Aku tidak pernah mengira Ghada Farisha cukup pandai dalam menggoda seorang perempuan. Kami memang sering berbincang, namun kebanyakan yang ia katakan sejauh ini hanyalah ejekan atau olokan daripada disebut menggoda. Tapi hari ini, ini pertama kalinya aku melihat dia membalas godaan yang aku lemparkan padanya.
Taruhan ini lama kelamaan semakin menarik sekaligus berbahaya bagi diriku. Aku seperti bermain di dalam api. Jika sedikit saja aku membuat kesalahan, aku bisa terbakar dalam api yang kuciptakan sendiri. So frustating!
And why Farish is looking hot and really good at this angle? Apa karena dia sedang melepaskan kacamata tebalnya? Aku masih tidak mengerti kenapa dia harus menyembunyikan penampilannya di balik kacamata tebal tersebut. Dia bisa terlihat seperti cowok normal tanpa mengenakan benda itu. Bahkan mungkin terlihat jauh lebih tampan.
Did I say 'tampan'? Gosh! What's happening with me? What's this feeling?
Aku terus menatap Farish tanpa berkedip hingga ia kembali duduk di kursinya. Dia jelas-jelas menghindari pandangan mataku dengan berpura-pura sibuk membolak-balikkan buku. Aku masih memandanginya berharap ia membalas tatapanku namun itu hanya sia-sia. Dia masih mengacuhkan diriku.
"Kenapa lo terus ngeliat gue dari tadi?" Akhirnya Farish bertanya dan membalas pandangan mataku.
Good. Finally you noticed me, huh nerdy boy? Let's see how you handle this.
"Apa maksud lo?" Aku balik bertanya mengabaikan ekspresi kebingungan di wajahnya yang sempat tertangkap oleh penglihatanku. Ku akhiri pertanyaanku dengan menjetikkan bulu mata dan tersenyum semanis mungkin.
Menjadi seorang The Queen Bee membuatku banyak belajar menghadapi berbagai tipe laki-laki dan bagaimana menanganinya. Untuk menarik perhatian mereka, langkah pertama yang umum dilakukan oleh seorang wanita adalah dengan ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Hanya dengan sedikit kerlingan dan senyum, biasanya laki-laki akan langsung tertarik dan berpikir bahwa wanita tersebut memberikan lampu kuning baginya untuk meneruskan pendekatan selanjutnya.
Farish perlahan menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memicingkan matanya memperhatikanku. Gotcha! Tidak seorang pun yang bisa bertahan dari pancaran aura kecantikan yang dimiliki oleh Jessica Veranda. Cepat atau lambat, Ghada Farisha akan bertekuk lutut di hadapanku dan mengatakan tiga kata sakti itu.
"Is there something wrong with your eyes? Dari tadi lo terus ngedip-ngedipin mata lo kaya orang bintitan," tanyanya serius.
What the hell is wrong with you Ghada Farisha?! You i***t! This movement called flirt! This boy is the real hopeless!
Farish mengusap-ngusap matanya sambil menggeleng perlahan. Setelah memakai kembali kacamatanya, ia duduk tegak dan menatapku lurus-lurus. "Berhenti bertindak bodoh seperti itu Queen dan cepat bilang apa sebenarnya tujuan lo datang ke kesini."
Gosh! Sepertinya Farish memang sudah menyadari apa yang tadi kulakukan namun dia sengaja tidak mempedulikannya dan membuatku kehilangan muka di hadapannya. Pray for my dignity! Aku tidak akan membiarkan Farish mempermalukanku lebih jauh lagi.
"I told you. Gue mau balikin jaket lo dan belajar Matematika."
"Lo bisa balikin jaket gue di sekolah. Lo juga bisa belajar Matematika dengan salah satu temen lo yang tinggi dan agak kasar itu. Gue denger, dia cukup pintar di bidang itu. Setidaknya cukup pintar untuk ngajarin lo, Queen."
"Yang lo maksud Rossie? Dari mana lo tau kalau dia pintar Matematika?" Kali ini aku yang ganti dibuat bingung olehnya.
"Gue wakil sekolah untuk Olimpiade Matematika tahun lalu. Gue pernah liat dia sebagai salah satu kandidat peserta lomba olimpiade Matematika Antar Sekolah se-DKI. Dia perwakilan dari kelas X."
He's right. Rossie memang pernah ditunjuk oleh wali kelas kami saat itu untuk ikut berkompetisi. Sayangnya, setelah melalui seleksi oleh dewan guru, Rossie di diskualifikasi karena di anggap terlalu kasar dan tidak bisa di di ajak bekerja sama dalam tim. Jika saja sahabatku itu mau serius belajar, aku yakin dia bisa maju hingga tingkat nasional. Sayang sekali Rossie terlalu malas dan menganggap bahwa hal semacam itu hanyalah lelucon.
"Answer me, Queen! Apa tujuan lo yang sebenarnya datang ke rumah gue?" tanyanya dengan nada memerintah.
Suaranya hampir saja membuatku tersentak. Karena lelah terus-terusan berdiri, aku akhirnya berjalan duduk di hadapannya sambil menyilangkan kedua kaki dan dagu terangkat.
"Fine. Gue merasa bersalah karena udah menghindari lo selama beberapa hari ini. Gue mau minta maaf."
"C'mon, Queen. Dengan pakaian seperti itu?"
"Pakaian ini cuma atribut, nerdy boy. Gue tau lo akan terus menulis sesuatu yang buruk tentang gue di novel lo. Lo harus liat dengan mata lo sendiri kalau gue terlalu kharismatik untuk menjadi karakter antagonis dalam cerita manapun!"
Farish tergelak di kursinya. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya sambil terus memperhatikan penampilanku. "What? Kharismatik? Seriously, you have high confidence Queen." Farish mengusap ujung hidungnya sejenak kemudian kembali bicara, "tell me, Queen. Apa alasan lo menghindari gue?"
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. I am speechless. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar panik, tergagap dan tidak tahu harus bicara apa. "Eh itu.. Ya.. Itu.. Humm.. Gue.."
"Gue bisa menebak alasannya dengan sangat jelas. Lo gak mau orang-orang berpikir kalau Queen Bee kebanggaan sekolah mereka bergaul dengan seorang Ultimate Nerd, begitu kan?"
"Bu-"
"Let's skip this matter." Farish bangkit berdiri kemudian berjalan mendekati kursiku. Setelah memajukan tubuhnya mendekatiku, matanya kemudian menelusuri setiap inci penampilanku. "Lo seharusnya ikut lomba cosplay di Japan Fun Day, Queen."
"What?" Hampir saja aku kehabisan nafas karena mencoba untuk menahan degup jantung yang kembali melanda karenanya.
"Lo berbakat untuk menjadi cosplayer. Gue bisa bantu kalau lo berminat serius mendalaminya." Farish meletakkan salah satu tangannya di atas bahuku lalu meremasnya dengan pelan.
Aku masih memperhatikan saat Farish kembali menegakkan tubuhnya kemudian berdiri bersandar di dinding. Ku perhatikan dengan seksama tindak tanduknya ketika ia mulai mendesah pelan sambil menyisir sembarangan rambutnya dengan jari-jari tangannya. Seolah menganggap kehadiranku tidak ada, Farish bersenandung pelan dalam bahasa Jepang yang tidak aku mengerti.
Dia bertingkah seperti itu cukup lama sehingga membuat aku jadi penasaran sebenarnya apa yang sedang dipikirkan olehnya. Aku masih ingin menunggu beberapa menit tapi kesabaranku ternyata tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
"What on earth are you doing?"
Bukannya segera menjawab, dia bahkan tidak menoleh sedikit pun padaku. Tidak mungkin dia lupa bahwa ada seorang gadis cantik yang tengah bertamu ke rumahnya.
"I asked you!"
"Sstt.." Farish meletakkan ujung telunjuknya ke bibir. Matanya yang tadi terpejam perlahan terbuka. "Lo gak punya stok sabar yang cukup, Queen."
Farish berjalan mendekati tempat dudukku dan tanpa ku duga ia menundukkan kepalanya hingga hampir mengenai puncak kepalaku. Aku bisa merasakan deru nafasnya mengenai rambutku. Aku bahkan bisa menghirup aroma tubuhnya sekilas. He smells really good. Aku jadi ingin tahu seperti apa aromaku saat ini. Seperti apa bau nafasku? Atau apakah aku seharusnya menyemprotkan lebih banyak parfum lagi? Argh! Benar-benar menjengkelkan. Kenapa aku jadi berpikir hingga sejauh ini?
Aku cukup yakin jika aroma tubuhku sangat menyenangkan. Percuma aku menghabiskan waktu yang cukup lama di kamar mandi setiap hari jika aku tidak bisa menjaga bau badanku. Majalah sekolah bahkan pernah memuat berita mengenai betapa menariknya aroma tubuhku. I smell like Vanilla and Jasmine. But, why am I still worry?
Hanya beberapa detik, Farish kembali berdiri tegak namun kini dengan tangan yang sudah memegang lingkaran hitam yang ku letakkan beberapa centimeter di atas kepalaku sebagai aksesoris. Di salah satu tangannya yang lain juga sudah menggenggam rambut palsu yang tadi aku kenakan.
"Lo jauh lebih cantik kalau seperti ini, Queen." Komentar Farish semakin membuat tubuhku merinding.
What is so wrong with my body? Get up and pull back yourself, Jessica Veranda! This is Ghada Farisha we are talking about!
"Cantik? Ha! Finally you said it, nerdy boy! Lo mengakui sendiri kalau gue memang-"
"Well, gue punya mata yang cukup normal untuk bisa melihat, Queen. Tapi bukan berarti gue punya hati dan otak yang cukup bodoh untuk jatuh cinta dalam kecantikan lo."
Aku hampir saja ingin bangkit berdiri dan memaki dengan keras dirinya jika saja aku tidak ingat bahwa ada anggota keluarganya yang lain di rumah ini. How dare him!!
"Jadi lo berpengalaman dalam cinta, heh? Apa lo pernah mengalaminya, nerdy boy? Seberapa sering lo jatuh cinta? Sudah berapa kali lo pacaran? Lo terlihat yakin dan percaya diri bahas topik ini," ledekku panas.
"You don't have to be in love to know the real meaning of love, Queen," balasnya. Ia kembali bersandar ke dinding lalu memejamkan matanya.
"Romance, who loves to nod and sing. With drowsy head and folded wing. Among the green leaves as they shake. Far down within some shadowy lake. To me a painted paroquet. Hath been, a most familiar bird. Taught me my alphabet to say. To lisp my very earliest word. While in the wild wood I did lie. A child, with a most knowing eye."
Setelah mengucapkan kalimat itu dengan suara lirih, Farish membuka matanya kemudian menoleh menatapku. "Lo pernah denger puisi ini, Queen?"
Sebagai jawaban dari pertanyaannya, aku hanya menggeleng.
"Of late, eternal Condor years. So shake the very Heaven on high. With tumult as they thunder by, I have no time for idle cares. Through gazing on the unquiet sky. And when an hour with calmer wings. Its down upon my spirit flings, that little time with lyre and rhyme. To while away, forbidden things. My heart would feel to be a crime, unless it trembled with the strings." Farish menyelesaikan puisinya kemudian duduk di hadapanku. "Romance oleh Edgar Allan Poe. Dia sastrawan asal Amerika."
"Gue gak akan terkesan dengan itu. Gue bahkan gak pernah tau sastrawan Indonesia."
Farish menggeleng. "Gue bukannya mau menunjukkan kemampuan gue di bidang literatur, Queen." Farish terdiam sejenak. "Gimana menurut lo arti dari puisi itu?"
"Maksud dari puisi tadi?" Aku balik bertanya. Setelah berpikir sejenak, aku kembali melanjutkan, "gue rasa penulisnya menceritakan pengalaman cinta pertamanya saat dia masih kecil. Bagaimana sang gadis membuatnya mengenal apa itu cinta sama seperti dia mengenal alphabet. Tapi setelah dia semakin dewasa, dia jadi lupa seperti apa cinta itu dan lebih mempedulikan hal lain yang dia rasa lebih penting daripada cinta. Dia merasa hatinya mendadak berubah menjadi seorang kriminal sampai dia bisa menemukan cintanya kembali."
Farish mendengar pendapatku dengan seksama sambil mengangguk-angguk. Ia menopang ujung-ujung siku tangannya ke atas lutut kemudian saling mengaitkan jari-jarinya untuk bertopang dagu.
"Menurut gue, Edgar Allan Poe dalam puisi ini ingin menunjukkan kerja keras dan sulitnya mencari cinta sejati. When you discover romance, you lose your innocence." Farish mengambil pena di atas meja lalu mulai mencorat-coret lembaran kosong di buku. Ia menulis ulang puisi tersebut kemudian menyodorkannya mendekatiku.
"Kalau lo liat di bait pertama ini, bahasanya sangat optimis dan penuh dengan perasaan indahnya cinta sejati. Terus di bait kedua, menunjukkan ketika bagaimana kita menginjak usia semakin dewasa dan mulai mendapatkan berbagai pengalaman kalau cinta yang sesungguhnya gak selalu dipenuhi oleh hal-hal yang manis dan romantis. Romance and love often lead to pain and loss which is what Edgar Allan Poe was explaining. To find real romance is to lose the childlike, pure way we view love."
"I see. Cukup masuk di akal." Aku masih tidak bisa memahami ke arah mana pembicaraan ini berlangsung. Ku kira Farish mencoba menjelaskan padaku bagaimana ia melihat cinta dari sudut pandangnya.
"Jangan pernah kehilangan identitas diri hanya karena cinta yang hanya bisa lo liat, Queen. Jangan berusaha keras untuk mempertahankan cinta yang lo puja. Karena pada akhirnya, cinta itulah yang justru menenggelamkan lo nantinya. Lo harus bisa merasakannya untuk tau bagaimana cara memujanya. Lo harus bisa menyentuhnya supaya lo bisa mempertahankan sekaligus memperjuangkannya untuk selalu berada di sisi lo."
"Look who is speaking," cemoohku padanya. "Gue gak butuh saran apalagi nasehat dari lo, nerdy boy."
Ghada Farisha, semakin aku mengenalnya semakin ingin aku membuka kunci yang menggembok hatinya sehingga aku bisa melihat seperti apa sosok sebenarnya di balik kacamata tebalnya itu. He is like the poem that I needed to interpret and to read between the lines.
Your personality intrigued me, nerdy boy.
***
"Lo terlalu meremehkan gue, nerdy boy."
"I know." Gue tertawa pelan sambil menjawab perkataannya. "Tapi sejauh yang gue tau, lo gak pernah punya pengalaman dalam hubungan cinta. Lo memang cantik, populer dan banyak cowok di sekolah yang tergila-gila sama lo. Mungkin bukan hanya di sekolah, tapi di mana pun lo berada. Tapi apa lo pernah menjalin hubungan dengan salah satu di antara mereka, Queen? No, right?"
"I wonder." Jessica Veranda mengangkat bahu kemudian meluruskan kedua kakinya hingga ke bawah meja. "Gue kenal beberapa cowok yang pernah ngedeketin gue. Salah satunya Jody."
Gue kira Jessica Veranda akan kesal dengan komentar barusan, tapi gak di sangka justru meleset dari perkiraan gue. Dia hanya menatap gue seolah sedang mencoba untuk mencari tahu sesuatu di dalam diri gue, tentu aja dengan senyuman di wajahnya. Detik selanjutnya, senyuman yang gue lihat barusan berubah menjadi eskpresi lucu yang susah untuk gue lupakan di kali pertama gue melihatnya. Dia menggembungkan pipi kemudian meniup ujung-ujung poninya hingga beberapa helai rambutnya terangkat ke atas.
Aksinya ini membuat gue terhenti dan pada akhirnya gue menemukan diri gue sedang memperhatikannya. She is pretty, that's for sure. Mengingat pertama kali percakapan gue dengannya, dia dengan terang-terangan mengatakan hal itu dengan penuh percaya diri. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dia menjadi cewek paling populer dan diinginkan oleh semua cowok di sekolah. Tapi gue bukanlah tipe cowok yang menyukai seseorang karena penampilan luarnya. Bagi gue, cukup penting untuk melihat bagaimana 'isi' di dalamnya.
Tapi kemudian, gue gak bisa mengira-ngira kenapa gue bisa sampai terjerat ke dalam kehidupan cewek ini. Setelah semua yang sudah dia lakukan kepada gue. Mulai dari perlakuan gak mengenakkan yang gue terima karena dirinya sampai tingkahnya yang mengacuhkan gue. Gue bahkan gak menyangka kalau akan datang hari dimana gue berbicara dengannya. Sosok yang beberapa bulan lalu masih gue lihat dari kejauhan. Sosok yang tadinya begitu gak terjangkau dan sangat bertolak belakang dari gue.
"You are looking at me like that, because?" Veranda membuat gue gak bisa berkutik dengan pertanyaannya yang mendadak.
Untungnya gue cepat berpikir mencari jawaban yang pas untuk pertanyaannya. "Because it is still unbelievable to me. Gue heran apa yang cowok-cowok itu lihat dari lo. Jelas-jelas lo punya kepribadian yang over percaya diri dan agak kasar."
"That's love, nerdy boy. Mereka sudah tergila-gila dengan pesona gue. Lo bahkan belum melihat setengah dari itu. Or should I say, you haven't seen what Jessica Veranda is really capable of doing." Dia berbicara dengan nada penuh kebanggaan. Dia pasti merasa tersanjung dengan apa yang tadi gue katakan.
"Love is about take and give, Queen. Saat lo mencintai seseorang, lo akan menerima kekurangan sekaligus kelebihan orang tersebut. Bukannya justru menutupi kekurangan itu dengan hal yang lain."
"Lo sendiri yang bilang kalau gue harus mempertahankan dan memperjuangkan cinta. Menutupi kekurangan gue dengan kelebihan gue adalah bentuk dari mempertahankan. Bahkan jika gue menunjukkan kekurangan gue, gue yakin cowok-cowok itu gak akan berpaling dari gue." Dia menaikkan kedua alisnya mencoba menentang argumen gue.
"Such confidence coming from such a childish girl," komentar gue dengan nada sopan.
Gue langsung dengar dengusan kejengkelan darinya. "Such arrogance coming from.. From.."
Jessica Veranda mulai menggerutu sendiri. Bukan karena apa yang baru aja gue katakan padanya, tapi karena dia kekurangan kata-kata hinaan yang ingin dia ucapkan. Hal ini membuat gue hampir aja tertawa. Bukan hampir, tepatnya sudah meskipun gue berusaha menahannya sebisa mungkin.
"Annoying nerd," lanjutnya kemudian.
"Nice try, Queen. I really enjoy your stupidity and foolishness." Gue tersenyum selebar mungkin melihat pipinya yang kini bulat menggembung.
Jessica Veranda menatap gue dengan mata terbelalak lebar kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Seakan baru menyadari sesuatu yang membuatnya sempat tenggelam dalam alam bawah sadarnya. This girl is really 'something'. Bibirnya bergumam pelan mengucapkan sesuatu yang gak bisa gue dengar.
"Say what?"
"Nothing. You know nothing about me, nerdy boy." Dia lalu menoleh menatap gue dengan wajah memberengut. "Gue yakin, lo sangat menikmati setiap moment dimana lo bisa menghina gue dan melihat gue gak berdaya."
"Jadi lo merasa gak berdaya melawan gue, Queen?" Gue tersenyum simpul melihat reaksinya.
"You enjoyed torturing a girl!" tuduhnya lagi.
"No. Only if the girl is cute." Begitu kalimat itu keluar dari mulut gue, gue langsung merasa menyesal sudah mengatakannya.
Ekspresi kesal yang tadi terus ada di wajah Jessica Veranda perlahan menghilang. Wajahnya yang tadi mengeras berangsur-angsur melunak dan sebuah senyum mulai terbentuk dari bibirnya.
Damn this stupid mouth of mine!
Ini kali kedua dalam satu waktu gue memuji cewek itu. Pertama, gue mengatakan kalau dia cantik. Kedua, gue bilang kalau dia cute. This is not good. Dia pasti akan berpikiran yang tidak-tidak. Gue gak mau dia mengira kalau gue memang menganggapnya cantik dan cute. Dia pasti akan menggunakan itu sebagai senjata untuk melawan gue.
"Cute?" Dia bertanya dengan mata berbinar.
"Kalau lo lagi cemberut atau merengut, gue gak akan segan-segan bilang kalau itu cute. Tapi sekarang.." Gue sipitkan mata gue untuk meneliti wajahnya secara seksama. "Biasa aja."
"Lo sungguh luar biasa ngeselin, nerdy boy!" bentaknya.
"Nah, itu baru cute!" beritahu gue sengaja membuatnya untuk semakin murka.
Niat gue terbukti sukses dengan reaksinya yang memukul lengan gue dengan sebuah plakat dari kayu berbentuk panjang seperti piala. Ketika gue hendak merebut plakat itu darinya, dia langsung berdiri dan tangannya sudah bergerak cepat dengan menyembunyikan plakat tersebut ke balik tubuhnya.
Gue berjalan mendekatinya. "Jangan bertingkah kekanakkan dan kembaliin plakat itu ke gue, Queen. Mungkin bagi lo benda itu gak berharga, tapi bagi bokap gue, plakat itu-"
"No," tolaknya sambil menggeleng.
"Lo akan menyesal kalau gak segera nyerahin plakat itu ke gue."
"Ini cuma sebuah plakat, nerdy boy. Gue mau liat sampai sejauh mana usaha lo untuk dapetin benda ini," tantangnya.
Un-freakin-believable!
Gue gak percaya gue harus adu argumen hanya untuk sebuah plakat yang baginya gak penting. Plakat itu di dapat Papa langsung dari Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atas kerja kerasnya sebagai PNS Teladan. Setiap hari, Papa selalu membersihkan plakat itu dan merawatnya dengan sangat baik. Papa sengaja memajangnya di ruang tamu rumah kami sehingga setiap kali ada sanak saudara yang datang, dia bisa dengan bangga menunjukkan kepada mereka hasil dari kerja kerasnya selama ini.
"Gue punya banyak cara untuk rebut plakat itu dari lo, Queen."
"Gue justru semakin penasaran cara seper-"
Kalimatnya langsung terputus saat gue menarik lengannya dan membawa tubuhnya mendekati gue. Tangan gue yang lain menyelinap melingkari pinggangnya membuat jarak di antara kami semakin sempit.
Gue berdoa dalam hati supaya Firash dan Mama gak ke ruang tamu saat ini dan melihat posisi gue dan Veranda yang sedang gak mengenakkan seperti ini. Mereka pasti berpikir yang macam-macam dan mengira gue akan menyakiti cewek ini.
Gue memandang ke bawah pada Jessica Veranda dan langsung menyadari wajahnya yang memerah serta matanya yang terbelalak lebar. Dari jarak sedekat ini membuat gue benar-benar bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas.
Matanya berwarna kecoklatan seperti kayu mahoni yang kokoh. Matanya bersinar cerah layaknya matahari yang menerpa di kolam coklat. Manis dan membuat siapa saja yang melihatnya meleleh terpesona. Bulu matanya panjang dan lentik. Ada semburat kemerahan di kedua pipinya, entah karena sapuan make-up atau karena tersipu malu. Kemudian bentuk bibirnya yang tipis berwarna merah muda dan sedikit terbuka. Gue jadi bertanya-tanya apakah rasanya lembut selembut bentuknya.
Wah wah wah. Stop right now, Ghada Farisha! What am I thinking? Gue hampir aja terjebak oleh produksi hormon yang berlebih di dalam tubuh gue. Bagaimana mungkin gue membiarkan diri gue berpikir macam-macam dengan cewek ini?
Begitu tersadar, gue langsung melepaskan tangan gue dari Jessica Veranda lalu mundur selangkah. Gue nyengir lebar kearahnya mencoba untuk menutupi rasa gak nyaman yang mendadak melanda. Gue berharap dia gak berpikir yang bukan-bukan dan mengira gue mencoba untuk berbuat gak senonoh dengannya.
Untungnya, Jessica Veranda sepertinya gak berpikir demikian. Dia masih melongo menatap gue dan ekspresi shock masih terlihat jelas di wajahnya.
Gue ulurkan tangan gue mendekati tangannya yang memegang plakat yang beberapa detik lalu coba dia sembunyikan di balik tubuhnya. Mungkin karena kaget, plakat itu ia pindahkan di depan tubuhnya.
"I told you, Queen. Gue punya banyak cara." Gue tatap dirinya dengan penuh kemenangan.
Jessica Veranda berdeham kemudian melengoskan wajahnya dari pandangan gue, mencoba menghindari pandangan gue secara terang-terangan. "Gue benci sama lo," gumamnya.
"Bukannya keberadaan lo disini untuk ngebuat gue jatuh cinta sama lo? Lo harusnya menunjukkan sisi terbaik dari lo untuk membuat gue terkesan, Queen."
"Ya, tapi lo membuatnya terlihat seperti gue yang sedang dibuat jatuh cinta sama lo." Dia berbicara sambil memalingkan wajahnya ke arah gue dengan melotot tajam.
"Gue udah pernah bilang kalau bukan gue yang akan jatuh cinta sama lo. Tapi sebaliknya, justru lo yang akan jatuh cinta sama gue, Queen," goda gue padanya. Gue tahu kalau hal itu gak mungkin tapi gue sengaja mau membuatnya marah dan semakin kesal.
The Queen Bee is falling in love with The Ultimate Nerd? That's impossible. Gue hanya mencoba untuk menggertaknya.
"Hey, Queen."
"What?" jawabnya ketus.
"Ayo kita ubah sedikit taruhannya supaya jadi lebih menarik," tawar gue padanya. Sebuah ide mendadak terlintas di benak gue beberapa saat yang lalu dan menurut perkiraan gue, ide ini gak terlalu buruk.
"Lo mau ubah taruhan kita? Apa lo takut kalah dan akhirnya jatuh cinta sama gue, eh?" Dia kembali duduk sambil melipat tangannya di depan d**a.
"Bukannya justru lo yang takut kalah karena gak bisa menang melawan gue? Ini sudah lewat sebulan dan belum ada tanda-tanda kalau gue akan jatuh cinta sama lo, Queen."
Ucapanku sepertinya tepat sasaran. Jessica Veranda langsung mengubah posisi duduknya dan menggeram sambil mengepalkan tangannya.
"Fine. Sebutin apa yang mau lo ubah. Gue akan memikirkannya lagi setelah gue dengar usul lo."
"Gue akan memperpanjang waktu taruhan kita sampai ujian nasional nanti. Sebagai gantinya, kalau gue yang menang taruhan, lo harus dateng ke prom night sama gue."
"Impossible!!" Jessica Veranda langsung berdiri dari kursinya. "Gue gak akan pernah mau datang ke acara sebesar itu sama lo!"
"Jadi sekarang lo udah merasa kalah, Queen?" sindir gue sambil tersenyum simpul. "Tawaran gue gak buruk. Kalau lo yang menang, bukan cuma ngeluarin Jody dari sekolah, gue bisa bantu lo ngebuat Jody gak bisa ikut ujian."
Veranda terduduk di kursinya sambil menatap gue gak percaya. "What are you planning to do, nerdy boy? Gimana lo bisa ngebuat cowok b******k itu gak ikut ujian? Apa sebenarnya yang lo tau dan yang gue gak tau mengenai Jody?"
"Gue akan kasih tau lo nanti saat lo berhasil menang taruhan melawan gue, Queen," jawab gue kalem.
Untuk sesaat Sang Ratu terdiam. Mungkin memikirkan untung ruginya dari tawaran yang gue berikan padanya. Setelah beberapa menit berpikir, ia lalu berdeham kemudian mengulurkan tangannya kepada gue.
"Oke, deal."
"Deal." Gue sambut uluran tangannya untuk bersalaman.
This going and going more interesting. Gue gak pernah mengira kehidupan sekolah gue menjadi begitu menantang semenjak kehadiran Jessica Veranda Tanumihardja di hidup gue.
You will see Queen, Ghada Farisha never lose to anyone. I won't ever ever ever fall in love with you.
***