Bagian 9

711 Kata
Mobil mereka meninggalkan area pemakaman sekitar pukul sebelas siang. Di dalam mobil, Disa bersandar ke jendela, pandangannya kosong menatap luar. Jalanan kota terasa asing baginya hari ini—terlalu ramai, terlalu hidup, saat hatinya baru saja kehilangan sebagian jiwanya. Adrian melirik ke arahnya, lalu berkata dengan nada tenang, “Aku tahu tempat makan yang enak. Kamu belum makan banyak dari pagi.” Disa mengangguk pelan. Ia tidak menolak. *** Sekitar setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah warung makan sederhana di daerah Gunung Sari. Bangunannya tidak besar, tapi selalu ramai. Aroma kaldu dan rempah soto Banjar menyambut mereka saat memasuki tempat itu. Meja-meja kayu penuh oleh pengunjung yang tampak menikmati makan siang mereka. Adrian memesan dua porsi soto Banjar dengan lontong, tanpa banyak tanya. Saat pesanan datang dan mereka mulai makan, Disa menyendok kuah sotonya lalu mengangkat wajah. “Adrian,” katanya pelan. “Kamu nggak ngerasa ada yang kurang?” Adrian menoleh, mengangkat alis. “Kurang?” “Iya. Soto aja... hambar. Maksudku, bukan sotonya yang kurang enak. Tapi rasanya, kayak... nggak lengkap.” Adrian menyandarkan punggungnya ke kursi, mengamati Disa yang mulai menunjukkan ekspresi lebih hidup meski wajahnya masih lelah. “Aku mau sate. Dua puluh tusuk. Sama alpukat kocok keju.” Adrian sempat bengong beberapa detik. “Dua puluh tusuk?” ulangnya. Disa mengangguk mantap. “Iya. Kamu nggak denger salah. Dua puluh. Aku lapar banget, tau.” Ekspresi Adrian masih datar, tapi matanya sedikit membesar, dan beberapa detik kemudian, ia tertawa pelan—entah karena permintaannya atau karena akhirnya ia mendengar nada manja dari Disa. “Baiklah,” ujarnya, bangkit dari kursi. “Sate dua puluh tusuk, lontong, sama alpukat kocok keju. Kamu mau yang topping kejunya banyak?” “Mau dong!” Disa langsung menjawab dengan semangat. Warung itu memang terkenal bukan hanya dengan sotonya, tapi juga menyediakan aneka sate dan minuman segar, termasuk alpukat kocok yang disajikan dingin dan manis. Tak lama kemudian, pesanan tambahan tiba di meja mereka. Disa langsung menyantap sate dengan lahap, wajahnya terlihat lebih cerah untuk pertama kalinya hari itu. Adrian menatapnya sebentar, masih dengan ekspresi tenang namun tersenyum tipis. "Kalau kamu bisa makan sebanyak itu sekarang, artinya kamu bakal baik-baik saja." Disa mengangkat kepalanya, mengunyah sambil tersenyum kecil. “Nggak yakin. Tapi setidaknya aku nggak pingsan karena kelaparan.” Adrian hanya mengangguk, lalu kembali menikmati sotonya. Untuk sesaat, kesedihan hari itu memberi ruang bagi sedikit ketenangan. Mereka tidak banyak bicara, tapi kehadiran satu sama lain menjadi penghibur yang cukup berarti. *** Setelah selesai makan, mereka kembali masuk ke mobil. Adrian tidak langsung membawa Disa pulang. Ia menyetir pelan, memutari kota tanpa arah. Lewat taman, pusat perbelanjaan, pelabuhan, dan jembatan di pinggir teluk yang anginnya lembut menyentuh kaca jendela. Disa menyandarkan kepalanya dan akhirnya tertidur. Dan ketika malam mulai turun perlahan, Adrian membawa mobilnya menuju apartemen barunya di tengah kota. Apartemen itu masih belum banyak diisi perabot, tapi cukup nyaman dan bersih. Ia mengangkat Disa dengan pelan, membawanya masuk ke dalam kamar, dan membaringkannya di ranjang. Disa mengerang kecil tapi tetap terlelap. Adrian menatapnya sebentar, lalu menarik selimut dan menyelimutinya. Ia duduk di pinggir ranjang sesaat, memandangi wajah yang masih sembab itu—namun sedikit damai. Setelah semua kehilangan dan air mata... malam itu ditutup dengan keheningan dan kehangatan yang sederhana. *** Adrian kembali ke kamar sebelah setelah memastikan Disa tertidur lelap. Sorot lampu kota menyelinap di sela tirai jendela yang belum sepenuhnya ditutup, membias hangat ke seluruh ruangan. Ia melepas kemejanya, melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Air hangat mengalir pelan di punggungnya, seolah menyapu sisa lelah dari hari yang panjang. Ia memejamkan mata di bawah siraman air, mengingat kembali wajah Dira yang kini hanya tinggal kenangan. Setelah berganti pakaian santai dan bersih, Adrian rebah di ranjang. Tangannya menyentuh ponsel yang sejak tadi tak disentuh, lalu meletakkannya kembali tanpa membukanya. Pikirannya bukan di sana. Dira… Suara tawa Dira yang dulu memenuhi panggung hidupnya kini hanya gema samar di dalam kepala. Adrian menatap langit-langit, mencoba menahan denyutan rindu yang mulai merayap di dadanya. "Aku sudah menjaga adikmu..." bisiknya pelan, nyaris tanpa suara. Matanya perlahan terpejam, tubuhnya tenggelam dalam keheningan malam yang mulai merapat. Tak ada lagi suara, hanya detak jam dan helaan napas yang teratur. Di ruang yang berbeda, dua jiwa tertidur—masih sama-sama berduka, tapi tak lagi sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN