Disa tidak yakin apakah dirinya masih hidup atau sudah mati. Sudah tiga hari ia mengurung diri di kamar tanpa makan dan minum. Hari-harinya hanya diisi dengan tangis, tubuh terbaring di atas kasur tanpa energi, dan selimut tebal yang menutupinya dari dunia luar.
Perlahan, ia mengangkat selimut yang sudah mulai lembap oleh air mata dan keringat. Tubuhnya terasa lemas, matanya perih, dan kepalanya seperti mau pecah. Mulutnya kering sekali—seakan tak ada air yang pernah menyentuhnya. Tapi ada sesuatu yang membuatnya membuka mata lebih besar. Garis cahaya itu… menyusup dari sela-sela dua korden yang tidak tertutup rapat.
Sejenak ia hanya menatap ke arah cahaya itu. Lalu ia merangkak pelan turun dari kasur. Kakinya gemetar saat menginjak lantai dingin, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan. Ia berdiri sambil berpegangan pada tepi meja kecil, lalu berjalan ke arah jendela.
Lampu kamar belum ia nyalakan. Tapi dari balik jendela kaca, ia melihat pemandangan senja di Selat Makassar. Langit berwarna jingga keabu-abuan, angin laut tampak mengibaskan tirai balkon yang terbuka sedikit.
Sebuah kelegaan kecil menyusup ke dadanya. Ia masih di sini. Masih hidup.
Setelah menghirup udara sore selama beberapa detik, Disa memutar badan dan menyalakan lampu. Ruangan itu kini tampak lebih jelas—berantakan. Ada tisu berserakan di dekat kasur, bantal tak lagi di tempatnya, dan pakaian yang terakhir ia kenakan… masih melekat di tubuhnya.
Disa berdiri di depan cermin. Rambutnya kusut, matanya bengkak, dan bajunya kusam. Ia mendesah pelan. Sudah cukup. Ia tak tahu apa yang membuatnya berdiri hari ini, tapi yang pasti, ia butuh mandi. Ia butuh keluar dari bayang-bayang itu—meski sedikit.
Pelan-pelan, ia membuka pintu kamar.
Di luar, suara langkahnya membuat seseorang di dapur menoleh cepat.
“Mb… Mbak Disa?” Suara seorang wanita paruh baya terdengar canggung namun hangat. Wanita itu segera mendekat. “Ada perlu apa, Mbak?”
Disa mengangguk kecil. “Mbak… boleh minta baju bersih? Aku mau mandi.”
Asisten rumah tangga itu, yang lebih suka dipanggil Mbak Art, sedikit panik tapi berusaha tetap tenang. Ia tahu Disa tidak membawa koper apa pun. Tidak ada pakaian, tidak ada perlengkapan pribadi. Tanpa banyak tanya, ia segera berbalik, masuk ke kamar Adrian, lalu kembali membawa satu set pakaian bersih—kaus putih lengan panjang dan celana kain warna gelap.
“Ini… punya Pak Adrian, ya Mbak. Ukurannya mungkin agak kebesaran, tapi bahannya nyaman,” ucap Art sambil menyodorkan baju itu.
Disa menerimanya dengan senyum tipis. “Terima kasih ya, Mbak.”
Ia hendak berbalik menuju kamar, namun langkahnya terhenti sejenak. Ia menoleh dan berkata lirih, “Kalau bisa… aku pengin makan bubur ayam, Mbak. Yang dari Samarinda itu…”
Art tersenyum lega, meski matanya sedikit berkaca. Ia tahu itu pertanda baik—pertanda bahwa Disa mulai membuka diri, walau perlahan.
“Baik, Mbak. Saya pesankan sekarang juga.”
Disa masuk kembali ke kamar dengan pakaian bersih di tangan. Sementara Art langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang untuk membelikan bubur ayam favorit banyak orang di Balikpapan—bubur ayam Samarinda legendaris, yang sering dipesan Adrian juga.
Dan hari ketiga itu… akhirnya memperlihatkan sedikit cahaya dari kegelapan yang sebelumnya begitu pekat.
***
Disa masuk kamar dan langsung menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya menggigil sejenak. Ia mengguyur dirinya dengan pelan, membiarkan air membasuh rasa hampa dan kantuk yang masih menempel di tubuhnya. Tidak ada lagu, tidak ada suara. Hanya gemericik air dan bunyi napasnya yang pelan tapi berat.
Setelah membersihkan tubuh dan mencuci rambutnya dengan sabun seadanya yang tersedia di kamar mandi, Disa mengeringkan tubuhnya lalu memakai pakaian yang diberikan Art. Kaos panjang itu jelas terlalu besar, bagian lengannya harus digulung sedikit agar tidak menutupi telapak tangannya. Celana panjang kainnya juga longgar, tapi tetap nyaman dipakai. Disa tidak banyak berpikir soal penampilan—dia hanya ingin merasa bersih.
Keluar dari kamar, ia berjalan pelan menyusuri koridor pendek menuju ruang tengah. Rumah itu cukup tenang. Tidak ada tanda-tanda Adrian di sekitar, hanya terdengar suara TV dari ruang tengah.
Disa berdiri sebentar di ambang pintu ruang tamu, menatap Art yang sedang duduk di lantai, menonton drama Korea dari Netflix. Di layar, ada adegan dua tokoh utama bertengkar, tapi suasananya justru kocak.
Art menyadari kehadiran Disa dan langsung berdiri canggung. “Eh, maaf Mbak. Saya lagi nonton... Iseng aja. Mbak mau duduk?”
Disa mengangguk, berjalan perlahan dan duduk di ujung sofa. “Gak apa-apa kok, Mbak. Saya cuma... bingung mau ngapain.”
Art tersenyum, tapi tetap merasa agak segan. Ia mengambil remote dan mengecilkan volume TV.
“Kalau mau nonton bareng juga gak apa-apa, Mbak. Ini lagi seru, dramanya lucu-lucu nyesek gitu.”
Disa mengangguk kecil, tapi tidak memberi respons verbal. Matanya menatap layar TV, tapi pikirannya belum sepenuhnya fokus. Suara di layar terasa seperti suara dari dunia yang berbeda. Ia hanya duduk diam, tangan terlipat di pangkuan.
Art yang melihat itu langsung berdiri. “Saya ambilkan air dulu ya, Mbak. Air dingin. Mbak kelihatan haus.”
Disa tak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan persetujuan.
Beberapa menit kemudian, Art kembali membawa segelas besar air putih dingin. Ia menyerahkannya ke Disa dengan hati-hati. “Pelan-pelan ya, Mbak.”
Disa meraih gelas itu dan langsung meminumnya. Tegukan pertama saja sudah cukup membuat tenggorokannya terasa lebih lega. Ia menyesap lagi, kali ini lebih lambat. Air itu seolah menjadi penyelamat pertama yang masuk ke tubuhnya setelah sekian hari.
“Terima kasih, Mbak,” ucapnya lirih setelah menghabiskan setengah gelas.
Art hanya mengangguk dan duduk kembali, kali ini di karpet depan sofa, tapi tak langsung melanjutkan nontonnya. Ia tetap menoleh sesekali ke arah Disa, memastikan gadis itu baik-baik saja.
TV masih menyala, tapi kali ini tak ada yang benar-benar memperhatikan ceritanya.
Untuk pertama kalinya dalam tiga hari, rumah itu terasa sedikit hidup. Pelan-pelan, semuanya mulai bergerak kembali.
***
Suara bel apartemen berbunyi pelan. Bu Wati, asisten rumah tangga yang sedang membersihkan meja dapur kecil di area pantry, segera mengintip lewat kamera pintu. Ia mengenali sosok Pak Anton yang berdiri dengan kantong kertas besar di tangannya.
Ia membuka pintu, suara AC lorong apartemen meyambut mereka.
“Wah, pas banget, Pak,” ucap Bu Wati sambil menerima dua porsi bubur ayam hangat yang terbungkus rapi.
“Titipan Pak Adrian. Katanya Mbak Disa udah keluar kamar. Belikan dua, siapa tahu dia doyan,” jawab Pak Anton ramah.
“Alhamdulillah... makasih ya, Pak,” kata Bu Wati. Ia menutup pintu perlahan, lalu membawa kantong itu ke area pantry. Begitu dibuka, aroma bubur ayam khas Samarinda itu langsung menyeruak. Harum, gurih, dengan wangi daun bawang dan potongan ayam kampung yang bikin lapar makin terasa.
Di ruang tamu, Disa sedang duduk bersandar di ujung sofa. TV menyala menampilkan serial Korea yang entah apa judulnya, tapi tidak benar-benar ia tonton. Wajahnya masih pucat, rambutnya dikuncir seadanya setelah mandi, dan kini ia mengenakan kaus longgar dan celana kain milik Adrian.
Ia menoleh begitu mencium aroma dari kantong kertas.
Bu Wati menghampiri dengan nampan kecil berisi dua mangkuk bubur dan meletakkannya di meja kopi.
“Nih, Mbak Disa. Ini bubur ayam langganan Pak Adrian. Mbaknya makan dulu, ya. Ibu siapin dua, kalau masih lapar bisa nambah.”
Disa mengangguk lemah. Ia menurunkan kakinya dari sofa, duduk lebih tegak, lalu menarik mangkuk bubur ke hadapannya. Ia mengambil sendok dan mengaduk pelan, menghirup uap hangatnya.
Sendok pertama langsung mengalirkan rasa nyaman ke tubuhnya yang lemas. Perutnya yang kosong tiga hari terakhir seakan menyambut makanan itu dengan penuh syukur. Baru suapan kedua, Disa tidak bisa berhenti.
Bu Wati, yang tadi masih berdiri, akhirnya ikut duduk di lantai dekat meja sofa dan mulai menyantap mangkuk satunya.
Mereka makan bersama tanpa banyak bicara. Hanya suara TV pelan dan dentingan sendok yang terdengar.
Disa sesekali menoleh ke Bu Wati, lalu berkata pelan, “Terima kasih, Bu...”
Bu Wati mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Mbak. Makan pelan-pelan aja. Kalau mau teh hangat atau jus, bilang aja ya.”
Disa mengangguk lagi. Sore itu, apartemen yang sebelumnya sunyi dan suram mulai berisi sesuatu yang berbeda. Bukan kebahagiaan yang penuh, tapi cukup untuk membuat d**a terasa sedikit lebih hangat: makanan hangat, perhatian kecil, dan suasana yang tak lagi dingin sepenuhnya.
***
Disa hampir menghabiskan mangkuk buburnya saat suara langkah pelan terdengar dari lorong menuju kamar. Bu Wati—yang biasa dipanggil "Bu Art" oleh Adrian karena pekerjaan ART-nya—muncul dengan wajah bersih dan senyum hangat, mengenakan apron bunga-bunga di luar bajunya yang rapi.
“Maaf ganggu, Mbak,” ucapnya pelan, berdiri di ambang lorong menuju kamar utama. “Kamarnya Mbak Disa sudah saya bersihkan. Sprei dan selimut udah diganti semua, kasurnya saya semprot pengharum juga. AC-nya juga udah saya setting suhu nyaman. Sekarang kamarnya wangi dan adem.”
Disa menoleh, meletakkan sendoknya yang baru saja menyentuh dasar mangkuk. “Makasih ya, Bu...”
Bu Art tersenyum lembut. “Sama-sama, Mbak. Oh iya, tadi saya juga sempat lapor ke Pak Adrian. Di kamar Mbak belum ada perlengkapan pribadi. Pakaian dalam, alat mandi, dan lain-lain... cuma sabun cair, sikat gigi sama pasta yang ada. Nanti biar saya bantu beli, ya. Mbaknya tinggal kasih daftar.”
Disa mengangguk, agak malu. “Ibu tinggal di sini juga?”
“Enggak, Mbak,” jawab Bu Art, lalu duduk perlahan di kursi dekat dapur kecil, menjaga jarak tetap sopan. “Saya cuma datang tiap pagi, biasanya sampai sore. Ada juga koki, tapi hari ini dia udah pulang duluan karena tugasnya selesai cepat. Tadi sempat masak sup tulang sapi. Saya juga bikin bronis kukus, Mbaknya bisa coba nanti di meja makan.”
Mendengar itu, Disa tersenyum kecil, untuk pertama kalinya dengan sedikit cahaya di matanya. “Kok kayak hotel, ya... semuanya rapi banget.”
“Ya... saya cuma coba bikin Mbaknya nyaman. Apalagi Mbak Disa masih pemulihan,” sahut Bu Art sambil memeriksa mug kosong di dekat Disa. Ia berdiri dan menggantinya dengan air dingin dari dispenser di sudut pantry.
Disa meminumnya perlahan, menikmati kesegaran itu. Ia belum kuat bicara banyak, tapi keberadaan Bu Art terasa seperti udara segar setelah tiga hari mengurung diri.
“Ibu tadi bersihin sendiri kamarnya?”
“Iya. Saya tahu Mbaknya pasti belum sanggup lihat-lihat, jadi saya beresin sekalian. Kalau Mbak ada request apa-apa... jangan ragu ya. Mbak Disa sekarang tinggal di sini, jadi saya anggap bagian dari keluarga Pak Adrian.”
Ucapan itu membuat d**a Disa sedikit hangat, walau tetap terasa aneh di satu sisi.
“Terima kasih, Bu. Saya gak nyangka segalanya begini.”
Bu Art tersenyum, kali ini lebih lebar. “Sama-sama, Mbak. Sekarang yang penting Mbak makan cukup, istirahat, dan pelan-pelan pulih. Soal lain-lain... nanti aja dipikirin.”
Disa menatap wajah perempuan itu. Ada ketulusan tanpa dibuat-buat. Sosok seperti ibu, atau bahkan nenek, yang tak banyak bertanya, hanya hadir dan membuat segalanya terasa lebih ringan.
“Kalau mau rebahan lagi, Mbak, kamar udah siap. Sup juga bisa dipanaskan nanti. Mau teh hangat? Saya bikinin.”
Disa menggeleng. “Nanti aja, Bu. Ini udah enak banget. Saya duduk sini aja dulu bentar.”
“Oke, saya ke dapur dulu ya. Kalau mau ditemenin nonton, panggil aja.”
Disa mengangguk dan melihat punggung Bu Art yang menjauh ke arah dapur. Lalu ia menyandarkan tubuh ke sofa, memeluk bantal kecil di sampingnya, dan menatap langit senja yang perlahan menggelap di balik jendela apartemen. Dunia belum baik-baik saja. Tapi setidaknya, hari ini... ia makan, mandi, dan bicara dengan orang lain. Itu cukup.