado yang sudah disiapkan Jordan dari jauh-jauh hari sebelumnya kepada Queen. Kedua, kami akan langsung pulang begitu apa yang menjadi tujuan kami terpenuhi. Pada awalnya, gue sama sekali gak berniat untuk memberikan hadiah atau kado apapun untuk Jessica Veranda. Tapi, mengingat gue sudah terlanjur mengatakan padanya kalau gue akan hadir dan akan memberikannya hadiah, sebagai seorang pria gue merasa gue harus menepati apa yang sudah gue ucapkan. Gue gak mau di anggap sebagai cowok yang omongannya gak bisa dipegang. Gue gak yakin apakah kado yang gue titipkan kepada salah satu anggota band pengiring di acara itu benar-benar diputarkan atau enggak. Tapi gue harap, Queen menerima apa yang sudah gue berikan padanya dengan senang hati meskipun kado itu bukanlah kado yang sangat mahal atau istimewa. Semenjak mengenal Jessica Veranda Tanumihardja, entah bagaimana gue jadi mulai berpikir mengenai hal-hal semacam itu. Sebelumnya gue gak pernah peduli dengan nilai atau harga suatu barang. Tapi Queen membuka mata gue bahwa segala sesuatu itu punya nilainya masing-masing. Gue sendiri cukup penasaran berapa nilai gue di mata Sang Ratu. Karena acara ulang tahun Queen, hari ini sekolah sengaja diliburkan dengan alasan demi menghormati anak dari sponsor utama. Berlebihan? Memang! Bahkan anak Presiden pun gak akan mendapat perlakuan se-istimewa itu. Tapi, bukan Jessica Veranda namanya kalau dia gak bisa membuat Kepala Sekolah memberikan hari libur untuknya. Gue yakin kalau orangtuanya menjabat sebagai Presiden, dia akan menjadikan hari ulang tahunnya sebagai hari libur nasional! Un-freakin-believeable! Gue mendekam di kamar gue sambil bermain game di smartphone begitu selesai mandi dan sarapan. Cukup lama gue berada disana saat Mama mendadak mengetuk pintu kamar gue. "Rish?" Gue buru-buru bangkit dari ranjang dan membukakan pintu untuknya. "Kenapa Ma?" "Ada temen sekolah yang nyariin kamu tuh di depan." "Siapa?" tanya gue bingung. Jordan selalu menghubungi gue lebih dulu kalau ingin main ke rumah. Jadi teman yang dimaksud Mama pastilah bukan Jordan. Gue gak merasa pernah punya teman lain selain Jordan. "Gak tau. Anak perempuan," beritahunya sambil tersenyum-senyum penuh arti. Apa Mama akan selalu berpikir yang bukan-bukan mengenai hubungan gue dengan semua teman perempuan yang datang ke rumah ini? Setelah Mama pergi, gue tutup pintu kamar dan berjalan menuju teras, ke tempat si 'anak perempuan' tadi menunggu. Begitu pintu rumah gue buka, seorang cewek berkulit putih, tinggi semampai dengan rambut merah menyala dan gaun hitam langsung berbalik menghadap gue. "Trick or treat?" What the heck?! Jessica Veranda? *** Aku menunggu dengan tidak sabar kemunculan Ghada Farisha. Sejak subuh tadi aku sudah memikirkan 1001 alasan yang akan kuberikan padanya jika ia bertanya mengenai alasan kedatanganku ke rumahnya. Dan satu-satunya yang menurutku cukup masuk akal adalah.. Aku berkunjung hanya karena ingin mengembalikan sweater abu-abu yang pernah dipinjamkannya padaku. Selain itu aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas hadiah yang diberikannya secara tidak langsung di pesta ulang tahunku. Aku perhatikan sekali lagi penampilanku melalui kaca jendela rumah Farish yang berwarna hitam. Dandananku kali ini memang sedikit berlebihan. Ini terinspirasi dari salah satu tokoh misteri yang pernah aku baca, Lucifer. Dengan rambut merah menyala, sayap hitam dan tidak lupa lingkaran hitam di atas kepalaku. Alasan aku mengenakan kostum ini hanya satu, ingin membuktikan pada Farish dan Firash bahwa aku tidak sama persis dengan tokoh nenek sihir di dalam cerita yang Farish buat. Aku terlalu cantik untuk mendapat peran antagonis seperti itu. What do you expect? I am The Queen Bee, Jessica Veranda. Begitu pintu terbuka, aku langsung berbalik dan melihat Farish berdiri menatapku dengan wajah kaget bercampur bingung. Penampilannya terlihat berbeda dengan biasanya. Farish mengenakan kaos tipis yang membalut tubuhnya dengan pas serta celana jeans selutut. Rambutnya yang biasa dibiarkan berantakan dan tidak beraturan kini di tata dengan rapi ala penyanyi Jepang. Dan, ada sesuatu yang lain dari dirinya yang membuat jantungku berdebar hanya dengan melihatnya. "Trick or treat?" Aku langsung melayangkan pertanyaan padanya sambil mengerling dan tersenyum semanis mungkin mencoba mengusir debaran di hatiku. Farish terdiam sambil memperhatikan penampilanku untuk beberapa detik. Dahinya sedikit berkerut ketika melihat wig merah yang kupakai. Tidak berapa lama kemudian, ia meluncurkan pertanyaan yang tidak aku sangka-sangka sebelumnya. "Apa sekarang sudah Halloween?" "What?" "Gue nanya karena sepertinya pagi tadi lo terbangun dengan otak yang sedikit bergeser, Queen." How dare him!! Berani-beraninya dia mengolokku di saat aku sudah bersusah payah berdandan seperti ini hanya untuk dirinya?! "Tamunya kok gak di suruh masuk Rish?" Wanita paruh baya yang tadi menyambut kedatanganku kembali muncul dari belakang punggung Farish. Wajahnya mirip sekali dengan Farish. Yang berbeda hanyalah tatapan mata Farish yang selalu dingin kepadaku. Berbeda sekali dengan pandangan mata dari wanita ini. Sangat hangat. Farish menoleh ke arah Ibunya kemudian kembali menatapku dengan wajah terpaksa. "Masuk," ucapnya singkat. Aku nyengir lebar kemudian melangkahkan kaki ku melewati pintu. Farish lalu mempersilahkan aku duduk di sofa ruang tamunya dengan enggan. Cukup lama kami duduk berhadap-hadapan hingga Ibunya kembali muncul. "Maaf ya, gak ada apa-apa. Farish gak bilang sama Tante kalau ada temannya yang mau ke rumah. Kalau tau kamu mau dateng, sudah Tante buatkan kue bolu buat kamu. Kue bolu buatan Tante lumayan lho. Farish dan adiknya suka sekali makan kue itu." Ibu Farish kembali berceloteh begitu kembali ke ruang tamu mereka. Tangannya sibuk bergerak meletakkan minuman dingin dan setoples makanan ringan di atas meja. "Gak usah repot-repot Tante." "Ah gak repot kok. Tante malah senang kalau ada temannya Farish yang datang. Selama ini gak pernah ada teman perempuannya Farish yang datang ke rumah ini. Kamu yang pertama." "Ma.." Farish memperingatkan Ibunya untuk berhenti bicara. "Oh iya, nama kamu siapa?" Wanita itu bertanya tanpa mempedulikan peringatan dari Farish. "Ah iya, maaf saya lupa memperkenalkan diri Tante. Nama saya Jessica Veranda. Panggil Ve aja." Aku berdiri lantas mengulurkan tanganku padanya. "Nama Tante, Khusnida. Ve bisa panggil Tante Nida," beritahunya sambil menyambut uluran tanganku. "Ayo di minum dulu minumannya. Tante tinggal ke belakang ya. Kalian ngobrol-ngobrol aja disini." "Makasih Tante." Tante Nida mengangguk sambil tersenyum lalu kembali berjalan masuk ke bagian dalam rumahnya. "Nyokap lo baik ya.." Bukannya menanggapi komentar yang aku berikan, Farish justru semakin menatapku dengan pandangan menusuk dari balik kacamatanya. "Ngapain lo kesini? Darimana lo tau rumah gue? Bukannya lo gak mau deket-deket gue lagi?" Dia akhirnya bertanya sambil terus mempelajari ekspresi wajahku dengan seksama. Untuk beberapa detik, aku dibuat tak bisa berkata-kata. Alasan yang aku buat selama berjam-jam demi mengunjungi rumahnya mendadak hilang begitu saja begitu berhadapan langsung dengan Farish. Why am I being here? Stay focus, Jessica Veranda! "Gue mau nanya soal pelajaran." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Stupid! "Apa?" Sudah terlanjur basah. Aku tidak bisa menarik ucapanku barusan. Kenapa aku harus mendadak gugup dan salah tingkah jika sudah menatap matanya?! Why? "Ada pelajaran yang gak gue mengerti dan gue butuh bantuan lo. Guru Matematika ngasih bahan itu sebagai PR. Satu-satunya orang yang langsung terpikirkan di otak gue adalah lo." Farish masih menatapku dengan tajam sambil berusaha mencerna kalimatku barusan. Mungkin sulit baginya untuk memahami alasanku. Me, The Queen Bee, mendadak jadi tertarik untuk belajar? Rasanya sungguh tidak masuk akal. "Oke.." Di luar dugaan, Farish ternyata menerima mentah-mentah bualanku barusan. "Mana buku lo?" Oh boy! Aku benar-benar merasa tersudut sekarang. Apa yang harus aku katakan? Aku sama sekali tidak membawa satu pun buku bersamaku saat ini. You're getting caught, Jessica Veranda! *** Jessica Veranda duduk terdiam menatap gue sambil menahan nafas. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya kembali menggembungkan pipinya tanpa dia sadari. It was so fun to see her like that. Really. Gue bukanlah cowok bodoh yang mudah tertipu dengan alasan gak masuk akalnya barusan. Kalau Queen memang berniat untuk menanyakan mengenai pelajaran, dia bisa aja langsung ngehubungin gue lewat telepon daripada susah payah datang ke rumah gue. Di tambah lagi, kedatangannya dengan kostum ala Halloween sudah cukup menjadi bukti kalau ada niat lain di balik kehadirannya di rumah gue. "I'm not stupid enough to eat your nonsense reason, Queen. So, tell me the truth." Queen masih duduk gelisah sambil memandang berkeliling. Mungkin berharap ada seseorang disini yang bisa menolong dirinya lari dari pertanyaan gue. Seriously, I'm not that bad. "Let me guess, you're here because-" Queen tidak membiarkan gue untuk menyelesaikan kalimat gue sampai akhir. Cewek itu cepat-cepat memotong ucapan gue dengan segera. "Because I'm terrible at Math." "You're terrible at everything Queen." Gue menimpali jawabannya dengan salah satu alis terangkat. Gue rasa pernyataan gue barusan membuatnya kesal karena begitu gue selesai bicara, Jessica Veranda langsung memalingkan wajahnya menghindari gue. "Fine. Terserah lo mau bilang apa. Gue gak akan banyak komentar, nerdy boy." Dia berbicara tanpa menatap ke arah gue. Wajahnya lurus memandang koleksi guci Mama di pojok ruang tamu. Seolah guci tersebut sangat bernilai seni tinggi dan jauh lebih berharga dibandingkan keberadaan gue di depannya. Baru aja gue berdiri untuk mengambil beberapa buku Matematika bekas punya gue tahun lalu, tahu-tahu Queen juga bangkit berdiri dan berbalik ke arah pintu. Seriously, did she mad at me? Because of my words? This is not so Queen. Sebelum dia mengambil langkah kedua, gue akhirnya segera melingkarkan tangan kiri gue ke pinggangnya sehingga punggungnya bertemu dengan d**a gue sedangkan tangan gue yang lain langsung membekap mulutnya. "Kalau lo pulang sekarang, nyokap gue akan marah sama gue karena ngebiarin lo pergi begitu aja. Dia akan ngira gue memperlakukan tamu dengan gak sopan." Gue berbicara dengan suara pelan namun berusaha tetap terdengar di telinganya. Queen langsung membatu di tempatnya berdiri. Mungkin pada akhirnya dia memutuskan untuk gak jadi pulang sebab untuk sepersekian menit, dia cuma berdiri diam bahkan setelah gue melepaskan kedua tangan gue darinya. "Hey, Queen." Gue tepuk bahunya sehingga membuatnya langsung berbalik menghadap gue. Wajahnya yang hari ini hanya di alasi bedak tipis itu bersemu merah sambil menatap gue. Jarak kami sangat dekat sehingga gue bahkan bisa melihat dengan jelas contact lens yang dikenakannya. "Are you sick?" "I'm perfectly fine, nerdy boy," jawabnya setelah berhasil mengubah ekspresi wajahnya kembali normal. "Lo yakin? Barusan lo kelihatan gak sehat." Gue majukan wajah gue semakin dekat ke arahnya untuk memeriksa kondisi cewek itu tapi Queen buru-buru memundurkan kepalanya menjauhi gue. Seriously. Does she hate me that much? Kemarin dia berusaha menghindar dari gue dan sekarang dia bahkan gak mau berdekatan dengan gue. Apa yang sebenarnya sudah gue lakukan padanya? "Gue akan ambil buku Matematika gue. Tunggu sebentar." Gue masuk ke dalam kamar dan mengambil buku Matematika yang memang belum sempat gue masukkan ke dalam box untuk di jual. Gue kira buku ini akan bermanfaat untuk Firash nantinya sehingga gue sengaja menyimpannya di rak buku gue meskipun gue gak membutuhkannya lagi. Begitu gue kembali ke ruang tamu, Jessica Veranda sudah kembali duduk dengan manis ditemani Firash. "So, that's why you come to our house with this cosplay stuff, Kak Queen?" Firash masih sibuk mengajak Queen berbincang meskipun dia sudah melihat kehadiran gue disana. "Rash, you disturb her." "I'm not. Iya kan Kak Queen?" Firash menatap Queen dengan ekspresi puppy eyes andalannya. "Yeah, you are not," angguk Queen lalu mengacak pelan rambut Firash. Sejak kapan dua cewek ini jadi semakin akrab? "Firash, you better go to your bedroom." "I won't go anywhere, Rish," tolak adik kecil gue itu sambil memainkan ujung-ujung wig Queen yang berwarna merah. "Aku suka dengan warna rambut Kak Queen." "Lo mau?" Queen menggerakkan salah satu tangannya hendak melepaskan wig yang dikenakannya. "Apa lo kesini untuk ketemu sama Firash? Gue bisa ninggalin kalian berdua disini dan balik ke kamar kalau lo mau," kata gue dengan gak sabar sambil menatap wajah kedua cewek itu bergantian. "Keep your nerve down, nerdy boy. Seperti yang gue bilang tadi, ada soal Matematika yang gak bisa gue kerjain dan.." Tangan Queen yang tadi bergerak mendekati kepalanya lantas berubah arah mengambil paperbag yang sejak tadi dibawanya dan diletakkannya di samping kursi lalu menyerahkannya kearah gue. "Here. This is yours." Penasaran, gue intip sedikit isi paperbag tersebut untuk melihat isinya. Jaket abu-abu yang pernah gue pinjamkan padanya. Gue kira Queen sudah membuang jauh-jauh jaket ini ke suatu tempat yang jauh. Bagi seseorang seperti Jessica Veranda, jaket gue gak ada artinya jika dibandingkan dengan uang makan yang dia keluarkan dalam satu hari. "Jadi.. Bisa kita mulai belajarnya?" tanya Queen sambil mengambil buku Matematika yang tadi gue bawa. Dia membolak-balik beberapa lembar halaman hingga berhenti di suatu halaman dan menatapnya sekilas. "Look at this page." "Where? This?" Gue bergerak maju mendekati bagian yang dia tunjuk. Memang terdapat beberapa rumus trigonometri yang sedikit rumit disana. "Apa pe er yang lo dapet mirip dengan soal-soal disini Queen?" "Ya. Gue masih sedikit bingung dengan bagian yang-" Queen mendongak dari buku dihadapannya dan menatap mata gue dengan kaget. Sama seperti sebelumnya, ia bergerak mundur menjauhi gue dengan ekspresi gugup. What was that? Queen memalingkan wajahnya sebentar ke arah lain sambil mencoba mengatur nafas. Ia kembali menghadap gue setelah berdeham pelan. "O.. Oke, sampai dimana gue ngomong tadi?" "Lo bilang kalau lo masih sedikit bingung dengan rumus yang ini," jawab gue tanpa banyak bertanya mengenai reaksi anehnya barusan. "Oh ya, jadi.." *** Aku tidak sadar sejak kapan Firash sudah menghilang dari ruang tamu. Begitu Farish selesai menjelaskan beberapa rumus trigonometri dan mengaplikasikannya dalam contoh soal, Firash sudah tidak ada lagi di ruangan ini. Aku bahkan tidak menghitung sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan dengan Farish. "Jadi, apa lo udah ngerti Queen?" Farish meletakkan pena ditangannya ke atas meja kemudian menatap mataku lurus-lurus. Tatapan yang sama yang sejak tadi berusaha kulawan meski hatiku terus bergetar karenanya. "Yeah. I guess." Farish menganggukkan kepalanya dengan ekspresi puas. Ia lalu menutup buku Matematika di hadapan kami kemudian meraih segelas air dingin yang tadi dihidangkan oleh Tante Nida. Aku bahkan tidak bisa melepaskan mataku dari semua gerak-gerik yang dilakukannya. "Gue minta maaf mengenai sikap gue beberapa hari terakhir. Terutama saat di lab bahasa tempo hari." Tanpa sadar, bibirku mengucapkan apa yang sejak tadi ingin kukatakan padanya. "Jessica Veranda Tanumihardja is apologizing. Apa akan ada badai besar yang nanti menerjang rumah gue?" Farish berbicara dengan nada berkelakar. Aku sikut lengannya dengan senyum lebar. "I was trying, nerdy boy. Gak ada yang perlu dibesar-besarin hanya karena permintaan maaf dari gue. Dan gak akan ada badai yang akan menimpa lo." "I don't believe you. Hari ini lo bilang maaf dan mungkin besok lo kembali mengacuhkan gue." Dia mengerutkan alisnya sambil memperhatikan wajahku dengan seksama. "Whatever you think, nerdy boy. Gue juga mau berterima kasih atas kado ulang tahun yang kemarin lo kasih. Gue lebih suka kalau lo kasih hadiah itu langsung ke gue daripada-" "Lo menghindari gue, Queen. Bagaimana gue mau kasih kado itu langsung sama lo kalau lo sendiri bahkan gak mau dekat-dekat sama gue," potongnya. "It was my fault, okay? Gue bukannya ngehindarin lo. Gue cuma.. Sibuk. Just it." Aku mencoba untuk memberi alasan. Aku tidak mungkin memberitahu Farish bahwa aku sengaja menghindarinya. "Sibuk atau memang karena lo gak mau dilihat oleh orang lain berada di deket gue?" "Gosh! No! That is so not true, nerdy boy!" "Seriously? Then.. Gue akan tanya sama lo sekali lagi. Apa yang membuat lo ke rumah gue hari ini, Queen?" "Bukankah gue udah bilang kalau ada beberapa rumus Matematika yang belum gue mengerti. Gue juga mau balikin jaket lo." "Dengan berdandan dan berpakaian seperti itu?" tanyanya sambil memandang penampilanku sekali lagi. Farish mencoba memojokkanku. Dia memberikan statement padaku untuk membuat pertahananku pecah dan pada akhirnya mengakui yang sebenarnya padanya. He is good at interrogating! "Lo sadar kalau gue tau lo itu bohong kan? Because your voice give me the signal." "What's signal? You talked like you know me for a long time, nerdy boy." "Did I? I guess I know you enough to know which one is the truth and wich one is the lie." Dia bangkit berdiri kemudian melepaskan kacamatanya. Setelah berjalan beberapa langkah kemudian menyandarkan bahunya di jendela, ia kembali menatapku. "And silence means yes." Aku tidak pernah dikalahkan selama hidupku. Apalagi hanya terdiam dalam pembicaraan. Aku tidak akan membiarkan Farish merasa menang lagi kali ini. Aku merasa aku harus memutar balik keadaan dan membuat Farish menyadari bahwa aku bukanlah gadis yang selama ini ia kira. Jika aku mengatakan yang sejujurnya mengenai semuanya dengan ekpresi wajah yang menunjukkan bahwa yang aku katakan tersebut hanyalah kebohongan semata, Farish akan menjadi bingung mana yang benar-benar jujur dan mana yang tidak. Jadi untuk melaksanakan niat itu, aku bangkit berdiri lalu berjalan mendekatinya. Kami saling menatap untuk beberapa detik. "Fine. Sejujurnya gue kesini karena gue mau ketemu sama lo dan menghabiskan waktu sama lo. Gue sengaja berdandan seperti ini untuk menarik perhatian lo dan membuat lo terpesona sama gue." Dari yang aku lihat, Farish cukup kaget dengan kata-kataku. Dia tidak terbiasa dengan sikapku yang blak-blakan dan langsung ke pokok persoalan ketika menyangkut apa yang aku rasakan. Jadi aku sangat yakin saat ini dia tertangkap basah dengan pengakuanku tadi. Kupikir aku sudah menang ketika melihat reaksi Farish. Finally, I make Ghada Farisha speechless for the first time. Tapi lagi-lagi aku harus di buat gigit jari kemudian. Aku seharusnya tahu aku sedang berhadapan dengan siapa. Orang yang sangat licik dan sulit ditebak. "Well.. Kalau begitu sebaiknya kita harus segera ngelanjutin kegiatan belajar kita yang tadi." Farish memajukan tubuhnya mendekatiku, sangat dekat hingga aku yakin bahwa ujung hidung kami saling bersentuhan. Wajahnya yang tanpa mengenakan kacamata membuat lututku semakin sulit untuk berdiri. "We'll be spending a lot of time together, my Queen." Ghada Farisha never failed to surprise me. For making Jessica Veranda speechlees over and over again. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN