Sudah lima hari semenjak percakapan gue dengan Jessica Veranda di perpustakaan. Beberapa hari ke depan acara ulang tahunnya akan di laksanakan tapi Jessica Veranda justru semakin menjauh dan mengabaikan gue. Gue kira setidaknya dia akan rajin mengunjungi gue di perpustakaan mengingat dialah yang menginginkan gue untuk datang ke acara ulang tahunnya. Tapi ini justru sebaliknya. Gue bahkan gak melihat dia dimanapun. Aneh sekali.
Fashion show yang biasanya selalu dia lakukan bersama ketiga temannya setiap pagi bahkan sengaja dia abaikan setiap kali gue berada di koridor sekolah. Bukan cuma itu, setiap gue dan dia hampir berpapasan di lorong, dia dengan cepat berputar arah untuk menghindari gue.
Di hari pertama, gue masih bisa maklum dengan sikapnya. Mungkin dia memang gak mau terlihat terlalu sering bersama gue mengingat insiden pagi itu hampir membuat anak-anak satu sekolah meyakini kalau gossip yang sempat beredar mengenai gue dan dia saling tertarik itu benar adanya.
Tapi hingga hari kelima, hari ini, gue mulai semakin yakin kalau Jessica Veranda memang sengaja menghindari gue. Jika secara gak sengaja gue dan dia berpapasan saat anak-anak lain gak ada yang melihat, dia tetap aja mencoba pergi dari gue. Buru-buru menghindari kontak dengan gue.
Ya, awalnya gue ngerasa happy-happy aja dengan sikapnya itu karena pada akhirnya gue bisa bebas dari gangguannya. Tapi lama kelamaan sikapnya justru membuat gue risih dan mulai bertanya-tanya sendiri. Apakah perkataan gue sudah terlalu berlebihan kepada Jessica Veranda? Setiap kali dia melihat gue ekspresi wajahnya seolah sangat terganggu.
Did I say something too offensive?
Mungkin bicara gue sudah terlalu keras kepadanya. Ya meskipun dia terlihat seperti perempuan yang kuat, tapi tetap aja dia seorang cewek. Perasaan mereka jauh lebih peka daripada cowok. Seharusnya gue lebih bisa mengontrol apa yang keluar dari mulut gue sebelum mengatakannya kepada Jessica Veranda.
Should I apologize?
Tapi bagaimana gue minta maaf kalau dia aja terus menghindar dari gue? Dia bersikap seolah gue mengidap penyakit dengan virus berbahaya sehingga dia takut untuk berada di dekat gue. Kalau pun gue punya penyakit aneh, penyakit itu pastilah bernama Anti-Queen-Bee disease.
Istirahat siang, gue lagi berjalan menyusuri koridor menuju kelas Firash. Kebetulan gue melewati barisan kelas XI dan melihat Jessica Veranda sedang berdiri di depan kelasnya sendirian. Gue bergegas melangkah menghampirinya. Mulanya dia gak menyadari keberadaan gue. Tapi begitu dia melihat gue sedang berjalan ke arahnya, ekspresi panik langsung terlihat di wajahnya.
Gue bisa melihat dia mulai berdebat dengan dirinya sendiri apakah harus terus berdiri disana dan menyambut kehadiran gue atau justru menghindar dan berbalik pergi. Gue kira dia akan pilih opsi yang kedua. Tapi di luar dugaan, dia justru tetap berdiri di tempatnya sambil bersandar pada dinding dengan dagu terangkat tinggi-tinggi serta mata yang sama sekali gak menatap ke arah gue.
Ingin sekali gue mencekal tangannya saat ini juga tapi gue kembali sadar kalau koridor lagi ramai dengan anak-anak yang lalu lalang. Gue bisa dihabisin oleh penggemarnya kalau gue beraksi seperti itu. Jadi alih-alih melakukannya, gue cuma bisa nahan keinginan gue itu dalam-dalam sambil melirik ke arahnya yang pura-pura gak menyadari kehadiran gue sama sekali.
Bukannya gue kesal karena sikapnya, tapi ini pertama kalinya dia mengacuhkan gue. Semenjak gue dan dia mulai saling 'berbicara' satu sama lain, paling enggak dia selalu kasih gue cengiran lebar atau pandangan sekilas setiap kali kami berpapasan. Tapi sekarang? Gak ada sama sekali.
Dasar perempuan. Mereka benar-benar membingungkan dan sulit ditebak. Sesekali mereka menganggu dan mendadak mereka menjauh. Gue gak akan pernah mengerti bahasa dan gerak tubuh mereka sekeras apapun gue mencoba. Mereka selalu penuh misteri dan kode-kode. Mereka ingin dimengerti tapi gak mau mengatakan apa yang mereka inginkan secara gamblang. Mereka ingin selalu di puja dan di sanjung tapi gak terima dengan rayuan dan gombalan. Mereka ingin selalu diperhatikan dan dilindungi tapi selalu marah dan merasa dikekang.
Complicated, right?
Gue tiba di depan kelas Firash dan melihat seorang cewek tengah berdiri tepat di ambang pintu. Dari gerak tubuhnya terlihat jelas kalau dia ragu untuk masuk ke dalam. Karena dia menghalangi jalan gue, gue tepuk bahunya sehingga membuat dia berbalik kaget manatap gue.
"Y-ya?" tanyanya gagap.
"Lo ngehalangin jalan gue."
"O-oh.. Sorry." Cewek itu mundur selangkah memberikan jalan untuk gue lewat. Gue sempat memperhatikan wajahnya sekilas. Cantik. Rambutnya lurus panjang hingga sepunggung. Bibirnya merah dan merekah dengan sempurna. Kulitnya juga putih. Gue yakin pernah melihat dia sebelumnya. But, where?
Begitu gue masuk kelas, gue gak menemukan Firash di bangkunya. Kemana dia? Gak biasanya Firash pergi tanpa menunggu kedatangan gue lebih dulu. Meskipun cewek itu punya kaki yang pendek, tapi dia bukanlah orang yang memang bisa diam di satu tempat.
"Anu.. Lo cari Firash kan?" Cewek yang tadi berdiri di depan pintu kelas mendadak menghampiri gue.
Gue ganti menatapnya dengan bingung. "Ya, lo siapa?" Meskipun gue yakin pernah melihat cewek ini, tapi tetap aja gue gak mau bersikap pura-pura kenal dan akrab dengannya.
"Lo pasti lupa. Gue Shinta Naomi. Anak baru di kelas XI IPS 3. Kita sering papasan tiap pagi." Cewek itu tersenyum sambil menjulurkan tangannya ke arah gue.
Gue baru ingat sekarang. Kelasnya dan kelas gue saling berhadapan. Pantas aja gue merasa pernah melihatnya. Gue bahkan cukup terkejut karena dia tahu nama gue. Jangan bilang karena gossip aneh dengan Queen, gue mendadak jadi populer dan dikenal banyak orang.
Gue melirik sekali lagi ke tangan halus yang masih terjulur itu dan buru-buru menggenggamnya. "Gue Ghada Farisha." Gue lepaskan jabatan tangan kami lalu kembali bicara, "uhm, Shinta.. Right? Dari mana lo tau-"
"Panggil aja Naomi."
"Sorry, Naomi.. Jadi, dari mana lo tau kalau gue nyari Firash?"
"Adek gue, Sinka, kebetulan sebangku sama Firash. Sebelum mereka pergi ke kantin, Firash titip pesan ke gue untuk nyampein ke elo kalau dia mau makan siang bareng Sinka. Gue nunggu lo dari tadi disini. Tadinya gue mau nunggu lo di dalam kelas aja. Tapi gue ngerasa gak enak duduk sendirian disana," jelasnya.
Gue mulai paham sekaran. Itulah alasan mengapa cewek ini terus berdiri seperti orang bingung di ambang pintu. Gue jadi merasa sedikit gak enak karena sudah membuatnya menunggu cukup lama. Urusannya pasti banyak. Menyia-nyiakan waktu istirahatnya hanya untuk menyampaikan pesan Firash membuat gue menjadi merasa sedikit bersalah.
Sepertinya gue harus meminta Papa untuk memberikan Firash handphone lain kali. Supaya lebih mudah untuk menghubungi gue. Dia sudah cukup umur untuk memilikinya. Dan dia gak akan merepotkan orang lain lagi demi menitipkan pesan ke gue.
"Sorry, gue tadi telat karena harus ngurus beberapa keperluan di kantor guru."
"Gak apa-apa. Gue juga lagi gak sibuk," jawabnya sambil tersenyum. "Kalau gitu gue.. Balik ke kelas dulu."
"Mau gue anterin? Kelas kita searah." Gue berinisiatif menawarkan diri menemaninya. "Gue juga kebetulan mau ke kelas."
Sebagai jawaban, Naomi hanya tersenyum lalu mulai berjalan berdampingan bersama gue. Gue memang bukan cowok yang peka, tapi gue tahu masih ada sesuatu yang ingin disampaikan Naomi melihat dari gerak dan bahasa tubuhnya yang gelisah.
"Ada yang mau lo sampaikan lagi ke gue? Apa ada pesan Firash yang lainnya?" Gue akhirnya bertanya setelah melihat cewek itu masih gelisah.
"Eh?" Terkejut, Naomi mendongakkan sedikit kepalanya menatap gue lalu buru-buru menggeleng. "Bukan.. Ini persoalan yang lain." Setelah itu ia menunduk kemudian kembali memandang lurus ke depan. "Gue denger dari Firash kalau lo.. Lo jago bahasa Inggris."
"Firash terlalu berlebihan," sahut gue pelan. Kami sudah cukup jauh berjalan menjauhi kelas Firash dan gue mulai merasakan anak-anak yang kebetulan berpapasan dengan gue dan Naomi di koridor mulai sibuk memperhatikan gue sambil berbisik-bisik. Apa ini cuma perasaan gue aja?
"Gue.. Gue tertarik dengan sastra Inggris dan berencana untuk kuliah di jurusan itu." Naomi berbicara dengan penuh rasa optimis. Dia baru menginjak kelas XI dan sudah tahu kemana akan melanjutkan pendidikannya. Gue cukup salut sama jalan pikirannya.
"Lo bisa tanya apa pun mengenai bahasa Inggris ke gue. Kalau gue bisa, pasti akan gue bantu semampu gue."
"Benarkah?" Naomi kembali berpaling menatap gue dengan ekspresi senang. "Apa beneran gak apa-apa kalau gue nanya ini itu sama lo? Apa gue gak akan ngeganggu waktu lo?"
"Gue akan senang hati bantu lo. Lo bisa temuin gue di perpustakaan setiap istirahat atau pulang sekolah. Kalau gak berada di kelas Firash, gue selalu berada disana."
Naomi mengangguk. Kami saling berdiam cukup lama hingga akhirnya tiba di depan pintu kelasnya.
"Thanks udah anterin gue," ucapnya sambil kembali melempar senyum ke gue.
"Thanks juga udah sampein pesan Firash buat gue."
Naomi mengangguk sambil tertawa kecil. Setelah melambaikan tangannya sebentar, ia lalu berbalik dan berjalan memasuki kelasnya.
Sementara gue? Gue balik ke kelas gue dan duduk disana sambil membaca buku, menunggu jam istirahat selesai. Tapi baru 5 menit gue duduk, Jordan tiba-tiba datang dan merebut buku yang lagi gue baca. Wajahnya terlihat khawatir sekaligus sedih.
"What's your problem, man?" Gue langsung bertanya ketika Jordan sudah duduk di samping gue.
Jordan menggeleng lemah sebelum menjawab, "Miss Badai is sad."
Again? What's with these people nowadays? Is it just me or does anyone here who doesn't see her as The Royal Highness?
"Apa lo gak bisa berhenti untuk kepoin dia? Lo bener-bener ngebuat gue mau muntah." Gue rebut kembali buku di tangannya lalu membuka halaman yang tadi gue baca.
"Kenapa dia sedih? Apa dia ribut sama keluarganya di rumah? Apakah ada seseorang yang meninggal?" Jordan mulai mengeluarkan hipotesanya mengenai berbagai kemungkinan yang menimpa Jessica Veranda tanpa bisa gue gubris.
Gue gak mengerti kenapa Jordan begitu peduli dengan cewek itu. Gue juga gak mengerti kenapa gue ikut-ikutan latah memikirkan cewek itu. Meskipun dia kelihatan baik-baik aja dan tetap tertawa-tawa dengan teman-temannya, tapi gue tahu ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Beberapa kali berinteraksi dengan Queen membuat gue cukup tahu apa yang coba disembunyikannya di balik topeng itu.
Gak seorang pun yang menyadari keanehan ini. Bahkan teman-temannya. Mereka tetap sibuk berbicara dan menertawakan hal gak jelas yang menurut gue pasti mengenai gossip-gossip gak bermutu di sekolah. Tapi yang membuat gue heran, bagaimana Jordan bisa menyadarinya? Damn. He must be the only one creepy fan of Queen. Jordan bahkan gak pernah bercakap-cakap dengan Jessica Veranda. Tapi disinilah dia sekarang, sibuk mencemaskan The Queen Bee.
Jordan tiba-tiba aja memukul meja dengan tinjunya sehingga membuat gue kaget dan refleks menjatuhkan buku yang gue baca. "Seseorang pasti udah mengatakan sesuatu yang kasar dan membuat Yang Maha Elok sedih!"
What the hell?
Gue hampir aja mati jantungan karena hipotesa Jordan yang nyaris sempurna! How he can think like that? How?
"What's wrong with you, meeen? Did I surprise you? Fabulous.. Fabulous!!" serunya sambil tertawa-tawa menirukan tokoh bernama Jarjit di salah satu serial kartun anak-anak asal Malaysia.
"What a good friend I have here!"
"What do you expect me to do meeen? Kita memang sahabat, tapi bukan berarti gue gak bisa ngetawain lo. Ekspresi lo barusan bener-bener unik meeen. Hilarious!"
"b******k! Lo harusnya.." Gue sengaja mendadak berhenti berbicara dan menatap ke arah jendela. "Look! Jessica Veranda lagi nangis disana!"
"Apa? Dimana? Kenapa?" Jordan berbalik dan celingukan menatap keluar jendela. Hampir aja dia bangkit dari kursinya kalau gue gak cepat menarik tangannya untuk kembali duduk.
"This i***t!" Gue pukul punggungnya sehingga membuat dia berbalik menghadap gue. "Veranda nangis lo langsung heboh dan khawatir, sahabat lo hampir mati jantungan disini lo malah ketawa-tawa."
"C'mon meeen.. Lo mau gue kasih nafas buatan untuk lo? Sedekat-dekatnya kita sebagai sahabat, gue gak akan pernah ngelakuin hal menjijikkan seperti itu."
Gue baru mau membalas ucapan Jordan ketika gue melihat Jessica Veranda berjalan melewati koridor kelas gue. "Tunggu sebentar disini." Setelah meninggalkan Jordan dengan wajah bingung, gue berlari keluar kelas berusaha untuk mengejar Queen.
Gue harus tahu kenapa dia menghindari gue. Gue butuh jawaban. Selama berhari-hari dia membuat gue bingung dengan tingkahnya. Sayang, begitu gue sudah di koridor, sosok yang gue cari itu lagi-lagi menghilang. Mungkinkah gue salah lihat?
Gue kemudian berjalan ke arah dimana tadi Queen menghilang. Hanya ada laboratorium Bahasa disana. Mungkinkah dia masuk ke ruangan itu? Tapi kenapa? Jessica Veranda yang gue kenal gak akan masuk ke ruangan itu di luar jam pelajaran berlangsung.
Ketika gue masuk, beberapa anak dari Klub Theater sedang duduk menonton sebuah film lama. Gue gak tahu apa judulnya tapi dari layarnya yang hitam putih dan penuh dengan bintik-bintik, gue yakin film ini dibuat jauh sebelum gue lahir.
Dan pada akhirnya, disanalah gue melihat Queen. Dia duduk bersembunyi di bangku paling ujung di sudut ruangan, sengaja menjauh agar tidak terlihat yang lain. Dia duduk sendirian sambil mengamati film yang sedang di putar. Gue gak tahu jika Jessica Veranda tertarik dengan film jadul.
Dalam remang-remang ruangan yang hanya ada cahaya dari layar lebar di depan, wajah Jessica Veranda terlihat serius menikmati setiap alur dari cerita yang ditayangkan. Salah satu tangannya tegak menopang dagunya. Dan yang membuatku cukup terkejut, ia mengenakan kacamata berbingkai hitam. Satu-satunya hal yang tidak pernah dilakukannya di depan banyak orang.
Damn. Kenapa tiba-tiba aja semua yang berkaitan dengannya menjadi perhatian gue? Sepanjang yang gue tahu, gue seharusnya gak memikirkan sedikit pun tentang dirinya. Tapi sekarang, semua tindakannya menjadi urusan gue. Seperti sudah jadi kewajiban bagi gue untuk tahu semua kegiatan dan keadaannya.
Hati-hati, gue berjalan mendekatinya tanpa menimbulkan suara. Dia masih gak menyadari keberadaan gue dan tetap fokus memandang layar hingga akhirnya gue duduk di sampingnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kaget begitu menoleh melihat gue. Dia jelas-jelas gak mengira akan kehadiran gue di sampingnya. Dari wajahnya, terlihat jelas kalau dia ingin sekali beranjak pergi dan menjauh dari gue.
Gue melihat dia mengerutkan kening seperti sedang bergulat dengan pikirannya hingga pada akhirnya memutar kedua bola matanya lalu kembali berpaling menatap lurus ke layar. Menganggap kehadiran gue seolah gak ada dan gak penting baginya.
Gue ikut menatap lurus ke layar tapi pikiran gue penuh dengan sikap anehnya Jessica Veranda. Gue mencuri pandang sekilas ke arahnya dan di luar dugaan, ternyata dia juga melakukan hal yang sama. Gue tersenyum kearahnya begitu mata kami bertemu, tapi dia cepat-cepat memalingkan wajahnya dari gue.
Something is wrong and I have to figure it out.
Gue raih robekan kertas dari atas meja kemudian mengambil pena yang selalu terselip di saku baju seragam gue dan mulai menuliskan sesuatu untuknya.
What's wrong?
Gue geser kertas itu ke arahnya, cukup dekat untuk bisa dibacanya dengan jelas.
Jessica Veranda melihat kertas itu sejenak kemudian memberi gue tatapan penuh pertanyaan. Gue geser lagi kertas itu kearahnya memberi tanda supaya dia membalasnya.
Dia memutar matanya, menurunkan tangannya dari bawah dagu kemudian menggembungkan pipinya tanpa sadar sambil meniup ujung-ujung poninya. Setelah dia mengambil kertas tersebut dan menuliskan sesuatu di atasnya, dia menggeser kertas itu kembali mendekati gue. Jawabannya sangat singkat.
Nothing.
Gue mendesah begitu membaca tulisan pendek itu. Gue tahu ada sesuatu yang salah dan gue harus tahu apa itu. Gue bisa merasakan bahwa kejadian di perpustakaan beberapa hari lalu lah penyebabnya. Gue hanya perlu mencari tahu apa yang sudah gue lakukan sehingga membuatnya jadi seperti ini.
Elo sengaja menghindar dari gue, Queen.
What? Of course I'm not!
Gue lagi-lagi mendesah baca jawaban dari Queen. Gue melirik kearahnya sekali lagi tapi kali ini dia sama sekali gak membalas lirikan gue. Setelah kembali menulis jawaban untuknya, gue geser lagi kertas itu mendekatinya.
Gue tau lo BOHONG. Bahkan tulisan lo mengatakan hal itu.
Gue gak bohong!!!!
Gue hampir aja ketawa membaca balasan darinya. See, she is being too defensive again. Gue ingin sekali menggodanya tapi niat itu segera gue urungkan. Ini bukan saat yang tepat untuk melakukannya dan hanya membuat semuanya semakin buruk.
Gue lirik, lagi, Jessica Veranda dan menyadari kalau ternyata dia sedang menatap gue dengan pandangan yang menusuk. Mungkin gue harus mengubah sedikit pertanyaan gue.
Apa gue ngelakuin sesuatu yang ngebuat lo sampe bersikap aneh seperti ini saat kita di perpustakaan?
Nice try Farish. Setelah membaca tulisan itu, Veranda lantas menatap ke arah gue. Ekspresi wajahnya berubah sangat serius. Perhatiannya lalu kembali terarah ke kertas tadi dan dia terdiam cukup lama. Seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Dia memperhatikan tulisan itu kembali sambil mengusap-usap keningnya. Gak lama, dia akhirnya menuliskan sesuatu dan menggeser kertas itu kembali pada gue.
No. Nothing, nerdy boy.
Tanpa menunggu balasan dari gue, Jessica Veranda bangkit dari kursinya dan buru-buru pergi meninggalkan gue yang masih terpaku menatap tulisan tangannya. Was she running from me? Again?
***
Aku mungkin gadis paling menyebalkan yang hidup di dunia. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun selain melakukannya. Aku melakukan ini bukan karena aku yang menginginkannya. Aku seperti ini karena aku memang harus melakukannya. To save myself!
What is that nerdy boy thinking about me right now?
Well, aku menghindarinya bukan karena alasan yang tidak jelas. Aku punya alasan yang sangat amat jelas. Aku tidak ingin melihat wajahnya. Aku tidak ingin mendengar suaranya. Aku tidak ingin mencium aroma apapun yang keluar dari tubuhnya. Aku tidak ingin merasakan perasaan menjengkelkan ini muncul setiap kali aku menatap matanya. Dan yang terburuk, aku kecolongan dengan membiarkannya menghampiriku di laboratorium bahasa tadi siang!
Aku sedang berada di kamarku sekarang, mengingat-ingat apa yang sudah kulakukan pada Farish beberapa hari belakangan ini. Aku rasa aku memang agak keterlaluan kepadanya. Tapi bukan salahku jika aku bersikap seperti ini padanya.
Aku mengguling-gulingkan tubuhku di atas kasur sambil mengingat kembali kejadian siang tadi. Aku sangat kaku dan gugup saat itu. Aku mencoba untuk menghindari kontak mata dengannya tapi usahaku sama sekali sia-sia. Aku tidak bisa menahan diriku untuk mencuri pandang padanya tanpa menyadari dia juga melakukan hal yang sama.
He was looking at me! He even smiled at me!
Saat itu aku merasa jantungku mendadak berhenti dan tubuhku serasa terjungkir balik dibuatnya. Aku cepat-cepat mengalihkan tatapanku darinya takut dia menyadari rona merah di wajahku akibat malu yang tidak tertahankan.
What have you done to me, Ghada Farisha? Why am I feeling like this? Why?
Aku kembali mengingat 'the talking note' yang kami lakukan siang tadi. "Elo mau tau apa yang salah? ELO! ELO YANG SALAH, GHADA FARISHA!! You're the definition of wrong in my dictionary!! Bagaimana lo bisa.. Bagaimana lo bisa ngebuat gue ngerasa bingung dan gak jelas hanya dengan ngeliat lo?!! Bagaimana lo bisa ngebuat hati gue berguncang hanya karena sebuah senyuman?! WHY!!!" teriakku sendirian di dalam kamar.
What was happening to me?
Aku adalah Jessica Veranda Tanumihardja. It Girl, The Queen Bee, Miss Popular, Princess, Miss Perfect, Badai, Yang Maha Elok, Goddess, Angel, Her Royal Highness, Dewi Sekolah dan masih banyak lagi julukan menakjubkan lainnya yang diberikan padaku tanpa bisa ku ingat satu demi satu. Seseorang seperti aku, Jessica Veranda, mendadak stress seperti ini hanya karena seorang The Ultimate Nerd!! How come?! Aku bahkan tidak pernah memberi perhatian lebih pada seseorang dengan status yang jauh di bawahku.
Apa yang harus kau lakukan Jessica Veranda? Kau sudah menyelam terlalu jauh dalam masalah ini. Jika taruhan ini diteruskan, kau akan..
No! No! No! Aku tidak akan membiarkan diriku jatuh ke dalam perasaan semacam itu. Inilah alasan mengapa aku menghindari Ghada Farisha beberapa hari ini. Aku tidak akan mengorbankan status sosialku hanya demi perasaan aneh ini.
Elo sengaja menghindar dari gue, Queen. Gue tau lo BOHONG. Bahkan tulisan lo mengatakan hal itu.
Beberapa baris tulisan itu kembali hinggap di otakku. Bagaimana Farish bisa melihat dengan mudah apa yang terjadi di dalam pikiranku? Perkataannya selalu tepat sasaran. Bagaimana dia bisa menyadarinya hanya dengan melihat tulisan tanganku? Apakah aku menulisnya sedikit miring atau terlalu besar? Rasanya sama saja.
Aku sandarkan punggungku di kepala ranjang dengan beralaskan bantal sambil menatap lurus ke arah jaket hoodie berwarna abu-abu yang tergantung disana. Sudah 5 hari jaket itu berada di kamarku. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersipu setiap kali aku melihat jaket tersebut sambil mengingat moment dimana Farish menyampirkan jaket tersebut ke tubuhku.
Aku tidak pernah bertemu seseorang seperti Farish sebelumnya yang masih berpikiran konservatif mengenai gaya berbusana. Di zaman sekarang, biasanya laki-laki lebih menyukai seorang gadis dengan pakaian sexy dan fashionable.
But, again, this is Ghada Farisha we are talking about. He is different than any man I know. He believes that girls should wear something decent, proper and nice to be respected. And I want to be respected, BY HIM.
Setelah kejadian hari itu, aku mulai untuk belajar memahami jalan pikirannya. Aku mulai memilah-milah mana pakaian yang aku kenakan dan mana pakaian yang dia suka. Aku bahkan membutuhkan waktu cukup lama di dalam walk-in closet hanya untuk memilih pakaian mana yang cukup sopan yang bisa aku kenakan.
Aku memang sengaja lekas-lekas keluar dari laboratorium bahasa siang tadi. Aku takut jika aku berlama-lama bersamanya, dia akan mengetahui apa yang sedang terjadi pada diriku. He is smart. Dia akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa aku, Jessica Veranda, mulai memiliki perasaan khusus padanya.
Aku benar-benar takut tidak bisa menahan diri. Aku takut jika nanti perasaan ku mendadak meluap-luap jika semakin lama berada di dekatnya. Aku takut tidak bisa mengunci rapat mulutku dan langsung mengatakan tiga kata sakti itu padanya.
Jadi sebelum semua itu terjadi.. Sebelum terlambat.. Aku lebih baik memutuskan semua komunikasi dengannya. Aku harus kembali menjadi diriku yang sebelumnya. Jessica Veranda Tanumihardja, The Queen Bee. Aku harus mengembalikan kepercayaan diriku kembali agar bisa menghadapinya dengan dagu yang terangkat tinggi.
"Jessie, lo mau ikut gue keluar malam ini?" Judith menerobos masuk kamarku dengan berpakaian lengkap. Mini dress dengan high heels hitam.
"Where?"
"Salon. Gue tau lo lagi ada masalah. Lo teriak-teriak gak jelas dari tadi. Lupain sebentar masalah lo and let's do girlish things. Sekalian manjain tubuh sebelum birthday party lo nanti."
This is it! Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya? Seharusnya aku mengisi waktuku dengan memanjakan diri daripada memikirkan cowok nerdy yang terus mengusik pikiranku.
"Judith, lo genius!"
***