The best feeling is when you look at him and he is already starring.
Mungkin ungkapan itulah yang saat ini cocok untuk situasi ku sekarang. Sudah setengah jam yang lalu aku sengaja duduk di kursi yang terletak paling pojok di ruang perpustakaan sembari menunggu Ghada Farisha menyelesaikan diskusi kelompok belajarnya dengan beberapa orang anak kutu buku lainnya.
Setiap kali aku mencuri pandang ke arahnya, The Ultimate Nerd itu ternyata sudah lebih dulu menatapku melalui kacamatanya. Mungkinkah pada akhirnya Ghada Farisha takluk dengan pesonaku? Seingatku, tadi pagi aku sudah gagal total dalam melancarkan jurus flirting padanya.
Berkat pertolongan sahabat-sahabatku, aku akhirnya bisa mengetahui semua aktivitas Farish setiap kali berada di lingkungan sekolah. Di jam-jam pelajaran biasanya dia selalu berada di kelas. Saat istirahat di hari Senin dan Selasa dia akan berada di kelasnya membaca buku. Di hari Rabu dan Jum'at dia akan berada di perpustakaan saat jam istirahat untuk belajar bersama anggota Klub Sains. Di hari Kamis dan Sabtu, Farish akan mengunjungi kelas adiknya. Setiap hari selama pulang sekolah, Farish akan selalu mengunjungi perpustakaan selama kurang lebih setengah hingga satu jam untuk kembali membaca buku. Rutinitas yang membosankan, menurutku.
Setelah menunggu cukup lama hingga jam istirahat hampir saja berakhir, aku akhirnya mulai kehilangan kesabaranku. Sampai kapan kegiatan belajar bersama ini selesai? Apakah tidak cukup mereka belajar seharian? Haruskah belajar lagi di jam istirahat yang seharusnya digunakan untuk bersantai-santai di kantin sambil makan sesuatu? Apakah Farish dan gerombolan anak-anak nerd itu tidak kelaparan sama sekali? Tidak lelah? Perutku sendiri sudah keroncongan sejak beberapa menit yang lalu. Tidak pernah terpikirkan di dalam anganku untuk menunggu seseorang. Merekalah yang seharusnya menunggu diriku, bukan sebaliknya.
Ok, stay cool Jessica Veranda. Ingat, ini demi kesuksesan rencanamu untuk mengeluarkan Jody dari sekolah dan membuat cowok nerdy itu mendapat pelajaran yang setimpal. Tidak ada seorang pun yang tidak menyukaiku. It isn't just about Jody anymore, this time, it's about my dignity.
Rencana untuk membuat Farish jatuh cinta dengan pesona yang kumiliki sudah aku mulai sejak pagi tadi. Meskipun rencana tersebut akhirnya gagal tapi aku yakin rencana selanjutnya pasti akan berhasil. Kibas rambut, kedip mata dan senyum sepertinya kurang cocok untuk memikat Farish yang bermata empat. Wajar saja jika ia tidak begitu mempedulikan semua gerakan yang aku buat, untuk membaca buku saja ia masih kesulitan.
Untuk rencana kali ini sudah kuperhitungkan sedemikian rupa. Aku yakin Farish akan mengeluarkan air liurnya begitu melihatku dari dekat. Who wouldn't, right? Aku mungkin terlalu menganggap remeh dirinya. Tapi penampilanku kali ini pasti akan membuatnya jatuh dalam perangkapku.
Aku sengaja mengganti seragam sekolah ku dengan ukuran yang paling kecil sebelum berkunjung ke perpustakaan. Sebenarnya ini seragam sekolah ku tahun lalu. Dengan mengenakannya, aku yakin bentuk tubuhku yang proporsional terlihat dengan jelas. Peraturan SMA Global Persada yang terlalu ketat lah yang membuatku tidak bisa dengan bebas memakai seragam yang press body seperti ini.
Tidak hanya seragam sekolah, aku bahkan menghias wajahku dengan berbagai perlengkapan make up. Aku menyapu kedua pipiku dengan blush on pink, menghias kedua mataku dengan maskara dan eyeliner sehingga membuatnya terlihat lebih hidup dan bersinar serta mengoleskan lipstik merah ke bibir.
Aku semakin terlihat seperti finalis Asian Next Top Models atau salah satu dari Victoria's Secret Angels. Biasanya aku tidak pernah berdandan hingga sejauh ini demi seorang laki-laki. Even without make up, I am still the perfect epitome of hotness and beauty all combined into one.
Untuk menyiapkan penampilan yang kuberi nama to-die-for-look ini, aku dibantu oleh ketiga sahabat setiaku. Aku tahu seharusnya aku tidak perlu berlebihan dan berusaha keras dalam menyiapkan semua ini karena pada dasarnya aku sudah terlahir dengan kecantikan yang natural. But, then again.. Farish is very hard to please.
Tapi sekarang aku sangat yakin jika Farish akan sangat terpukau dengan penampilanku. He better be! Aku beritahu sekali lagi, aku tidak pernah berusaha keras berdandan hingga seperti ini demi seseorang, bahkan demi orang yang kusuka sekali pun.
Setelah beberapa menit menahan perut yang merengek untuk minta di isi sambil duduk gelisah di kursiku, sesi belajar bersama Klub Sains akhirnya selesai. Hampir satu jam! Bel istirahat bahkan akan berakhir beberapa menit lagi. Tidak bisa di percaya seorang Jessica Veranda Tanumihardja sengaja membuang waktu istirahatnya yang sangat berharga demi menunggu seorang nerd!
Aku kembali melirik ke arah Farish. Anak-anak Klub Sains yang tadi mengelilinginya mulai pergi satu persatu hingga tersisa Farish seorang diri. Ia masih sibuk membaca sambil sesekali membolak-balikkan beberapa lembar halaman buku.
Ini saatnya, Jessica Veranda!
Aku bangkit dari kursi lalu mulai berjalan ke arahnya. Sambil melangkah dengan gaya yang kubuat se-anggun mungkin, kukibaskan rambutku yang tergerai panjang sehingga membuatnya tampak semakin memukau di mata Farish. Mendengar langkah sepatuku yang mendekat, Farish mendongak dari buku yang dibacanya kemudian menatapku.
"Apa yang ngebuat lo datang ke perpustakaan di jam-jam kritis seperti ini Queen?" tanyanya lalu kembali menunduk membaca buku.
Stay cool Jessica Veranda. Mungkin Farish belum melihat dengan jelas penampilanmu dari jarak ini. Keep calm.. Keep calm and be sweet.
"Gak usah khawatir, anak-anak Klub Sains gak ada yang tau kalau lo terus menerus memperhatikan dari tadi." Dia berbicara dengan tenang seolah sudah mengetahui apa yang sedang kurencanakan.
"How did you kno-"
"I'm not blind Queen. Sejak gue masuk ke perpus, lo sudah ada disini dan terus ngeliat ke arah gue."
Mendengar kalimatnya, aku langsung merasa panik. Bagaimana dia menyadari bahwa aku memang menunggunya sejak tadi? Mungkinkah Farish juga sudah mengetahui rencana yang sudah kupersiapkan secara matang ini? Rasanya mustahil.
"Gue gak ngeliat ke arah lo! Gue cuma kebetulan ada disini karena ada tugas sekolah yang harus gue kerjain. Apa yang ngebuat lo berpikir begitu? Lo terlalu percaya diri."
"Begitukah? Gue bukan orang bodoh Queen. Gue tau lo sengaja duduk di pojokan sana supaya bisa dengan bebas merhatiin gue," ucapnya masih tanpa memandang diriku.
"Gue bilang, gue gak merhatiin lo!" Aku bergerak semakin maju mendekatinya.
"Okee.." Farish mengangguk kemudian menoleh ke arahku. "Jadi apa yang lo kerjain di per-" Kalimat Farish mendadak terhenti. Matanya dengan seksama memperhatikan aku dari atas hingga ke bawah. Aku bisa melihat ekspresinya kaget dan terpana oleh penampilanku.
So, Farish is not that hard to please after all.
"Lo bilang apa?" Aku bertanya dengan senyum yang kurasa paling manis yang pernah kutunjukkan padanya.
Farish menutup buku yang dibacanya lalu menatap dalam-dalam kearahku. Ia mengusap dagunya sambil memiringkan kepalanya seolah sedang mencoba untuk memberikanku penilaian.
Nikmatilah pemandangan ini sepuasnya Ghada Farisha. Aku tahu bahwa nerd sepertimu tidak bisa menahan diri dari pesona dan kharisma yang Jessica Veranda miliki.
"Gue baru sadar kalau lo punya ukuran d**a yang lumayan besar. Pinggul lo juga seksi dan bohay. Lo punya paha yang mulus dan kaki yang panjang. Gue yakin kalau paha lo sama lembutnya dengan.."
"What? Dasar m***m!! Pervert!!" Aku langsung menutupi bagian dadaku dengan kedua tangan. Aku tidak mengira ternyata diam-diam Farish memiliki otak yang sangat kotor.
What was this nerdy boy thinking?! Dia sama sekali tidak punya tata krama dalam menghormati wanita!
Farish tersenyum kecil sambil mengusap ujung hidungnya. "Lo sendiri yang dengan sengaja dan bebas nunjukinnya ke depan muka gue. Jadi, apakah salah kalau gue kasih sedikit komentar? Seragam yang lo pake itu terlalu.."
"Shut up! Gue gak mau denger komentar-komentar vulgar dari mulut lo! Apa lo sama sekali gak punya respect terhadap cewek?!" desisku jengkel. Emosiku mendadak meluap dan aku yakin tubuhku sudah siap untuk menerjang cowok nerdy di hadapanku ini.
Farish benar-benar membuatku marah. Dia benar-benar membuatku jijik. Dia lebih b******k daripada Jody. Kalimat yang diucapkannya tadi secara tidak disadarinya membuat aku merasa dilecehkan secara verbal!
Bukannya meminta maaf, Farish justru terkekeh geli. Ia lalu bangkit berdiri kemudian melepaskan jaket jenis hoodie berwarna abu-abu yang selalu dikenakannya selama di sekolah.
"Lo.. Lo.. Mau ngapain?" Aku tersurut mundur begitu Farish berjalan mendekatiku. "Jangan berani macem-macem sama gue, Ghada Farisha! Gue akan teriak sekarang juga biar semua orang.."
Bukannya berhenti, Farish justru semakin melangkahkan kakinya hingga berjarak beberapa centimeter dariku. Refleks, ku tutup kedua mataku rapat-rapat dan mulai membayangkan hal paling buruk yang sebentar lagi akan terjadi padaku.
Oh My God! Aku menyesal sudah mengikuti saran sahabat-sahabatku untuk menemuinya secara pribadi di perpustakaan seperti ini. Tidak seharusnya aku berada disini dengan cowok nerdy ini. Aku benar-benar dalam bahaya besar sekarang!
Aku mendadak merasa ketakutan luar biasa. Tubuhku bergejolak hebat dan kekuatan untuk melawan Farish mendadak hilang entah kemana. Aku tidak dapat melakukan apa pun untuk membela diri. Otakku menyuruh untuk berteriak dengan kencang namun bibirku tidak bisa di ajak untuk berkompromi.
"Kita hidup di dunia yang penuh dengan orang-orang yang punya otak untuk berpikir Queen." Farish berbisik di dekat telingaku. "Kita gak bisa mengontrol apa yang orang lain pikirin mengenai kita dan apa yang ada di dalam kepala mereka."
"What are you trying to say?" Kubuka mataku perlahan dan langsung menyadari bahwa jaket miliknya kini sudah berpindah menutupi sebagian tubuhku. Ku kerjapkan mataku menatapnya mencoba mencerna apa yang baru saja dilakukannya.
"Kalau lo mau orang lain memperlakukan lo dengan sopan dan menghormati lo sebagai cewek, lo seharusnya menghargai diri lo sendiri lebih dulu," ucapnya lalu mundur selangkah. "Seragam ini gak pantes untuk lo pake. Lo seakan mengundang para cowok untuk berpesta delusi di dalam otak mereka masing-masing. Lo gak tau apa yang akan mereka pikirin mengenai lo Queen."
Aku terhenyak menatapnya. Aku tidak mengira seorang Ghada Farisha menguliahi mengenai cara berpakaianku. Pop tidak pernah berbicara seperti ini padaku. Pop bahkan suka dengan gaya berpakaianku yang seperti ini. Mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang cowok yang statusnya bahkan bukan temanku, membuatku merasa malu terhadap diriku sendiri.
Farish kemudian berbalik dan kembali duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku yang tadi dibacanya seolah apa yang baru saja dikatakannya barusan bukanlah masalah besar. Kami saling terdiam untuk beberapa saat.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Ku lirik jaket abu-abu yang kini menutup tubuhku dengan rapi kemudian ganti menatap sosok Farish yang kembali sibuk membaca. Apakah aku harus berterima kasih padanya? Atau apakah aku harus tetap marah karena ucapannya yang menyindirku secara terang-terangan? Tapi mengapa aku merasa bahwa apa yang dikatakannya bukanlah sebuah sindiran melainkan lebih kepada perhatian? Apakah dia benar-benar perhatian mengenai apa yang dipikirkan orang lain terhadapku?
Aku tidak bisa menahan diri untuk merasakan sedikit kebahagiaan di dalam diriku. Aku tidak pernah tahu jika tipe cowok seperti ini benar-benar ada di dunia nyata. A perfect gentleman.
Ini membuktikan bahwa masih ada seseorang seperti Farish yang tidak selalu tertarik dengan penampilan, namun kepribadian. Dan aku rasa, kepribadian yang dimaksud disini berbanding terbalik dengan apa yang aku miliki. Aku adalah sosok lain yang bertolak belakang dengan apa yang Farish idam-idamkan dari seorang perempuan. What kind of girl does he like?
Aku merasakan jantungku mulai berdegup kencang memikirkan apa yang baru saja dilakukan Farish untukku. Dia memang tidak mengatakannya secara halus tapi langsung berbicara tepat di depan wajahku. Dia seolah ingin menunjukkan padaku hal terburuk yang mungkin bisa saja terjadi padaku. Dia ingin agar aku belajar dari kesalahanku.
Does this mean that he cared for me?
Stay cool Jessica Veranda! Ingat bahwa tujuanmu kesini adalah untuk melancarkan rencana yang sudah disusun dengan matang. Jadi berhenti berpikir aneh-aneh. Berpikirlah dengan logis, Jessica Veranda!
But, why do I feel that somehow my plan backfired on me?
***
Gue lupa sudah berapa menit gue tenggelam dalam buku yang gue baca ketika gue sadar jika Jessica Veranda masih berdiri terpaku di tempatnya semula. Matanya menatap kosong ke arah gue. Gue harap cewek itu gak mendadak berteriak histeris setelah apa yang gue katakan padanya. Well, she should learn some lessons.
"Kenapa lo masih disini?"
Pertanyaan gue membuat The Queen Bee mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia kemudian menatap berkeliling seolah baru saja kembali dari dimensi lain. Wajahnya terlihat sibuk memikirkan sesuatu. Mungkin sebuah rencana untuk menjatuhkan gue sekuat yang dia bisa.
Tanpa peduli dengan apa yang sedang Queen pikirkan, gue kembali membaca buku yang seharusnya sejak kemarin sudah gue tamatkan. Buku ini di tulis dengan huruf hiragana dan berisi kisah yang amat menarik. Mengenai seorang pemuda desa biasa yang jatuh cinta dengan putri raja. Klise memang. Yang menarik dari kisah ini adalah mengenai betapa hebatnya pengorbanan yang dilakukan oleh sang putri demi bisa bersama dengan pujaan hatinya.
"Ehhem!"
Suara berdeham dari Queen mendadak mengganggu konsentrasi gue menyelami dunia imajinasi yang coba gue gambarkan di dalam otak. Kerajaan yang berlapis emas, Raja yang haus kekuasaan, Pangeran dari negeri seberang, hutan gelap yang berada di perbatasan, sungai dengan air yang jernih, wanita desa yang setiap pagi mencuci pakaian bersama, seorang putri cantik dengan sifat arogan namun tetap rendah hati dan seorang pemuda biasa yang jatuh cinta padanya.
"I said, ehheem!" Lagi-lagi Queen mencoba mengganggu konsentrasi gue.
"What?" Gue mendongak menatapnya dengan wajah jengkel. "Kenapa lo masih disini? Bel masuk sudah lama bunyi dari tadi."
"Gue tau," jawabnya sambil tersenyum.
"Terus? Lo gak masuk kelas?"
"Apakah gue harus? Sementara lo disini juga masih sibuk dengan buku lo itu." Jessica Veranda berjalan maju hingga tiba di dekat meja gue.
"Lo lupa siapa gue, Queen? Apakah pada akhirnya lo ngeliat gue sebagai seorang cowok huh?" Gue balas menjawab ucapannya sembari menutup buku yang gue baca.
"G-gu-gue.. Gak pernah lupa."
"Jadi kenapa lo masih disini? Lo gak akan mau reputasi yang lo bangga-banggain itu tercoreng hanya karena dilihat anak-anak lain berduaan sama gue disini."
"Gue udah gak peduli dengan masalah itu," jawabnya lalu duduk di samping gue.
Mengesankan! Demi membalas dendamnya kepada Jody, Jessica Veranda Tanumihardja bahkan rela mengabaikan reputasinya.
Gue gak punya waktu untuk meladeni permainan konyolnya ini. Gue sengaja minta izin sama guru piket untuk gak ikut pelajaran siang ini karena sejak pagi, cowok-cowok di kelas sudah sibuk mengerubungi gue dan bertanya mengenai insiden tadi pagi ketika Queen menghampiri gue di depan kelas. Beberapa bahkan ada yang terus memelototi gue sepanjang pelajaran berlangsung.
C'mon! Jessica Veranda just a normal girl! She isn't a goddess!!
Gue kembali membuka buku mengenai sang putri dan pemuda biasa yang tadi gue baca. Tinggal beberapa bab lagi maka gue akan tiba di akhir cerita. Gue gak akan membiarkan seorang Jessica Veranda mengusik kesenangan gue lagi kali ini.
"Lo baca apa?" Queen lagi-lagi membuka mulutnya dan mulai mengganggu dengan memajukan tubuhnya untuk mengintip buku di tangan gue.
"Buku," jawab gue cuek.
"Nerdy boy, gue tau kalau itu buku," gerutunya setelah mendesah panjang. "Buku apa yang lo baca?"
"Novel."
"Novel? Ini novel? Gue kira buku pelajaran bahasa Jepang!" komentarnya kemudian mengulurkan tangannya untuk membuka beberapa halaman. Tindakannya ini justru semakin membuat gue terusik.
Kesal, gue tutup kembali buku tersebut lalu menatapnya dengan tajam. "What do you want Queen?"
"Ups, sorry." Veranda mengangkat bahu kemudian melipat kedua tangannya ke atas meja. "I was wondering if you want to come to my house for my birthday party?" tanyanya lalu meletakkan dagunya di atas lipatan tangannya. Tanpa disadari, ia kemudian menggembungkan kedua pipinya hingga semakin membulat lalu meniup ujung-ujung poninya layaknya anak kecil yang sedang merajuk untuk dibelikan es krim.
Why is she still looks beautiful even she does that?
"When?"
"Hemm.. Wednesday?"
Gue keluarkan smartphone gue dari dalam saku kemudian mengecek aplikasi kalender disana. "19 Agustus?"
Queen mengangkat kepalanya kemudian mengangguk. "I will turn to seventeen soon, nerdy boy! Dan, elo orang pertama yang gue undang. Oh ya, tentu aja setelah ketiga sahabat gue," ucapnya sambil memainkan ujung-ujung jari kukunya. Gue sempat melihat kuku kedua ibu jarinya yang sengaja ia biarkan panjang dan terawat dengan sempurna.
Even her fingers are long and slim too!
"So, will you come?" Ia mendongak kemudian menatap gue dengan raut serius.
"Lihat nanti."
"Lihat nanti?" ulangnya gak percaya. Ia menggigit bibir bawahnya sebentar lalu menarik nafas dalam-dalam. "Kesempatan ini gak akan datang dua kali dalam hidup lo, nerdy boy!"
"Look, gue juga punya kegiatan yang lain Queen. Kalau gue ada waktu di hari itu, gue akan dateng. Jelas?"
"Oh! Jadi kegiatan lo yang lain itu lebih penting daripada pesta ulang tahun gue?" Jessica Veranda mulai kehilangan kesabarannya.
She is thinking too high about herself. Typical The Queen Bee. Selalu menganggap bahwa dirinya yang paling penting dan berkuasa.
"Ya. Kegiatan gue jauh lebih penting daripada acara ulang tahun lo." Gue mengangguk membalas pertanyaannya.
Veranda lantas bangkit berdiri dengan wajah berang sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. "I don't care about your activities, nerdy boy! You must come to my house this Wednesday night!"
"Kenapa gue harus dateng?"
Mendengar gue bertanya demikian, wajah Queen yang semula terlihat emosi mendadak berubah bingung dan salah tingkah. Dia kembali duduk dan terdiam.
"Gue harap lo gak merencanakan sesuatu yang aneh saat gue berada disana nanti, Queen." Gue tersenyum geli begitu melihat wajah pucat Veranda yang gak mengira kalau gue berhasil menebak jalan pikirannya.
"Gue gak ngerencanain apa-apa," elaknya.
"Begitukah?" Tanpa bisa gue cegah, senyum yang tadi berusaha gue tahan semakin lebar begitu melihat ekspresinya.
Gue gak tahu apakah karena sudah tertangkap basah atau karena gue terlihat seperti sedang meremehkannya, tiba-tiba aja tangan Queen bergerak ke arah pipi gue. Gerakannya cepat seolah ingin melayangkan tamparan keras di daerah itu.
Will she snap me?
***
Aku masih tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Tanganku bergerak sendiri menyentuh pipinya. Senyuman Farish mendadak begitu menawan dan membuatku terhipnotis sesaat. Aku juga baru menyadari bahwa Farish memiliki gingsul yang membuat senyumnya semakin menarik. Mengapa sebelumnya aku tidak pernah memperhatikannya?
Mungkin ini salah satu dari ide Farish untuk menggagalkan rencanaku. Bahkan sebelum aku melakukannya, Farish bisa menebak dengan mudah setiap langkah yang akan ku ambil. Jaket dan perhatian yang ia berikan mungkin saja salah satu cara Farish untuk membuatku semakin lemah di hadapannya.
Dia sedang mencoba untuk berbuat baik kepadaku sehingga aku akan melupakan tujuanku semula untuk membuatnya jatuh cinta padaku. Dengan demikian, aku kalah dalam taruhan ini dan dia lah pemenangnya. Ide yang sangat brillian. As if I'm going to fall for that so easily! It's time to turn the table! Rencana ku datang ke perpustakaan ini adalah untuk membuat Ghada Farisha jatuh cinta padaku. Bukan untuk membuat diriku jatuh di hadapannya.
"What are you doing, Queen?" Farish menatapku dari balik kacamatanya dengan wajah tak mengerti.
Aku baru sadar bahwa tanganku masih berada di pipinya. Dengan cepat, ku tarik tanganku dan memasang wajah tenang sebisa mungkin. Aku tidak ingin membuat Farish mengira bahwa ia hampir berhasil menjatuhkanku. Tidak semudah itu, Ghada Farisha!
"Cuma mengecek apakah lo masih cukup sehat sehingga beraninya menolak undangan gue, nerdy boy."
Farish menatapku sebentar kemudian tertawa meremehkan. "Sadarlah Queen, undangan lo sama artinya dengan undangan lain yang biasanya gue terima dari temen-temen sekelas gue. Gue gak menganggap hal seperti itu begitu penting."
"Jadi.. Maksud lo pesta ulang tahun gue sama sekali gak penting?"
Farish terdiam sebelum menggelengkan kepalanya. "Bukan gak penting. Tentu aja itu penting bagi lo dan lo bebas mengundang orang-orang di sekitar lo untuk turut berbahagia di hari kelahiran lo. Tapi.." Farish menunduk menatap sampul buku miliknya kemudian mendongak menatapku. "Bukankah yang merasa hari itu penting cuma lo dan keluarga lo? Bagi orang lain yang sama sekali gak ada hubungan dekat dengan lo, hari itu cuma hari biasa dimana mereka bisa menikmati musik dan makanan gratis."
He's definitely right. Bagi Pop dan Mom, hari itu adalah hari dimana mereka mendapatkan anak kedua, anggota keluarga yang baru, buah cinta. Bagi Judith, hari itu adalah hari dimana akhirnya ia menjadi seorang kakak dan memiliki adik. Bagi ketiga sahabatku, hari ulang tahunku adalah hari dimana salah satu sahabat mereka muncul di dunia. Andai saja aku punya pacar, mungkin akan bertambah satu orang lagi yang menganggap bahwa hari ulang tahunku adalah hari yang penting.
"Am I right?" Farish kembali melanjutkan tawanya. "You're really entertaining me, Queen. Cuma anak kecil yang sangat antusias menunggu hari ulang tahunnya datang."
Cowok nerdy ini benar-benar menjengkelkan! Tidak pernah satu kali pun selama hidupku, aku ditertawakan seperti ini oleh orang lain. Biasanya aku yang selalu menertawakan mereka. Dan yang lebih parahnya lagi, seorang siswa dengan kasta terendah dalam hierarki sekolah yang melakukannya terhadapku!
Aku mulai mengatur nafas mencoba menahan emosi yang hampir meledak. Hal itu hanya akan membuat Farish semakin senang. Itulah yang di inginkannya. Membuatku hilang kendali atas diriku sehingga mengamuk dan mempermalukan diri sendiri. Jadi daripada membiarkan emosiku muncul ke permukaan, aku lebih baik menjaga ekspresiku agar tetap terlihat tenang di hadapannya.
"Are you done laughing?" Kulipat kedua lenganku ke d**a menunggu jawaban darinya.
Farish berdiri dari duduknya kemudian menyandarkan salah satu tangannya di bahu kursi yang aku duduki sambil mencondongkan tubuhnya mendekatiku. "Kenapa lo mengundang gue ke birthday party lo Queen?" tanyanya kali ini dengan wajah serius.
"Because.."
"Because you want to make a fool of me in front of everyone, right? Or is it a way for you to make me fall in love with you?" Ia menyelesaikan kalimatnya dengan senyum tipis yang semakin membuatku muak untuk melihatnya.
Cukup sudah! Aku tidak bisa lagi berpura-pura tenang di hadapannya. Cowok nerdy ini benar-benar mempermainkanku. "I told you Ghada Farisha, you're thinking too low about me! I'm not a bad girl! Don't you dare underestimating me!"
"That's it. Gue lebih suka lo bicara blak-blakan seperti ini daripada menahan emosi lo, Queen. Gue lebih suka ngeliat dahi lo berkerut karena marah daripada ngelihat tangan lo mengepal karena menahannya." Farish berbicara dengan tenang kemudian kembali duduk di kursinya.
"Oh no!" Aku berseru panik sambil mengusap dahiku berkali-kali. "Gue gak boleh marah. Gue harus tenang. Gue akan semakin terlihat tua kalau gue terus-menerus emosi seperti ini."
I'm too young to have wrinkles!
"Seriously? Jessica Veranda, ada lebih banyak yang harus lo pikirkan dalam kehidupan lo selain penampilan." Farish berbicara dengan nada mengkritik.
"Mudah bagi lo untuk bilang begitu, nerdy boy! Lo gak hidup di dunia dimana semua orang selalu memperhatikan semua gerak-gerik lo."
"Classic Queen. Very classic. Lo sendiri yang memilih untuk hidup seperti ini dan mengajak orang lain untuk bergabung dalam dunia lo, untuk memperhatikan semua gerak-gerik lo," ejeknya.
"Jadi, apa itu kesalahan gue kalau orang-orang itu ingin menjadi seperti gue? Bukan gue yang mengajak mereka untuk menonton apa pun yang gue lakukan, nerdy boy! Mereka sendiri yang ingin masuk ke dalam kehidupan gue!"
Farish terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. "Lo sendiri yang membiarkan mereka untuk masuk ke dunia lo, Queen. Kalau lo gak merasa nyaman dengan tatapan mereka, sudah lama lo akan mengusir mereka untuk menjauh. Lo punya hak untuk itu. Tapi nyatanya, lo justru menikmatinya. Lo menikmati semua pandangan iri dari mereka karena lo punya semua hal yang mereka gak punya. Lo menikmatinya dan lo gak mau mereka berhenti untuk melakukannya. Itulah mengapa lo gak mau mereka pergi dari dunia lo, Queen."
Pernyataan Farish semakin membuat hatiku panas mendengarnya. "Bagaimana dengan lo? Lo sendiri menikmati setiap kali lo mengejek gue. Lo bahkan gak kenal gue. Tapi lo dengan beraninya bilang begitu mengenai gue."
"Karena seperti itulah kepribadian yang lo bangun dalam dunia lo, Queen. Miss Popular, It Girl, The Queen Bee, Princess of School," ucapnya memberi kesimpulan sendiri.
Aku benar-benar kesal mendengar kalimatnya. Kami mulai saling mengobrol dalam waktu beberapa hari tapi dia dengan tenangnya berbicara seolah ia sudah cukup lama mengenalku. Aku sangat marah. Tapi aku tidak bisa membantah ucapannya karena apa yang ia katakan memang benar adanya. Aku senang menikmati mata setiap orang lain yang selalu memuja penampilanku atau mengagung-agungkan kecantikanku. Menikmati pandangan iri dari orang lain pada apa pun yang kumiliki yang tidak bisa mereka dapatkan dengan mudah. Karena mereka lah, aku merasa bahwa diriku adalah sosok yang penting. Mereka membuatku merasa seperti seorang ratu sungguhan.
"Right." Farish tiba-tiba memecahkan kesunyian yang mendadak melanda.
Aku tatap matanya mencoba mencerna maksud dari pernyataannya barusan. Namun belum sempat aku bertanya, dia kembali berbicara.
"Seperti yang lo bilang tadi. Gue memang gak mengenal lo. Gue menikmati setiap kali gue mengejek lo.." Farish menatap ku lekat-lekat sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Because that's the only time I can see the real you, Queen."
Lagi-lagi kalimatnya membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku dibuat terkesima dengan pernyataannya. Jadi karena alasan itu, dia sengaja melakukannya?
"Lo gak pernah mengeluarkan emosi lo setiap saat dengan leluasa, right? Itu karena lo selalu mendapatkan apa yang lo mau, Queen. Gak ada seorang pun yang berani melawan lo karena mereka tau akan konsekuensinya kalau berada dalam blacklist lo." Farish terdiam sejenak memperhatikan reaksiku. "Lo gak pernah terlihat khawatir, gak sabaran, marah, sedih atau stress. Elo bahkan gak pernah mencibir atau menggembungkan pipi sambil meniup poni lo seperti tadi di depan banyak orang."
Wait. Kapan aku menunjukkan ekspresi seperti itu di depan Farish? Aku bahkan tidak menyadarinya!
"You always reveal yourself as the perfect pretty girl, Queen. Tapi jauh di dalam hati lo, lo selalu berusaha menahan semua emosi tadi dan menyimpannya rapat-rapat untuk diri lo sendiri. Lo marah dengan ucapan gue bukan karena lo merasa di ejek. Tapi karena apa yang gue bilang itu benar adanya."
"Gue gak seperti itu!" elakku cepat.
Farish tertawa kemudian menusuk pipiku dengan jari telunjuknya. "See? Lo gembungin pipi lo lagi."
Dengan cepat, ku sentuh pipiku yang tanpa aku sadari menggembung dengan sendirinya tanpa bisa ku cegah. Aku pasti terlihat semakin menyerupai bakpao di mata Farish. This nerd!!
"Gue benci sama lo! Benci!!" seruku sambil memukul meja.
Aku masih ingin menghardiknya dengan ribuan makian tapi sesuatu yang lain menghentikanku untuk melakukannya. Tawa Farish. Tawanya sangat lebar hingga salah satu gingsulnya semakin terlihat jelas. Aku tidak bisa memalingkan mataku ke arah lain selain daripada wajahnya. Matanya yang menyipit, suara tawanya dan bibirnya yang merekah lebar membuat jantungku mendadak berdetak tidak berirama dan terus menerus tanpa bisa kutahan.
"Gak ada yang ngelarang lo untuk benci sama gue, Queen," ucapnya setelah tawanya mereda. Sebagai gantinya, ia justru memajukan bibirnya sehingga membuat wajahnya tampak sangat lucu.
"Lo mirip bebek." Aku ganti tertawa kencang membalas ejekannya. Tawa yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
"Oh-oh. Another side of Miss Badai. Interesting."
Aku memutar kedua bola mataku mendengar komentarnya sambil terus tertawa. Beberapa detik yang lalu aku dibuat kesal setengah mati oleh perlakuannya namun kini aku tertawa lepas melihat wajah bodohnya.
"I'll come." Farish mendadak kembali bicara.
"Come for what?"
"Tik tok! Of course come to your birthday party, Queen," jawabnya sambil menyentil pelan dahiku. Sejak kapan dia bisa dengan bebas menyentuhku sesantai ini?!
"Ah.. Yes." Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hal itu? Bodoh sekali. Itu adalah rencanaku sejak memasuki perpustakaan.
"Kado apa yang lo mau dari gue, Queen? For your information, gue bukan berasal dari keluarga berada seperti lo. Jadi jangan berekspektasi terlalu tinggi dari gue."
"Nah, gue gak mengharapkan apa pun dari lo, nerdy boy! Cukup datang ke pesta gue."
Farish menggelengkan kepalanya tidak setuju. "No, gak sopan mengunjungi pesta ulang tahun seseorang tanpa membawa kado Queen."
I see. Aku pikir selain mulutnya yang kasar, Farish juga tidak memiliki tata krama yang baik. Tapi sepertinya dugaanku salah. Dia cukup sopan dan memiliki etika yang baik.
"Whatever is fine with me, nerdy boy."
Farish menatapku beberapa detik kemudian sesuatu seolah membentur kepalanya begitu kuat sehingga tiba-tiba saja ia berdiri dan berjalan menuju meja penjaga perpustakaan yang kini kosong.
"What are you doing?" Mau tidak mau, aku ikut berdiri dan berjalan mengekorinya.
"Say, Queen. Apa lo suka dengar musik?" tanyanya sambil mengambil sebuah Cajon, drum akustik yang terbuat dari kayu yang biasanya dipukul menggunakan tangan.
"Kenapa ada benda itu disini? Di perpustakaan?" Aku balik bertanya padanya.
Farish hanya nyengir lebar lalu mengangkat Cajon itu dan membawanya ke sudut ruangan. Tanpa menjelaskan apa pun padaku, ia lalu duduk di atas Cajon dengan menghadap ke arahku.
"Don't tell me that.."
"I'll tell you," potongnya cepat. "Ini punya gue." Tangannya lalu mulai memukul Cajon bergantian membentuk irama dentuman yang beraturan dan konstan di telinga.
Awalnya suara dentumannya tidak begitu familiar di telingaku, tapi begitu Farish mulai menyanyikan sebaris lirik lagu yang cukup ku kenal, aku hampir saja terjengkang di tempat aku berdiri. Suaranya membuat bulu kudukku meremang. Bentuk vocalnya unik, bulat dan tebal namun tidak terlalu bariton seperti suara pria pada umumnya. Jika sekali mendengarnya, orang lain akan langsung bisa menebak siapa pemilik suara tersebut. Ia punya ciri khas yang membedakannya dengan yang lain.
Aku tidak percaya aku masih berdiri terpaku menatapnya dengan mulut menganga. So, he can sing very well! Beruntung Farish tengah sibuk memainkan Cujon nya sehingga ia tidak memperhatikan ekspresiku saat ini. Jika tidak, dia akan melihat ekspresi bodoh yang terlihat jelas dari wajahku.
For the first time in forever
There'll be magic, there'll be fun
For the first time in forever
I could be noticed by someone
Farish mendongak menatap mataku. Aku bisa merasakan wajahku mulai memanas karenanya. Perutku perlahan mulai bergejolak seperti ada sesuatu yang bergerak dan memaksa untuk keluar. Jantungku bahkan berdetak kencang dan tidak menentu seakan bisa meledak kapan saja.
And I know it is totally crazy
To dream I'd find romance
But for the first time in forever
At least I've got a chance
Setiap lagu yang dinyanyikannya, seolah ia menujukannya padaku. Ini membuat sesuatu dalam diriku mendadak tersentuh dan aku merasa sangat tidak nyaman karenanya.
Stay cool Jessica Veranda! It is just a song!
"What do you think, Queen?" Farish tiba-tiba berhenti bernyanyi dan bertanya padaku.
Aku berpaling mengalihkan pandanganku dari wajahnya. "It's good.."
"So, apakah gue boleh kasih lagu ini sebagai hadiah buat lo?" tanyanya.
Aku masih tidak berani menatapnya. Dan yang lebih mengenaskan, aku bahkan tidak bisa menjawab pertanyaannya. Well, jawaban macam apa yang harus kuberikan? Tentu saja aku senang jika ia mempersembahkan lagu itu sebagai kado ulang tahunku. Tapi jika aku mengiyakan, ini sama saja mempertaruhkan kebanggaan diriku di hadapannya.
"Lo gak suka kadonya?"
Aku menoleh menatapnya tapi detik berikutnya aku lekas-lekas memalingkan wajahku darinya. "No, it's good."
"Queen, lo baik-baik aja?" Farish mendadak berdiri kemudian berjalan menghampiriku. Matanya memperhatikanku dengan ekspresi yang bingung.
Bagus, jika aku tidak segera menyingkir sekarang juga, aku yakin Farish akan langsung bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam diriku. Dia sangat jeli dalam menilai seseorang. Dia mungkin bisa merasakan bahwa ada yang salah denganku.
"Gue harus balik ke kelas." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung berbalik dan buru-buru melangkah keluar dari perpustakaan.
Aku tidak ingin mengambil risiko dengan berada di dekatnya saat ini. Aku punya firasat jika aku terus bersamanya, benih perasaan yang muncul ini akan semakin tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar. Ini benar-benar tidak boleh terjadi padaku! Aku bahkan tidak bisa menatap lurus ke dalam matanya! Tidak seharusnya aku merasakan hal ini kepada dirinya!
I shouldn't let myself be attracted to that nerd!
***