Sore itu, sekitar pukul lima lewat tiga puluh, Adrian sampai di apartemen. Setelah seharian bekerja, tubuhnya terasa pegal, tapi pikirannya tetap tertuju pada satu hal sejak pagi: Disa.
Ia membuka pintu dan langsung disambut oleh asisten rumah tangga.
“Selamat sore, Pak Adrian.”
“Ya. Terima kasih. Disa masih belum keluar?”
“Belum, Pak. Dari pagi sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda. Makan siangnya juga tidak disentuh.”
Adrian mengangguk pelan. “Baik.”
Ia menaruh kunci dan jasnya di tempat biasa, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Sambil membuka botol, matanya mengarah ke meja kecil di dekat kamar Disa. Makanan yang tadi siang disiapkan masih tertutup rapi.
Ia menghela napas dan membuka kantong kertas yang ia bawa—isi rujak favorit Dira. Waktu pulang tadi, ia sengaja berhenti sebentar di pinggir jalan untuk membelinya. Ia pikir, mungkin saja Disa mau makan kalau melihat sesuatu yang ia kenal dan pernah disukai almarhum kakaknya.
Adrian berjalan mendekat ke kamar Disa. Ia berdiri di depan pintu kamar itu beberapa detik, lalu mengetuk dua kali.
“Disa, aku pulang,” ucapnya pelan. “Aku bawa rujak. Aku tahu kamu suka juga, dulu Dira sering cerita.”
Hening. Tidak ada suara atau gerakan dari dalam kamar.
“Kalau kamu belum siap bicara, nggak apa-apa. Tapi kamu harus makan, Dis. Setidaknya minum.”
Ia diam sejenak, menunggu, lalu mengetuk lagi.
“Aku taruh rujaknya di depan pintu. Kamu bisa ambil kapan aja. Nggak usah keluar kalau belum siap.”
Ia meletakkan plastik rujak di meja kecil, lalu mundur.
Kembali ke ruang tengah, Adrian duduk di sofa. Ia melirik ke arah kamar Disa beberapa kali, tapi tetap tidak ada tanda-tanda pintu terbuka. Bahkan suara langkah pun tidak terdengar. Makanan siang yang masih utuh jadi bukti kalau Disa benar-benar belum makan sama sekali hari ini.
Asisten rumah tangga datang dari dapur, membawa piring-piring bersih dan menata meja makan.
“Saya siapkan makan malam, Pak. Siapa tahu nanti Disa lapar.”
“Ya. Siapkan saja. Kalau dia mau, bagus. Kalau tidak, biar aku coba lagi nanti.”
Adrian melonggarkan kancing kemejanya, menyandarkan tubuh ke sofa, dan memejamkan mata sebentar. Rasanya lelah sekali, bukan karena pekerjaan, tapi karena dia tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Disa mau membuka diri sedikit saja.
Beberapa menit berlalu. Ia membuka mata dan melihat jam dinding. Hampir maghrib. Ia bangkit, mencuci tangan, lalu duduk di meja makan sendirian.
Piring-piring terisi, nasi hangat dan sup ayam terhidang. Tapi di kursi seberang, kosong.
Adrian makan perlahan. Tak ada suara selain dentingan sendok yang sesekali menyentuh piring. Ia tidak bicara. Tidak ada harapan besar yang ia pasang, hanya menunggu—mungkin pintu itu akan terbuka, mungkin tidak.
Tapi untuk malam ini, Disa masih belum keluar.
Dan Adrian memilih untuk tetap sabar.
***
Hampir pukul delapan malam. Hujan belum turun, tapi langit di atas kota Balikpapan sudah kelam, gelap seperti tak ada cahaya yang bisa menembus. Awan menggulung perlahan, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Daun-daun pohon di halaman apartemen meliuk ke segala arah, dan suara gesekan dedaunan makin jelas terdengar dari balkon lantai atas.
Adrian berdiri diam di sana, masih mengenakan kemeja kerjanya yang sudah tidak terlalu rapi. Lengan digulung, kancing atas dibiarkan terbuka. Ia memegang gelas berisi air putih yang belum sempat diminum sejak ia tuang sendiri setengah jam lalu.
Angin menerpa wajahnya, sedikit menusuk. Tapi bukan itu yang bikin dadanya berat.
Balkon itu jadi tempat paling nyaman untuk berpikir. Dari sini, ia bisa melihat lampu jalan menyala satu-satu, mobil-mobil melaju cepat seperti terburu sesuatu, dan di kejauhan, gedung-gedung perkantoran yang sebagian mulai gelap. Tapi malam ini, semuanya kabur. Pandangannya tak fokus. Karena pikirannya hanya tertuju pada satu nama: Dira.
Ia memejamkan mata sebentar. Menarik napas panjang.
Dira adalah perempuan yang sangat ia cintai. Bukan hanya karena wajahnya manis atau tutur katanya lembut. Tapi karena setiap kali Adrian jatuh, Dira ada. Bukan dengan kata-kata motivasi besar atau pelukan dramatis, tapi cukup dengan duduk di sebelahnya, menyeduhkan teh hangat, dan bilang, "Capek ya? Mau cerita enggak?"
Suaranya tenang, pelan, bahkan terkadang nyaris tak terdengar. Tapi efeknya ke Adrian selalu sama: bikin tenang.
Dira tahu kapan harus bicara, kapan cukup mendengarkan. Ia tahu kalau Adrian bukan tipe yang langsung terbuka. Maka Dira tidak pernah memaksa. Ia sabar. Pelan-pelan, ia temani, diajak ngobrol santai, kadang ditertawakan juga. Tapi itu yang bikin Adrian merasa... nyaman. Aman.
Lalu semua itu hilang dalam sekejap.
Adrian membuka mata, menatap langit yang kian pekat. Petir mulai membelah langit di kejauhan, lalu suara gemuruh menyusul.
Ia belum pernah bilang ke siapa pun, tapi Dira itu tipe perempuan yang benar-benar masuk ke hidupnya. Tipenya banget. Bukan cuma karena sikap atau kelembutan, tapi karena Dira itu penuh rasa. Nggak egois. Selalu berpikir sebelum bicara. Nggak pernah menyakiti siapapun dengan sengaja. Apalagi Disa—adik yang begitu dia sayang.
Adrian tahu, hubungannya dengan Dira menyakiti Disa. Ia nggak naif. Tapi ia juga nggak bisa pura-pura bahwa cintanya ke Dira bukan cinta beneran. Karena ia memang jatuh cinta.
Dan Dira, dari semua wanita yang pernah ia kenal, adalah satu-satunya yang bisa memeluk hatinya penuh. Dira memandangnya tidak sebagai CEO, bukan sebagai pria yang punya uang, bukan sebagai sosok kuat—tapi sebagai Adrian. Laki-laki yang kadang terlalu pendiam, kadang terlalu serius, kadang bingung, takut, dan penuh luka masa lalu.
Dira menerimanya. Itu yang susah ditemukan.
Adrian mendesah pelan. Ia bersandar pada pinggiran balkon, tangan kirinya menyentuh besi dingin. Sementara pikirannya masih di masa lalu—saat Dira membawakan makan siang ke kantornya diam-diam, atau saat Dira bilang dia lebih suka duduk nonton film bisu daripada ke bioskop ramai.
Sederhana. Tapi penuh arti.
Tetes hujan pertama mulai jatuh, ringan, satu-dua, lalu makin deras. Tapi Adrian tidak bergeming. Ia tetap di sana, diam, menatap langit seperti mencari sosok yang tak lagi bisa disentuh.
Ia merasa bersalah.
Disa di dalam kamarnya belum keluar sejak pagi. Tidak makan, tidak bicara. Dan di sinilah Adrian, berdiri di balkon, memikirkan wanita yang meninggalkan luka di hati gadis itu.
Tapi apa ia harus berpura-pura Dira tidak berarti untuknya?
Tidak.
Ia mencintai Dira. Dengan jujur. Dengan tulus. Sampai hari terakhirnya.
Dan mungkin... cinta itu yang akan jadi alasan kenapa ia harus menjaga Disa sekarang. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk menghargai.
Karena kalau Dira masih hidup, pasti dia akan bilang, “Tolong jaga Disa, ya.”
Petir menyambar lebih dekat. Hujan turun deras. Adrian akhirnya masuk ke dalam, menutup pintu geser balkon dan mengelap rambutnya dengan handuk kecil yang tadi tergantung di belakang pintu.
Tapi pikirannya belum selesai.
Ia duduk di sofa, mengambil iPad, lalu meletakkannya di meja. Tidak ingin membaca dokumen apapun malam ini. Ia hanya duduk diam, memandangi pintu kamar Disa yang masih tertutup rapat.
Malam ini... Adrian tahu, ia belum bisa berdamai. Tapi ia harus bertahan.
Bukan demi dirinya sendiri. Tapi demi seseorang yang dulu begitu ia cintai... dan seseorang yang kini ada di bawah atap yang sama.