Bagian 10

1266 Kata
Matahari sudah cukup tinggi saat Adrian perlahan membuka matanya. Ia mendesah pelan, tubuhnya masih terasa berat dan kaku. Kepalanya penuh dengan kepingan-kepingan mimpi buruk yang samar, dan kenyataan begitu cepat menghempasnya kembali: Dira sudah tiada. Langit terlihat cerah dari jendela kamar, kontras dengan kabut yang masih menyelimuti pikirannya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap ke arah jam dinding. Hampir pukul sepuluh. Hari sudah berjalan cukup jauh, dan ini pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir ia tidur tanpa gangguan. Tubuhnya memang butuh istirahat, tapi sebagai CEO sebuah perusahaan besar, ia tak bisa terus-terusan larut. Dunia tak pernah memberi jeda cukup lama bagi mereka yang punya tanggung jawab besar. Adrian menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu berdiri, berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang membasuh wajahnya sedikit banyak membuatnya sadar. Dira masih terus melintas dalam pikirannya, tapi ada seseorang lagi yang kini membutuhkan perhatiannya—Disa. Ia mengenakan pakaian kasual setelah mandi: kaus polos dan celana panjang berbahan ringan. Bukan setelan kerja. Meski tahu harus segera kembali ke kantor, hari ini ia memilih untuk menata langkah perlahan. Ia baru akan masuk kembali besok. Untuk sekarang, ia ingin memastikan Disa tenang dulu. Di ruang tengah apartemen, ia menyapa salah satu staf yang ia minta berjaga di sana—seorang wanita paruh baya yang ia percayai, bersama koki pribadi yang ia tugaskan sementara. "Bagaimana keadaannya?" tanya Adrian singkat sambil menyalakan mesin kopi. “Masih di dalam kamar, belum keluar. Tapi saya dengar ia sempat membuka tirai pagi tadi,” jawab wanita itu lembut. “Mungkin butuh waktu.” Adrian mengangguk pelan. “Terus perhatikan dia. Kalau dia mau bicara atau butuh apa pun, kabari aku. Aku akan keluar sebentar ke kantor, ada beberapa hal yang harus aku bereskan.” Wanita itu tersenyum mengerti. “Baik, Pak Adrian.” Sambil menyeruput kopinya, Adrian duduk di sofa dan membuka ponselnya. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab masuk dari berbagai pihak: kantor, vendor pernikahan, rekan kerja, dan keluarga Dira. Ia menatap layar hening. Setelah beberapa detik, ia mengetik satu pesan ke manajer perusahaannya. “Saya akan kembali kerja mulai besok. Tolong siapkan ringkasan rapat dua hari terakhir.” Kemudian ke pihak perencana pernikahan: “Pernikahan ditunda dua minggu ke depan. Detail menyusul.” Ia mendesah panjang. Pernikahan itu kini seperti sisa kabut di kejauhan. Bukan hanya soal jadwal atau vendor—tapi perasaan. Pernikahan itu awalnya adalah jalan Dira dan dirinya. Kini segalanya berubah. Ia sudah berjanji, tapi ia takkan memaksakan semua berjalan dengan kecepatan yang salah. Disa harus pulih. Bahkan dirinya sendiri masih belajar menerima. Setelah selesai dengan semua pesannya, ia berdiri dan melihat sebentar ke arah kamar tempat Disa beristirahat. Ia tidak ingin mengganggunya, tidak hari ini. Biarlah gadis itu menyusun ulang napasnya sendiri, dengan caranya sendiri. Adrian mengambil kunci mobilnya, merapikan jas tipisnya, dan keluar dari apartemen dengan langkah mantap. Di wajahnya tak ada senyum, tapi juga tidak sesuram kemarin. Hanya ada kesadaran bahwa hidup terus berjalan, dan ia punya dua alasan besar untuk tidak runtuh: memegang janjinya pada Dira, dan menjaga Disa—meski itu berarti harus menunggu di kejauhan sampai gadis itu siap. *** Adrian pulang ke apartemen menjelang sore. Ia baru saja menyelesaikan beberapa urusan penting di kantor—rapat internal, revisi jadwal proyek, dan beberapa hal administrasi yang tak bisa ditinggalkan terlalu lama. Ia sempat mampir ke pinggir jalan dekat bundaran besar, tempat biasa orang jualan rujak buah. Ia beli satu porsi yang cukup besar, dibungkus rapi dengan plastik bening, lengkap dengan sambal kacangnya yang kental. Ia ingat betul Disa suka makanan ringan yang segar tapi tetap berbumbu. Bukan karena Disa pernah bilang, tapi karena dulu saat mereka masih dekat, Disa sering nyemil rujak sambil duduk-duduk sore. Begitu sampai di apartemen, ia membuka pintu pelan. Suasana masih sama seperti tadi pagi—hening, tenang, seolah waktu di dalam ruangan ini berjalan lebih lambat dari di luar sana. “Masih belum keluar ya?” tanya Adrian pada wanita paruh baya yang masih setia berjaga. Wanita itu berdiri, sedikit mengangguk. “Tidak, Pak. Tapi saya sempat dengar suara air mengalir tadi siang, mungkin dia ke kamar mandi.” Adrian hanya mengangguk kecil. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Disa butuh ruangnya sendiri. Ia berjalan ke arah pintu kamar Disa. Tidak mengetuk, hanya meletakkan bungkusan rujak di meja kecil di samping pintu, tepat di sebelah gelas air dan camilan yang sudah beberapa hari tidak disentuh. “Rujak buah,” gumamnya pelan. “Kamu pasti belum makan.” Tidak ada balasan dari dalam. Tapi Adrian tidak mengharapkan apapun. Ia hanya berdiri beberapa detik, lalu berbalik dan kembali ke ruang tengah. Ia duduk di sofa, menarik napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya. Tangannya membuka ponsel, tapi tidak benar-benar melihat isinya. Pesan masuk terus berdatangan—dari manajer, dari kolega, bahkan dari vendor pernikahan. Ia balas satu-dua pesan, sisanya dibiarkan. Ia menoleh ke meja kecil di dekat pintu kamar Disa. Bungkus rujak masih di sana, belum berpindah sedikit pun. Tapi tak apa. Setidaknya, ia sudah mencoba. Hatinya sedikit lelah. Tapi ia tahu, kelelahan emosional Disa jauh lebih besar. Adrian berdiri, membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya sambil berdiri. Lalu kembali duduk. Televisi tidak dinyalakan, radio tidak diputar, bahkan tirai pun belum dibuka sejak pagi. Hari ini baru tiga hari sejak Dira dimakamkan. Dan Disa belum benar-benar berbicara pada siapapun. Adrian melihat jam dinding. Hampir pukul enam sore. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, selain menunggu. Dan ia bersedia menunggu. *** Malam itu, Adrian duduk di balkon kamar. Udara cukup sejuk, tidak terlalu dingin, tapi cukup untuk membuatnya menarik lengan kaus panjangnya ke bawah sampai ke pergelangan tangan. Ia duduk sendirian, bersandar ke kursi yang ada di pojok balkon, sambil menatap iPad yang ada di pangkuannya. Cahaya layar menyinari wajahnya yang tampak lelah. Sejak siang tadi ia sudah meminta manajer kantornya untuk mengirim ringkasan semua yang tertunda selama ia absen. Sekarang, saat suasana cukup tenang, ia mulai membaca satu per satu. Ada beberapa pembaruan proyek, laporan keuangan ringkas, dan permintaan konfirmasi dari klien. Ia tidak bisa terus-terusan menunda. Besok, ia harus kembali masuk ke kantor. Beberapa kali ia berhenti membaca dan menengok ke arah kamar. Pintu kamar Disa masih tertutup. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda dia sudah makan atau keluar kamar. Adrian tahu, hari ini memang berat. Apalagi ini baru hari pertama. Ia mengusap wajahnya dengan satu tangan lalu kembali fokus membaca. Beberapa bagian ia beri catatan langsung di layar. Ia cukup cepat, walau pikirannya tak sepenuhnya fokus. Ia sempat melihat laporan terkait vendor pernikahan yang belum dibatalkan sepenuhnya. Ia langsung mengirim pesan singkat: “Pernikahan ditunda dua minggu. Jangan proses apa pun dulu.” Setelah selesai memeriksa semua laporan, Adrian menutup iPad dan meletakkannya di meja samping. Ia meraih cangkir kopi yang ia buat satu jam lalu, tapi sudah dingin. Ia tetap meminumnya sedikit, lalu bersandar diam. Lama ia duduk begitu. Tidak melakukan apa-apa. Hanya melihat langit malam yang gelap, lampu-lampu kota, dan suara kendaraan yang kadang terdengar samar. Ia merasa lelah tapi tidak mengantuk. Di dalam kamar, Disa masih tidak keluar. Adrian bangkit, mengambil iPad-nya dan kembali masuk ke dalam. Ia melihat ke arah pintu kamar Disa sekali lagi, lalu berjalan ke kamarnya sendiri. Malam ini, ia akan tidur lebih cepat. Besok pagi ia harus kembali beraktivitas. Dunia tidak menunggu, dan ia juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Tapi sebelum mematikan lampu, ia menulis satu pesan yang belum ia kirim. “Kalau kamu butuh sesuatu, bilang ya. Aku gak akan maksa kamu bicara. Tapi aku ada di sini.” Pesan itu ia simpan dulu. Belum ia kirim. Ia hanya meletakkan ponselnya di meja, mematikan lampu, dan berbaring. Pelan-pelan, matanya mulai tertutup. Hari ini sudah cukup panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN