Bagian 13

1110 Kata
Langkah Adrian terdengar mantap saat memasuki lobi utama perusahaannya. Hari ketiga sejak ia kembali bekerja, dan atmosfer kantor mulai terasa lebih normal, meski sesekali masih ada yang mencuri pandang ke arahnya dengan sorot mata iba. Di dekat meja resepsionis, sebuah karangan bunga berdiri rapi. Pita hitam bertuliskan "Turut berduka cita" masih tergantung, dan di bawahnya ada papan kecil dengan kalimat: Untuk Dira, cinta yang belum sempat terucap sepenuhnya. Dari kami yang turut kehilangan. Itu bukan satu-satunya. Di sisi kiri lobi, ada beberapa karangan bunga lain yang berdatangan sejak dua hari lalu. Beberapa staf sudah terbiasa melihatnya, tapi pagi ini ada tiga pria yang berdiri di depannya, membuat beberapa pegawai melambatkan langkah mereka karena penasaran. Tiga pria itu tampak mencolok. Bukan hanya karena postur mereka yang tinggi dan karismatik, tapi juga karena aura CEO yang memancar kuat—seperti adegan pembuka dalam drama Korea papan atas. Yang pertama, mengenakan setelan biru gelap dengan kacamata bening dan potongan rambut rapi, adalah Devan, CEO perusahaan ritel terbesar di Asia Tenggara. Yang kedua, Zein, mengenakan jas putih gading dengan kaus turtleneck hitam, tampak ekspresif dengan senyum yang jarang lepas dari wajahnya. Dan terakhir, Kift, berpenampilan simpel tapi tajam dengan kemeja hitam tergulung di lengan dan celana kain gelap, tatapannya tenang tapi penuh penilaian. Adrian mendekat. Suara sepatu kulitnya menapak lantai marmer membuat ketiganya menoleh bersamaan. “Adrian,” sapa Devan lebih dulu. Kift mengangguk pelan. “Akhirnya bisa datang juga.” Zein langsung memeluknya singkat, kemudian mundur sambil berkata, “Maaf ya, baru sekarang bisa. Semua baru tahu kabarnya dari berita internasional dua hari lalu.” “Enggak apa-apa. Aku ngerti kalian sibuk,” jawab Adrian, suaranya rendah. Kift menatap karangan bunga yang mereka bawa. “Kami cuma mau bilang, kami ikut kehilangan juga.” “Dira itu gadis baik, Adrian,” sambung Devan. “Kami enggak pernah ketemu langsung, tapi dari cara kamu cerita... kami tahu kamu sayang banget sama dia.” Adrian mengangguk pelan. “Terima kasih.” Naya datang menghampiri dari sisi lift, tampak sedikit terkejut melihat siapa saja yang berdiri di sana. “Pak Adrian... Maaf, saya enggak tahu mereka akan datang.” “Gak apa-apa, Nay. Tolong siapkan ruang meeting kecil, ya. Kita ngobrol sebentar.” “Baik, Pak.” *** Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di ruang meeting pribadi, ditemani kopi hitam dan botol air mineral. “Jadi sekarang kamu gimana?” tanya Zein membuka percakapan. “Aku kembali kerja. Bukan karena sudah kuat... tapi karena kalau diam di rumah terus, aku bisa makin tenggelam,” ujar Adrian jujur. Devan mengangguk. “Wajar. Tapi kamu enggak sendirian. Kami di sini kalau kamu butuh sesuatu.” Kift menatapnya dalam. “Kamu beneran mau lanjut pernikahan itu?” Adrian terdiam sebentar, lalu menghela napas. “Dira... sebelum dia pergi, dia minta aku nikahi adiknya.” Ketiganya terdiam. Hanya suara AC yang terdengar. “Permintaan terakhirnya?” tanya Zein pelan. “Iya. Disa... adiknya. Dia masih kuliah, belum siap jadi istri siapa-siapa. Tapi Dira percaya aku bisa jagain Disa, dan... ya, mungkin ini cara Dira memastikan Disa enggak sendirian.” Devan tampak berpikir. “Berat ya, bro.” “Banget,” jawab Adrian jujur. “Tapi aku enggak bisa nolak. Karena itu bukan cuma janji ke Dira... itu janji ke diriku sendiri.” Kift hanya menatapnya, tapi tidak bicara. Ia sudah tahu sisi ini dari Adrian. Lelaki itu bukan tipe yang banyak bicara, tapi kalau sudah berjanji, akan dijalankan sampai habis. “Jadi... nikahnya lanjut?” tanya Zein lagi. “Lanjut. Tapi... entah kapan. Sekarang aku cuma ingin pastikan Disa bisa melewati masa berdukanya. Dia bahkan belum keluar kamar sampai kemarin.” Devan bangkit dari duduknya dan merangkul bahu Adrian sebentar. “Apa pun keputusan kamu, kita dukung.” “Dan satu hal,” tambah Kift. “Kalau kamu butuh tempat buat bicara... jangan sok kuat.” Adrian mengangguk. “Makasih, kalian semua.” *** Setelah mereka keluar, Adrian kembali berdiri sejenak di depan karangan bunga di lobi. Tangannya menyentuh salah satu pita yang tergerai, lalu ia melangkah masuk ke lift. Pikirannya masih penuh, tapi pagi ini... terasa lebih ringan. *** Ruang kerja Adrian di lantai 28 begitu hening. Pemandangan laut dari jendela kaca besar menjadi latar belakang sempurna untuk meja panjang penuh dokumen, MacBook terbuka, dan dua layar tambahan yang menyala. Ia duduk tegak, bahunya lebar menegaskan postur percaya diri, matanya menatap data presentasi. Di hadapannya duduk tiga kepala divisi. Mereka bergantian menyampaikan laporan, dan Adrian sesekali memberi arahan singkat, to the point. Tidak ada yang berani memotong kalimatnya, semua mendengarkan dengan serius. “Laporan ekspansi cabang di Banjarmasin minggu depan aku tunggu paling lambat Kamis. Kalau belum siap, cancel aja meeting internal. Aku gak mau waktu kita terbuang buat bahan yang belum matang.” “Siap, Pak.” Tepat saat salah satu staf berdiri untuk menyampaikan progres, ponsel Adrian yang berada di atas meja bergetar pelan. Nama Art muncul di layar. Dia hanya melirik sekilas. Biasanya, ia tak terganggu saat sedang rapat seperti ini. Tapi entah kenapa, ada perasaan mengganjal. Tangannya terulur, lalu membuka pesan itu. “Pak, maaf mengganggu. Bu Disa tadi keluar kamar. Dia duduk lama di teras belakang. Sekarang di dapur, tapi belum bicara banyak. Tadi pelan-pelan bilang kalau pengin makan bubur ayam, katanya yang Samarinda.” Adrian terdiam. Tangannya menutup layar ponsel. Ruangan itu tetap hening, tapi para kepala divisi mulai saling pandang. Tak biasa Adrian menghentikan aktivitasnya hanya untuk sebuah pesan singkat. “Pak?” tanya Rafi, kepala keuangan, pelan. Adrian menghela napas pelan, mengusap dagunya sebentar, lalu mengalihkan pandangan dari layar ke arah Rafi. “Kita sudahi sampai sini dulu. Laporan final kirim ke email, aku review nanti sore.” “Baik, Pak.” Semua bangkit berdiri. Mereka keluar dengan cepat dan rapi. Setelah pintu tertutup, Adrian bersandar sebentar ke sandaran kursinya. Kepalanya menengadah, memejamkan mata. Disa keluar kamar. Tiga hari tanpa suara, tanpa makan, bahkan tak menyentuh minuman. Lalu hari ini… minta bubur ayam Samarinda. Kecil. Tapi bagi Adrian, itu bukan hal sepele. Itu pertanda bahwa Disa perlahan menarik dirinya kembali dari lubang gelap. Ia membuka ponselnya, lalu menekan nomor. “Pak Anton?” “Ya, Pak Adrian.” “Tolong carikan bubur ayam Samarinda. Yang asli, yang biasa dijual di dekat pasar tua itu. Beli dua. Kirim langsung ke rumah. Jangan pakai ojol umum.” “Baik, Pak. Saya urus sekarang.” Setelah menutup telepon, Adrian memandang ke luar jendela. Langit Balikpapan masih biru, tapi angin tampak mulai menggerakkan pucuk-pucuk pohon. Ia berdiri, menyampirkan jasnya ke punggung kursi, lalu berjalan ke sisi jendela. Tangannya menyentuh kaca, dingin. Tapi pikirannya kembali ke suara lemah Disa yang mungkin akhirnya terdengar pagi ini di rumah. Bukan suara ceria. Tapi cukup untuk membuatnya berharap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN